Friday, January 24, 2014

Bunga dan Derita

Bunga dan Derita

Aku masih terpaku pada deretan bunga sepatu di hadapanku. Bunga yang telah terkatup layu seiring dengan telah lamanya aku menanti seorang pria yang mengajakku kencan di taman ini. Tiga puluh menit dari jadwal janjian, terasa tak jadi masalah saat dari kejauhan terdengar seseorang memanggilku. Namun saat kupalingkan wajahku, aku kecewa bukan main ternyata hanya kegaduhan orang-orang disebrang jalan.

Monday, January 13, 2014

AKIBAT TERPISAH PAKSA DARI ORANG TUA




ZULKHULAFAIR MUCHTAR, seorang lelaki kelahiran Kota Daeng 12 Februari 1990. Saat ini penulis sedang mengenyam pendidikan di bangku perguruan tinggi pada jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Ilmu Politik. Penulis aktif bergiat di FLP Ranting UIN Alauddin Makassar dan bercita-cita menjadikan FLP Ranting UIN sebagai cahaya bagi mahasiswa UIN Alauddin Makassar. Untuk berkenalan lebih jauh dengan penulis dapat melayangkan message ke alamat e-mail: zulkhulafairmuchtar@gmail.com




Thursday, January 9, 2014

Bukan Cerita Biasa

Bukan Cerita Biasa


Cinta itu ibarat perang, berawalan dengan mudah namun sulit di akhiri.

Suatu hari, bermula dari pertemuan-pertemuan yang menyenangkan disekolah. Kebiasaan-kebiasaan ramah, saling bertatap wajah. Bercanda gurau habiskan masa-masa sekolah (dari tk, sd, smp, sampe sma) penuh suka, penuh gembira. Hingga akhirnya tercipta sebuah rasa yang dinamakan cinta.
 
***

Tak terasa masa-masa sekolah akan berakhir didepan mata. Masa muda yang penuh cita siap menantang dunia berupaya mengubah jalan cerita di hidupnya. Kemudian ada cinta yang merangkul rasa menemani ceria yang sebentar lagi akan berbalut luka. Karna akan berpisah selamanya.

Begini ceritanya,

Anatasha dan Reza, sejak kecil sampai remaja selalu bersama. Alasan apapun tak pernah membuat mereka berpisah. Tak pula mereka hanya sahabat saja, melainkan sejoli yang tangguh dan kokoh dalam cintanya.

Meski Reza tau Anatasha tak bisa bertahan hidup lebih lama darinya. Hal itu tak membuatnya goyah ataupun menyerah mencintai kekasihnya. Hanya saja, Reza tak kuasa menahan airmatanya manakala Anatasha memintanya pergi dan mencari pengganti dirinya yang tak sampai 1 bulan lamanya menikmati dunia.

Bukit berbunga, tepat dibelakang sekolah akan jadi saksi cinta mereka yang setia. Tempat favorit yang sering mereka kunjungi untuk mendengarkan lagu kesukaan bersama, belajar bersama, menikmati indahnya sunset yang jingga, tempat yang penuh akan kenagan manis mereka.

Itu semua akan jadi kenangan yang kemudian akan segera pudar sebagaimana tinta hitam yang melekat pada kertas putih kemudian terkena air lalu memudar dan akhirnya menghilang.
 
***

Ada pula cinta yang coba memaksa, datang menghantui Reza, memburamkan pandangannya agar Anastasha menghilang dari hatinya. Lantas cinta itu tak kuat merasuk ke hatinya hingga hilang dan berlalu begitu saja. Anatasha lah pemilik hati Reza seutuhnya. Hingga tak ada celah yang tersisa.
 

Tak sedikit air mata Reza yang tertumpah untuk Anatasha, manakala melihat tempat yang sering mereka lalui berdua hanya akan jadi kenangan.
 

Tak kalah hebat cinta Anatasha untuk Reza, korban rasa jadi hal biasa untuknya. Berpura-pura lupa telah mencinta, menyiksa hatinya demi kebohongan belaka. Hingga Reza tak terluka lagi dihatinya. Meski ceroboh tapi Anatasha melakukan yang terbaik untuk kekasihnya.

Tak terasa sampai pada waktu dimana 1 bulan kebersamaan mereka hanya tersisa 1 jam saja.

T ak banyak yang bisa dipersembahkan Reza untuk Anatasha yang waktunya hanya tersisa satu jam saja. Kemudian handphonenya berdering. Tak lama membuka handphone, airmatanya bercucuran di pipi. ‘waktu anda tersisa 1 jam’ begitulah tertulis pada catatan handphonenya. Pantas airmatanya berderai.

“Kenapa Reza menangis.”

“Aku hanya bahagia pernah berdampingan denganmu. Airmata ini sepertinya tulus keluar dari mataku,” Reza hanya tersenyum agar Anatasha tak mengkhawatirkan perasaannya.

“Meski itu bohong tapi aku bahagia mendengar ucapanmu,” tepisnya ragu perasaan Reza.

Reza hanya tersenyum. Kemudian bergerak, jalan menuju Anastasha.

“Hanya ada satu jam waktuku bersamamu, lalu apa yang kamu inginkan dariku? Apa aku harus melompat dari gedung tertinggi itu,” ujar Reza menunjuk gedung paling tinggi ditempat mereka berada, “Atau kamu mau aku menunggumu kembali?” lanjut Reza.

Airmata tulus mulai meleleh dari mata Anatasha. “Sudah saatnya cintamu diperbarui!!! Hari ini kurasa cintamu sudah sampai dibatas akhir.”

“Kalaupun kudapatkan kesempatan itu. Aku hanya ingin memperbarui cintaku dengan orang yang sama bukan dengan yang baru.”

“Bagaimana jika orang yang sama itu tiba-tiba menghilang?”

“Aku akan menunggunya kembali!!! Kapanpun aku menemukannya, aku akan mencintainya lagi. Seperti ini, iya benar-benar seperti ini.”

Anatasha menangis tanpa suara, melangkah tak bernada, kemudian bergerak, berdiri tepat membelakangi lelaki yang di cintainya.

“Waktumu hanya tersisa setengah jam. Lalu apa yang kamu inginkan dariku?”

“Gendong aku kemanapun kamu mau, kemudian bila aku diam, jangan pernah menoleh kebelakang. Jangan pernah berbalik melihatku, biarkan aku menghilang.”

“Sekali lagi aku mohon, saat aku tiada jangan pernah berbalik untuk mencariku, biarkan saja aku menghilang. Kumohon biarkan aku jadi bagian terindah dimasa lalumu. Biarkan aku tergantikan oleh orang lain.” Lanjut Anatasha terbata-bata dengan airmata yang membasahi pipinya.

“Bagaimana kubisa lakukan itu? Sementara sebentar saja aku tak melihatmu, aku berlari mencarimu. Mungkinkah aku bisa membiarkanmu pergi untuk selamanya? Aku tak akan menemukanmu lagi meski aku berlari lebih cepat dari biasanya.”
 

“Sebelum bertemu denganmu, aku hanya punya lem dan benang ditepian hatiku. Kemudian kamu datang merajut hatiku dengan benang itu, dan kamu kuatkan rajutan itu dengan lemnya. Lantas, bagaimana ia akan terbuka lagi?” lanjut Reza dengan airmata yang perlahan menetes.

“Biarkan ia sampai mengeras, tak lama ia akan pecah. Kemudian ada celah yang terbuka disana. Perlahan benangnya akan putus karna rapuh. Lalu ia sepenuhnya akan terbuka.”

“Tidak….! Jika benangnya putus dan hatiku terbuka, aku akan merajutnya kembali, meski itu menyakitkan. Tapi aku akan melakukannya.”

“Biarkan saja ia terbuka.” Suara Anatasha mulai letih, matanya terpejam. Tak lama badannya memberat.
 

Akhirnya, cinta mereka berhenti pada masa yang berbahagia. Dimana mereka saling tau apa yang dirasa, meski airmata yang jadi saksinya. Cukup yang dicinta tau apa yang di rasa, itu sudah cukup untuk bahagia.


SELESAI

Saturday, January 4, 2014

narasi



Membangun Narasi (Bagian 1)
Oleh Afifah Afra

Ketika kita membuat cerpen, cerbung, novelet atau novel, sesungguhnya kita sedang membangun sebuah narasi. Narasi adalah cerita yang didasarkan pada sebuah urutan kejadian atau peristiwa, di mana peristiwa tersebut dialami oleh tokoh yang mengalami konflik tertentu. Urutan kejadian, tokoh dan konflik itu, menurut Marahaimin, membentuk satu kesatuan yang disebut plot atau alur.
Sedangkan menurut Novakovich, narasi yang seimbang adalah hasil interaksi antara setting dan tokoh yang membentuk plot (alur), atau dirumuskan:

PLOT = TOKOH + SETTING.

Namun yang harus dipahami adalah, narasi ditulis agar pembaca seperti mengalami sendiri kisah yang ditulis oleh penulis. Karena itu, untuk membuat sebuah narasi yang baik, kita harus benar-benar menggali unsur-unsur pembangun plot, yakni tokoh dan setting tersebut. Mari kita bahas satu per satu poin tersebut:

TOKOH
Kita mengenal tokoh antagonis dan protagonis. Pada cerita-cerita klasik, tokoh antagonis sering diidentikkan dengan kejahatan, sedangkan protagonis adalah si pahlawan pembela kejahatan. Akan tetapi, sebenarnya tak harus demikian. Antagonis adalah tokoh yang dimunculkan sebagai tokoh yang berkebalikan secara karakter dengan tokoh protagonis. Kemunculan dua jenis tokoh yang berbeda, memunculkan perbedaan karakter, yang ketika berinteraksi kemudian memunculkan konflik.
Konflik inilah yang akan membentuk plot. Agar plot menjadi semakin baik, maka karakter tokoh harus digali. Seunik mungkin. Sedetail mungkin. Semakin unik karakter tokoh yang dibangun, konflik yang muncul pun akan semakin unik.

Silahkan Anda bandingkan dua jenis karakter ini.

Tommy: Anak SMA, kaya, tampan, sombong

Delisa: Seorang gadis yang lahir dari keluarga broken home. Cantik, pintar, sempurna. Namun memiliki kepribadian ganda. Sering bergerak tanpa mampu mengendalikan diri. Sering tiba-tiba bangun di tengah malam, dan seakan-akan berubah menjadi orang lain.

Dari perbedaan kedetilan dua tokoh tersebut, kira-kira mana yang jika dikembangkan, akan mendapatkan konflik yang lebih baik?

BERSAMBUNG
MEMBANGUN NARASI (Bag. 2)
Oleh Afifah Afra
__________________________________

Masih berbicara soal tokoh....
Dalam pembahasan di bagian 1, kita membandingkan 2 jenis karakter tokoh yang ingin kita bangun, yaitu:

Tommy: Anak SMA, kaya, tampan, sombong

Delisa: Seorang gadis yang lahir dari keluarga broken home. Cantik, pintar, sempurna. Namun memiliki kepribadian ganda. Sering bergerak tanpa mampu mengendalikan diri. Sering tiba-tiba bangun di tengah malam, dan seakan-akan berubah menjadi orang lain.

Dari kedetilan karakter, kita sudah bisa membayangkan, mana yang akan melahirkan konflik yang unik. Ya, tokoh Delisa, yang memang digambarkan dengan detil. Ketika tokoh Tommy kita angkat, kita akan menemukan banyak sekali kesamaan. Ada berapa juta remaja seperti Tommy? Di sekitar kita, mungkin di keluarga kita juga ada. Jadi, apa menariknya? Berbeda dengan saat seorang penulis fiksi mengangkat seorang tokoh yang memiliki kepribadian unik seperti Delisa.

Tokoh adalah 'bahan baku' dari sebuah narasi. Konflik muncul salah satunya karena adanya interaksi antara tokoh dengan tokoh. Semakin 'berbobotnya' bahan baku, akan cukup membantu terciptanya sebuah liukan cerita yang menarik.

Sayang sekali, banyak karya-karya fiksi kita yang menjadikan hal-hal yang melekat pada sosok si tokoh hanya sebagai tempelan belaka. Misalnya, saya pernah menyaksikan sebuah sinetron yang mengangkat tokoh dengan profesi lawyer/pengacara. Wah, keren tuh, pengacara, batin saya. Saya lantas terpikir pada salah satu fiksi favorit saya, yakni novel-novel tulisan John Grisham. Akan tetapi, nyaris dari semua episode yang terlewat, saya tak pernah mendapatkan si tokoh itu berjibaku dengan ke-pengacara-annya. Konflik yang muncul semata percintaan, sehingga menjadi tak penting, apakah tokoh tersebut berprofesi sebagai lawyer, dokter, pengusaha atau apapun. Saya juga sering melihat di sinema-sinema lokal, ada tokoh tergambarkan berdasi, bermobil, tapi tak tahu apa pekerjaannya.

Saya sering mengibaratkan tokoh yang tak tergali dengan baik potensi-potensi konliknya, sebagai SDM di sebuah kantor yang tak bekerja maksimal. Jika sebuah kantor memiliki karyawan yang tak menjalankan 'kewajibannya' dengan baik, apa yang akan terjadi dengan pencapaian target di kantor tersebut?

Karena itulah, saya cukup memahami, ketika seorang psikolog yang juga seorang sastrawan, mengatakan dalam sebuah forum bahwa dia lebih bangga menyebut diri sebagai sastrawan daripada psikolog. Katanya, "Sastrawan itu lebih psikolog daripada psikolog." Ya, karena menjadi seorang penulis fiksi, menuntut kita untuk menyelami karakter tokoh-tokoh kita dengan baik.

(BERSAMBUNG)
MEMBANGUN NARASI (Bag. 3)
Oleh Afifah Afra

TEKNIK PENOKOHAN

Andre memang cute. Orangnya juga sangat baik, santun, ramah, penuh kasih sayang dan rajin menolong. Pantas semua orang tergila-gila padanya.
…..

Kita sangat sering melihat jenis pelukisan karakter tokoh semacam itu pada karya-karya fiksi yang kita baca. Teknik penokohan semacam itu, sering disebut sebagai teknik naratif. Penulis menggambarkan secara langsung lewat uraian, alias penjelasan secara langsung.

Akan tetapi, penokohan tak selalu harus dijelaskan secara naratif. Bahkan, pola-pola naratif ini seringkali menjebak kita pada kebosanan. Pola penokohan secara naratif biasanya akan membuat sebuah cerita cenderung bersifat talk. Feel biasanya sulit terbangun jika apa yang kita jelaskan hanya sebatas talk bukan show (kapan-kapan kita akan bahas tentang kaidah talk vs show dalam menulis cerita).

Penokohan bisa dilakukan secara dramatik, yakni penggambaran secara tidak langsung. Penulis tidak secara eksplisit menjelaskan si A ini karakternya bla-bla-bla, si B bla-bla-bla dan sebagainya. Teknik penokohan secara dramatik bisa kita lakukan antara lain melalui percakapan. Misalnya, kita menggambarkan sosok yang tegas. Tentu perkataan-perkataan dia harus menggambarkan hal semacam itu. Perkataan yang tegas dan lugas. Misal, “Ikut saya! Anda saya hukum. Anda tak perlu berkelit. Tak ada waktu untuk bicara.”

Pikiran, perasaan atau prinsip si tokoh, juga bisa menjadi salah satu cara penggambaran karakter. Coba, bisakah Anda menebak bagaimana karakter tokoh ‘aku’ ini?

Aku menatap tumpukan uang yang masih berbau AC di depanku dengan gemetar. Betulkah uang ini untukku? Sebanyak ini? Tetapi, ini uang tak halal. Mendadak ada yang bersuara dalam jiwaku. Keras. Zaman seperti ini masih memegang teguh idealisme? Kuno! Sudahlah, tak usah berpura-pura sok suci.

Kita juga bisa menggambarkan karakter tokoh secara tak langsung melalui respon si tokoh terhadap sesuatu, tingkah laku bahkan juga fisik, asal daerah, bahkan juga cara berpakaian si tokoh.

Teknik penggambaran karakter secara tak langsung ini sangat efektif, karena akan menggiring si pembaca untuk ikut menafsirkan dan merasakan, serta menilai bahkan juga ikut merasakan emosi terhadap karakter si tokoh.

BERSAMBUNG

MEMBANGUN NARASI (BAG 4.)
Oleh Afifah Afra
_______________________________
LATAR

Baik, kemarin saya sudah sedikit membahas soal penokohan. Iya, cuma ‘sedikit’, soalnya jika ingin lebih detilnya, sebaiknya Anda langsung bergabung di FLP terdekat, ops!

Biar sedikit ‘nyambung’, kembali saya ingatkan tentang rumus alur versi Novakovich ya. Kata beliau, Alur = Tokoh + Setting. Jika kemarin sudah membahas tentang tokoh, sekarang saya akan bahas soal setting. Kenapa di subjudul saya sebuat LATAR?

Masalahnya Sahabat, ternyata setelah saya klik di KBBI Online, kata SETTING belum masuk. Jika kita konsekuen dengan bahasa Indonesia, mari kita gunakan saja kata LATAR, okay? Jika kemarin saya masih menggunakan setting, kan jelas alasannya, saya baru-baru saja mengecek di KBBI Online, hehe.

Si tokoh, baik protagonis maupun antagonis, tentu mendiami sebuah tempat, waktu, kondisi sosial budaya dan berbagai varian latar lainnya. Itulah yang sering disebut sebagai LATAR. Dalam KBBI, Latar dimaknai sebagai keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Beberapa tokoh, misalnya Kenney (1966) menjelaskan bahwa latar adalah elemen fiksi yang menunjukkan di mana dan kapan terjadi peristiwa.

Sebagaimana kita tahu, pada sebuah latar, pasti terdapat dinamika yang beraneka ragam. Kultur yang ada, kondisi alam, berjalannya waktu, dan semua varian latar itu menciptakan ‘konsekuensi-konsekuensi’ tersendiri bagi tokoh yang mendiaminya. Bahkan, bisa jadi latar itu ternyata berpengaruh besar terhadap ‘kehidupan’ si tokoh.

Oleh karenanya, latar menyumbang ‘bahan baku’ dalam penyusunan alur secara signifikan. Interaksi antar tokoh dengan setting, akan menghidupkan konflik. Bahkan, dalam beberapa cerita, ada para penulis yang dengan ‘berani’ membuat konflik, benar-benar tokoh vs setting belaka. Tak ada tokoh vs tokoh. Yang paling terkenal adalah Cast Away, film yang dibintangi oleh Tom Hanks. Film ini menceritakan seorang karyawan yang terdampar di pulau yang sepi setelah melakukan penerbangan di Pasifik bagian selatan. Berbagai konflik ‘melawan’ setting, dihadapi seorang diri. Sebagaimana tokoh, kedetailan alur juga akan ‘memperindah’ dan dalam kasus tertentu, menjadi punggung dari alur itu sendiri.

Penggarapan alur yang baik, akan berefek pada kualitas konflik. Karena konflik adalah intisari dari sebuah cerita, berarti hal itu juga akan memberi sumbangan besar terhadap kualitas cerita itu sendiri. Maka, tak heran jika untuk mendapatkan latar yang benar-benar kuat, beberapa penulis melakukan riset secara kuat. Salah satu contoh penulis yang risetnya kuat adalah Camilla Gibs. Untuk membuat novel Sweetness in The Belly, Camilla Gibs yang juga P.Hd ilmu sosiologi dari Harvard University, selama 2 tahun menetap di Ethiopia, tinggal bersama Kaum Sufi Harary, yang memang menjadi latar dari novel tersebut.

Jadi, Anda bisa bayangkan, bagaimana kualitas sebuah novel yang risetnya hanya sekadar googling, apalagi kopi paste di Wikipedia. Mungkin untuk bisa total melakukan riset, kita akan kesulitan jika mengikuti apa yang telah dilakukan Gibs. Melakukan studi pustaka dengan memadai, mencari buku-buku yang benar-benar bagus, membaca secara mendalam, wawancara dengan para ahli, akan membantu kita mendapatkan serangkaian latar yang ‘membumi.’

BERSAMBUNG

BIRRUL WALIDAIN

Mata Kuliah: Akhlak
Jurusan: Tafsir Hadis
Prodi: Ilmu Hadis Semester Tiga
                                                          BIRRUL WALIDAIN



Muhammad Zainal
Nurkhalis
Hariyadin
Riska


JURUSAN TAFSIR HADIS
PRODI ILMU HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR 2013/2014