Friday, March 21, 2014

Pemimpin Sebagai Pelayan Masyarakat

Tugas Mata Kuliah     : Hadis Hukum Dan Pemerintahan
Dosen Pembimbing    : Dr. H. Mahmuddin, M.Ag

Pemimpin Sebagai Pelayan Masyarakat

 


Oleh :
SABRI
EDI SUDRAJAT

PROGRAM STUDI  ILMU HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2013/2014
  

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ajaran  Islam secara tegas menyatakan bahwa kepemimipinan merupakan variabel yang tidak boleh diabaikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan bernegara Al-Qurán dan Hadist telah banyak memberikan gambaran tentang adanya hubungan positif antara pemimpin yang baik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat
Dalam pandangan Islam , seorang pemipin yang diberi amanat oleh Allah SWT untuk memimpin rakyat, yang di akhirat kelak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan dari tuntutan rakyatnya selama di dunia, ia tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntutan Allah di akhirat kelak. Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya tidak memposisikan diri sebagai orang yang paling berkuasa diantara rakyat yang dipimpinnya sehingga bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Namun sebaliknya , ia harus mampu menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat atau komunitas yang dipimpinnya, dalam hadist lain disampaikan hal yang sama “Pemimpin adalah Pengabdi (pelayan) mereka”. (HR.Abu Naím)
Allah SWT berfirman dalam Surat An-nisa Ayat 58
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
terjemah :
“sesungguhnya Allah SWT menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh (menyuruh kamu kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. sesungguhnya allah adalah maha mendengar lagi maha melihat” ( QS. An-nisa : 58)[1]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil pemaparan diatas maka kami mengankat beberapa rumusan masalah, yang akan kita bahas dalam makalah ini, yaitu:
1.    Apa pengertian pemimpin ?
2.    Bagaimana seorang pemimpin menjadi pelayan bagi masyarakatnya  ?
3.    Bagaimana Batasan ketaatan pada pemimpin ?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pemimpin
Pemimpin berasal dari kata “pimpin” yang berarti bimbing dan tuntun. Dengan demikian di dalamnya ada dua pihak yang terlibat yaitu yang "dipimpin" dan yang "memimpin". Setelah ditambah awalan “pe” menjadi “pemimpin” yang berarti orang yang menuntun atau yang membimbing. Secara etimologi pemimpin adalah orang yang mampu mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok.[2] Kemudian secara terminologis banyak ditemukan definisi tentang pemimpin.[3] Para pakar manajemen biasanya mendefinisikan pemimpin menurut pandangan pribadi mereka, dan aspek-aspek fenomena dari kepentingan yang paling baik bagi pakar yang bersangkutan. Sehingga Stogdil membuat menyatakan bahwa  Definisi kepemimpinan  sebanyak dengan pandangan masing-masing yang mendefinisikannya.
Kemudian pemimpin yang dikemukakan oleh Edwin A. Locke, adalah orang yang berproses membujuk (inducing) orang lain untuk mengambil langkah-langkah menuju suatu sasaran bersama.[4] Pengertian ini mengandung tiga elemen penting yaitu;
Pemimpin adalah orang yang membuat suatu konsep relasi (relation concept). Disebut sebagai pemimpin apabila ada relasi dengan orang lain. Jika tidak ada relasi atau pengikut, maka hal itu tidak dapat disebut pemimpin. Tersirat dalam pengertian tersebut, bahwa para pemimpin efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan berelasi dengan para pengikut mereka;
B. Pemimpin Sebagai Pelayan Masyarakat
Pemimpin adalah imam yang patut diteladani. Seorang pemimpin atau imam harus mampu menjalankan amanah yang diembannya. Ia harus mampu dan mau menjadi pelayan masyarakat, karena pemimpin  itu adalah pelayan masyarakat, bukan masyarakat melayani pemimpin . Di dalam sebuah hadist menjelaskan dalam kitab Al-lu’lu wa al Marjan yang berbunyi :
حَدِيْثُ مَعْقَلِ بْنِ يَسَارٍ عَنِ الْحَسَنِ أَنَّ عُبَيْدَ اللهِ بْنِ زِيَادٍ عَادَ مَعْقَلَ بْنَ يَسَارٍ فِى مَرَضِهِ الَّذِيْ مَاتَ فِيْهِ، فَقَالَ لَهُ مَعْقَلٌ: إِنِّيْ مُحَدِّثُكَ حَدِيْثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ مِنْ عَبْدٍ اِسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيْحَةٍ إِلاَّ لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ. (أخرجه البخاري فى 92-كتاب الأحكام: باب من استرعى رعية فلم ينصح).

Artinya:
Al-Hasan berkata, Ubaidillah bin Ziyad menjenguk Ma’qal bin Yasar ra., ketika ia sakit yang menyebabkan kematiannya, maka Ma’qal berkata kepada Ubaidillah bin Ziyad, “Aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadits yang telah dengar dari Rasulullah saw., aku telah mendengar Nabi saw. bersabda, “Tiada seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan Allah tidak akan merasakan padanya harumnya surga (melainkan tidak mendapat bau surga).
 Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab “Hukum-hukum” bab “Orang yang diberi amanat kepemimpinan).
Hadist yang disampaikan Ma’qil bin Yasir ini menginformasikan pada kita bahwa Nabi SAW telah menegaskan orang yang memegang suatu jabatan, berarti jadi pelayan masyarakat. Bila dalam tugas melayani masyarakat yang berhubungan dengan jabatan tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya (tidak profesional), sehingga masyarakat merasa dirugikan, atau dizhalimi, berarti zalim/khianat sesama manusia. Oleh karena itu, hukuman bagi orang tersebut menurut Rasulullah adalah penghuni neraka. Bahwa setiap seorang pemimpin yang sehat akalnya, otomatis pemimpin/pengembala/pemelihara. Justru itu wajib menyelamatkan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Melaksanakan pelayanan baik terhadap apa yang telah dipimpinnya merupakan tuntunan ajaran Islam, sebab jika tidak dilaksanakan akan mendapatkan ancaman dan siksaan Allah SWT[5]
Dalam pandangan Islam , seorang pemimpin yang diberi amanat oleh Allah SWT untuk memimpin rakyat, yang diakhirat kelak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT.
Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan dari tuntutan rakyatnya selama di dunia, ia tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntutan Allah di akhirat kelak. Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya tidak memposisikan diri sebagai orang yang paling berkuasa diantara rakyat yang dipimpinnya sehingga bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Namun sebaliknya , ia harus mampu menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat atau komunitas yang dipimpinnya, dalam hadist lain disampaikan hal yang sama “Pemimpin adalah Pengabdi (pelayan) mereka”. (HR.Abu Naím). Agar kaum muslim memiliki pemimpin yang adil, yang mampu memelihara dan menjaga mereka yang betul-betul didasarkan pada kualitas, integrasi, loyalitas dan yang paling penting adalah perilaku dan ketaatan dalam keagamaannya. Jangan memilih pemimpin karena didasarkan rasa emosional, baik dari ras, suku, bangsa , atau keturunan[6]
hadis nabi dijelaskan Abu maryam al’ azdy r.a berkata kepada muawiyah: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: siapa yang diserahi oleh allah mengatur kepentingan kaum muslimin, yang kemdian ia sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka Allah akan menolak hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian muawiyah mengangkat seorang untuk melayani segala hajat kebutuhan orang-orang (rakyat). (abu dawud, attirmidzy)

Pemimpin sebagai pelayan dan rakyat sebagai tuan. Itulah kira-kira yang hendak disampaikan oleh hadis di atas. Meski tidak secara terang-terangan hadis di atas menyebutkan rakyat sebagai tuan dan pemimpin sebagai pelayan, namun setidaknya hadis ini hendak menegaskan bahwa islam memandang seorang pemimpin tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena hakekat pemimpin ialah melayani kepentingan rakyat. Sebagai seorang pelayan, ia tentu tidak beda dengan pelayan-pelayan lainnya yang bertugas melayani kebutuhan-kebutuhan majikannya. Seorang pelayan rumah tangga, misalkan, harus bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan majikannya. Demikian juga seorang pelayan kepentingan rakyat harus bertanggung jawab untuk melayani seluruh kepentingan rakyatnya.[7]
Dalam konteks indonesia, sosok “pelayan” yang bertugas untuk memenuhi kepentingan “tuan” rakyat ini adalah Presiden, Menteri, DPR, MPR, MA, Bupati, Walikota, Gubernur, Kepala Desa, dan semua birokrasi yang mendukungnya. Mereka ini adalah orang-orang yang kita beri kepercayaan (tentunya melalui pemilu) untuk mengurus segala kepentingan dan kebutuhan kita sebagai rakyat. Karena itu, bila mereka tidak melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan” berhak untuk “memecat” mereka dari jabatannya.



C.    Batas Ketaatan kepada Pemimpin
Kedudukan seorang pemimpin sangat tinggi dalam agama islam, sehingga ketaatan kepada mereka pun disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaiman firman-Nya:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB
Terjemah:
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kalian.”(Q.S.An-Nisa:59)
Ayat diatas  menjelaskan bahwa, Allah tidak memerintahkan taat kepada ulil amri atau pemimpin secara independen, tetapi dibuanglah kata perintah”taatilah”, dan menjadikan ketaatan kepada mereka dalam ketaatan kepada Rasul. Sebagai pengumuman bahwa mereka itu ditaati karena mengikut ketaatan kepada Rasul. Maka barang siapa diantara mereka memerintahkan ketaatan kepada Rasul maka wajib menaatinya, dan barang siapa diantara mereka memerintahkan sesuatu yang menyalahi apa yang dibawa oleh Rasul maka tidak ada kewajiban mendengar dan menaatinya. Sebagaimana hadits dari Rasulullah
ﻻﻂﺎﻋﺔﻓﻲﻣﻌﺻﻳﺔﷲﺍﻧﻣﺎﺍﻟﻂﺎﻋﺔﻓﻲﺍﻟﻣﻌﺭﻭﻑ
tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang baik (taat kepada Allah).[8]”(HR.Muslim)
Dari Ibnu Umar r.a. Nabi SAW. bersabda: “Mendengar dan taat kepada seorang pemimpin muslim berlaku dalam hal yang disukai dan tidak disukai, selama pemimpin itu tidak menyuruh melakukan kemaksiatan (kejahatan). Apabila ia menyuruh melakukan kemaksiatan maka tidak boleh ditaati dan didengar.”(HR.Bukhari)
Hadis di atas menjelaskan kewajiban mendengar dan taat kepada pemimpin selama tidak diperintahkan untuk melakukan kemaksiatan. Ini membatasi pernyataan global dalam 2 hadits tentang perintah untuk mendengar dan taat serta perintah bersabar atas kebijakan yang tidak disukai dari pemimpin, sekaligus berpisah dengan jama’ah. (apabila diperintahkan melakukan maksiat maka tidak boleh didengar dan ditaati). Maksudnya adalah tidak wajib mengikuti dan menaati bahkan haram bagi siapa saja yang mampu menghindar daripadanya.[9] Hadits Mu’adz yang diriwayatkan Imam Ahmad “(tidak ada ketaatan bagi orang yang tidak taat kepada Allah).[10]
 Rasulullah SAW. bersabda:
Artinya:
“Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah SAW. bersabda, “ barang siapa yang taat kepadaku, berarti taat kepada Allah, dan barang siapa yang melanggar kepadaku, berarti melanggar kepada Allah. Dan siapa yang taat kepada pimpinan berarti taat kepadaku, dan siapa yang maksiat kepada pimpinan berarti maksiat kepadaku.”[11](H.R.Bukhari dan Muslim)
Hal itu menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus ditaati walaupun seorang budak hitam umpamanya. Segala perintah dan perkataannya harus ditaati oleh semua bawahannya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits Rasulullah berikut:
Artinya:
“Anas r.a. berkata, “Rasulullah SAW. telah bersabda, “ dengarlah dan taatilah meskipun yang terangkat dalam pemerintahanmu adalah seorang budak Habasyiah yang kepalanya bagaikan kismis.”  (H.R.Bukhari)
Namun demikian, bukan berarti ketaatan yang tanpa batas, karena kewajiban taat kepada seorang pemimpin hanyalah dalam hal-hal yang tidak berhubungan dengan kemaksiatan. Dalam kehidupan nyata, tidak jarang terdapat seorang pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaanguna mencapai keinginan dan kepuasan hawa nafsunya. Tidak jarang pula, untuk mencapai keinginannya tersebut, ia memerintahkan kepada bawahannyauntuk melakukan perbuatan-perbuatan yang sebenarnya dilarang oleh agama. Terhadap perintah demikian, islam melarang untuk menaatinya.


BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
  Ajaran  Islam secara tegas menyatakan bahwa kepemimipinan merupakan variabel yang tidak boleh diabaikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan bernegara di dalam  Al-Qurán dan Hadist telah banyak memberikan gambaran tentang adanya hubungan positif antara pemimpin yang baik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pemimpin adalah pelaku atau seseorang yang melakukan kegiatan kepemimpinan, yaitu seseorang yang melakukan suatu proses yang berisi rangkaian kegiatan saling pengaruh-mempengaruhi, berkesinambungan dan terarah pada suatu tujuan., dan Pemimpin adalah imam yang patut diteladani. Seorang pemimpin atau imam  harus mampu menjalankan amanah yang diembannya. Ia harus mampu dan mau menjadi pelayan masyarakat, karena pemimpin  itu adalah pelayan masyarakat, bukan masyarakat melayani pemimpin, dan pemimpin itu bukan berada di singasana tertentu yang sulit ditemui kecuali yang dialami rakyatnya.
.

DAFTAR PUSTAKA


Agus Hasan Bashori Abu Hamzah al-Sanuwi,Qiblati,(Malang,CV.Media Citra Qiblati,2011) h.34                                 
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 874
Drs. Dann Sugandha, M.PA,1986, Kepemimipinan didalam Administrasi, Bandung : CV.Sinar Baru, Hal 62)
Edwin A. Locke and Associaties, The Essense of Leadership: The Four Keys to Leading Succesfully, diterjamahkan oleh Indonesian Translation dengan judul Esensi Kepemimpinan:Empat Kunci Memmpin dengan Penuh Keberhasilan (Cet.II; Jakarta: Mitra Utama, 2002), h. 3
M. Munir S.Ag, M.A. Manajemen Dakwah. Jakarta : Kencana 2009           
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Kitab Al-lu’lu wa al marjan,terjemah, H.salim Bahresy, surabaya : Bina Ilmu 1996
Prof.Dr.H.BasoMidong,M.Ag.,Dra.St.Aisyah,M.A.,Ph.D.,Buku Daras Hadis Makassar; Alauddin Press,2010
al-Quránul Karim Tarjamah
Rachmat Syafe’I. Al-Hadis Aqidah,Akhlaq,Sosial,dan Hukum Bandung;Pustaka Setia,2000



[1] Al Quránul Karim Tarjamah
[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 874. John M. Echols dan Hassan Shadily, An English-Indonesian Dictionary (Cet. XXV; Jakarta: PT. Gramedia, 2003), h. 351
[3] Ralp M. Stogdil menghimpun sebelas definisi tentang pemimpin, yakni sebagai pusat kelompok; sebagai kepribadian yang berakibat; sebagai seni menciptakan kesepakatan; sebagai kemampuan mempengaruhi; sebagai tindakan perilaku; sebagai suatu bentuk bujukan; sebagai suatu hubungan kekuasaan; sebagai sarana penciptaan tujuan; sebagai hasil interaksi; sebagai pemisahan peranan; dan sebagai awal struktur. Ralph M. Stogdill, Handbook of Leadership, (London: Collier Mac Millan Publisher, 1974), h. 7-15

[4] Edwin A. Locke and Associaties, The Essense of Leadership: The Four Keys to Leading Succesfully, diterjamahkan oleh Indonesian Translation dengan judul Esensi Kepemimpinan:Empat Kunci Memmpin dengan Penuh Keberhasilan (Cet.II; Jakarta: Mitra Utama, 2002), h. 3
[5]Muhammad Fuad Abdul Baqi,1996,Kitab Al-lu’lu wa al marjan,terjemah, H.salim Bahresy, surabaya : Bina Ilmu Hal, 27
[6] (Muhammad Faiz Almath,Op.Cit, Hal.163)
[7] Muhammad Fuad Abdul Baqi,1996,Kitab Al-lu’lu wa al marjan,terjemah, H.salim Bahresy, surabaya : Bina Ilmu
[8] Agus Hasan Bashori Abu Hamzah al-Sanuwi,Qiblati,(Malang,CV.Media Citra Qiblati,2011) h.34                                 
[9] Prof.Dr.H.Baso Midong,M.Ag.,Dra.St.Aisyah,M.A.,Ph.D.,Buku Daras Hadis(Makassar;Alauddin Press,2010)h.93
[10] ibid
[11]Rachmat Syafe’I. Al-Hadis Aqidah,Akhlaq,Sosial,dan Hukum(Bandung;Pustaka Setia,2000)h.147                                                                                                                                                                   

1 comment:

  1. MOHON IJIN DOWNLOAD MAKALAHNYA MAS UNTUK IKUT BELAJAR. TERIMA KASIH

    ReplyDelete