Tugas Mata Kuliah : Hadis Hukum Dan Pemerintahan
Dosen Pembimbing : Dr. H.
Mahmuddin, M.Ag
Pemimpin Sebagai Pelayan
Masyarakat
Oleh :
SABRI
EDI SUDRAJAT
PROGRAM STUDI ILMU HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
ALAUDDIN MAKASSAR
2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ajaran
Islam secara tegas menyatakan bahwa kepemimipinan merupakan variabel
yang tidak boleh diabaikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan bernegara
Al-Qurán dan Hadist telah banyak memberikan gambaran tentang adanya hubungan
positif antara pemimpin yang baik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat
Dalam pandangan Islam , seorang pemipin yang
diberi amanat oleh Allah SWT untuk memimpin rakyat, yang di akhirat kelak akan
dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT. Dengan demikian, meskipun seorang
pemimpin dapat meloloskan dari tuntutan rakyatnya selama di dunia, ia tidak
akan mampu meloloskan diri dari tuntutan Allah di akhirat kelak. Oleh karena
itu, seorang pemimpin hendaknya tidak memposisikan diri sebagai orang yang
paling berkuasa diantara rakyat yang dipimpinnya sehingga bertindak
sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Namun sebaliknya , ia harus mampu
menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat atau komunitas yang dipimpinnya,
dalam hadist lain disampaikan hal yang sama “Pemimpin adalah Pengabdi
(pelayan) mereka”. (HR.Abu Naím)
Allah SWT berfirman dalam Surat An-nisa Ayat
58
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ
أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ
أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
terjemah :
“sesungguhnya Allah SWT
menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh
(menyuruh kamu kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. sesungguhnya allah adalah maha mendengar lagi maha
melihat” ( QS. An-nisa : 58)[1]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil
pemaparan diatas maka kami mengankat beberapa rumusan masalah, yang akan kita
bahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Apa pengertian
pemimpin ?
2. Bagaimana
seorang pemimpin menjadi pelayan bagi masyarakatnya ?
3. Bagaimana
Batasan ketaatan pada pemimpin ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pemimpin
Pemimpin
berasal dari kata “pimpin” yang berarti bimbing dan tuntun. Dengan demikian di
dalamnya ada dua pihak yang terlibat yaitu yang "dipimpin" dan yang
"memimpin". Setelah ditambah awalan “pe” menjadi “pemimpin” yang berarti
orang yang menuntun atau yang membimbing. Secara etimologi pemimpin adalah
orang yang mampu mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan
pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi
awal struktur dan pusat proses kelompok.[2]
Kemudian secara terminologis banyak ditemukan definisi tentang pemimpin.[3]
Para pakar manajemen biasanya mendefinisikan pemimpin menurut pandangan pribadi
mereka, dan aspek-aspek fenomena dari kepentingan yang paling baik bagi pakar
yang bersangkutan. Sehingga Stogdil membuat menyatakan bahwa Definisi kepemimpinan sebanyak dengan pandangan masing-masing yang
mendefinisikannya.
Kemudian
pemimpin yang dikemukakan oleh Edwin A. Locke, adalah orang yang berproses
membujuk (inducing) orang lain untuk mengambil langkah-langkah menuju
suatu sasaran bersama.[4]
Pengertian ini mengandung tiga elemen penting yaitu;
Pemimpin
adalah orang yang membuat suatu konsep relasi (relation concept).
Disebut sebagai pemimpin apabila ada relasi dengan orang lain. Jika tidak
ada relasi atau pengikut, maka hal itu tidak dapat disebut pemimpin. Tersirat
dalam pengertian tersebut, bahwa para pemimpin efektif harus mengetahui
bagaimana membangkitkan inspirasi dan berelasi dengan para pengikut mereka;
B. Pemimpin
Sebagai Pelayan Masyarakat
Pemimpin adalah imam yang patut diteladani. Seorang
pemimpin atau imam harus mampu menjalankan amanah yang diembannya. Ia harus
mampu dan mau menjadi pelayan masyarakat, karena pemimpin itu adalah pelayan masyarakat, bukan
masyarakat melayani pemimpin . Di dalam sebuah hadist menjelaskan dalam kitab
Al-lu’lu wa al Marjan yang berbunyi :
حَدِيْثُ
مَعْقَلِ بْنِ يَسَارٍ عَنِ الْحَسَنِ أَنَّ عُبَيْدَ اللهِ بْنِ زِيَادٍ عَادَ
مَعْقَلَ بْنَ يَسَارٍ فِى مَرَضِهِ الَّذِيْ مَاتَ فِيْهِ، فَقَالَ لَهُ
مَعْقَلٌ: إِنِّيْ مُحَدِّثُكَ حَدِيْثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُوْلُ: مَنْ مِنْ عَبْدٍ اِسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا
بِنَصِيْحَةٍ إِلاَّ لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ. (أخرجه البخاري فى 92-كتاب
الأحكام: باب من استرعى رعية فلم ينصح).
Artinya:
“Al-Hasan berkata, Ubaidillah bin Ziyad menjenguk Ma’qal bin Yasar ra.,
ketika ia sakit yang menyebabkan kematiannya, maka Ma’qal berkata kepada
Ubaidillah bin Ziyad, “Aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadits yang telah
dengar dari Rasulullah saw., aku telah mendengar Nabi saw. bersabda, “Tiada
seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya
dengan baik, melainkan Allah tidak akan merasakan padanya harumnya surga
(melainkan tidak mendapat bau surga)”.
Dikeluarkan
oleh Imam Bukhari dalam kitab “Hukum-hukum” bab “Orang yang diberi amanat
kepemimpinan).
Hadist yang disampaikan Ma’qil bin Yasir ini
menginformasikan pada kita bahwa Nabi SAW telah menegaskan orang yang memegang
suatu jabatan, berarti jadi pelayan masyarakat. Bila dalam tugas melayani
masyarakat yang berhubungan dengan jabatan tersebut tidak dilaksanakan
sebagaimana mestinya (tidak profesional), sehingga masyarakat merasa dirugikan,
atau dizhalimi, berarti zalim/khianat sesama manusia. Oleh karena itu, hukuman
bagi orang tersebut menurut Rasulullah adalah penghuni neraka. Bahwa setiap
seorang pemimpin yang sehat akalnya,
otomatis pemimpin/pengembala/pemelihara. Justru itu wajib menyelamatkan diri
sendiri, keluarga, dan masyarakat. Melaksanakan pelayanan baik terhadap apa
yang telah dipimpinnya merupakan tuntunan ajaran Islam, sebab jika tidak
dilaksanakan akan mendapatkan ancaman dan siksaan Allah SWT[5]
Dalam pandangan Islam , seorang pemimpin yang
diberi amanat oleh Allah SWT untuk memimpin rakyat, yang diakhirat kelak akan
dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT.
Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin
dapat meloloskan dari tuntutan rakyatnya selama di dunia, ia tidak akan mampu
meloloskan diri dari tuntutan Allah di akhirat kelak. Oleh karena itu, seorang
pemimpin hendaknya tidak memposisikan diri sebagai orang yang paling berkuasa
diantara rakyat yang dipimpinnya sehingga bertindak sewenang-wenang terhadap
rakyatnya. Namun sebaliknya , ia harus mampu menempatkan diri sebagai pelayan
masyarakat atau komunitas yang dipimpinnya, dalam hadist lain disampaikan hal
yang sama “Pemimpin adalah Pengabdi (pelayan) mereka”. (HR.Abu Naím).
Agar kaum muslim memiliki pemimpin yang adil, yang mampu memelihara dan menjaga
mereka yang betul-betul didasarkan pada kualitas, integrasi, loyalitas dan yang
paling penting adalah perilaku dan ketaatan dalam keagamaannya. Jangan memilih
pemimpin karena didasarkan rasa emosional, baik dari ras, suku, bangsa , atau
keturunan[6]
hadis nabi dijelaskan Abu maryam al’ azdy r.a
berkata kepada muawiyah: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: siapa
yang diserahi oleh allah mengatur kepentingan kaum muslimin, yang kemdian ia
sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka Allah akan menolak hajat
kepentingan dan kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian muawiyah
mengangkat seorang untuk melayani segala hajat kebutuhan orang-orang (rakyat).
(abu dawud, attirmidzy)
Pemimpin
sebagai pelayan dan rakyat sebagai tuan. Itulah kira-kira yang hendak
disampaikan oleh hadis di atas. Meski tidak secara terang-terangan hadis di
atas menyebutkan rakyat sebagai tuan dan pemimpin sebagai pelayan, namun
setidaknya hadis ini hendak menegaskan bahwa islam memandang seorang pemimpin
tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena hakekat pemimpin ialah
melayani kepentingan rakyat. Sebagai seorang pelayan, ia tentu tidak beda
dengan pelayan-pelayan lainnya yang bertugas melayani kebutuhan-kebutuhan
majikannya. Seorang pelayan rumah tangga, misalkan, harus bertanggung jawab
untuk melayani kebutuhan majikannya. Demikian juga seorang pelayan kepentingan
rakyat harus bertanggung jawab untuk melayani seluruh kepentingan rakyatnya.[7]
Dalam
konteks indonesia,
sosok “pelayan” yang bertugas untuk memenuhi kepentingan “tuan” rakyat ini
adalah Presiden, Menteri, DPR, MPR, MA, Bupati, Walikota, Gubernur, Kepala Desa,
dan semua birokrasi yang mendukungnya. Mereka ini adalah orang-orang yang kita
beri kepercayaan (tentunya melalui pemilu) untuk mengurus segala kepentingan
dan kebutuhan kita sebagai rakyat. Karena itu, bila mereka tidak melaksanakan
tugasnya sebagai pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan” berhak untuk
“memecat” mereka dari jabatannya.
C. Batas
Ketaatan kepada Pemimpin
Kedudukan
seorang pemimpin sangat tinggi dalam agama islam, sehingga ketaatan kepada
mereka pun disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaiman
firman-Nya:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr&
©!$#
(#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$#
Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB …
Terjemah:
“ Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kalian.”(Q.S.An-Nisa:59)
Ayat
diatas menjelaskan bahwa, Allah tidak
memerintahkan taat kepada ulil amri atau pemimpin secara independen, tetapi
dibuanglah kata perintah”taatilah”, dan menjadikan ketaatan kepada mereka dalam
ketaatan kepada Rasul. Sebagai pengumuman bahwa mereka itu ditaati karena
mengikut ketaatan kepada Rasul. Maka barang siapa diantara mereka memerintahkan
ketaatan kepada Rasul maka wajib menaatinya, dan barang siapa diantara mereka
memerintahkan sesuatu yang menyalahi apa yang dibawa oleh Rasul maka tidak ada
kewajiban mendengar dan menaatinya. Sebagaimana hadits dari Rasulullah
ﻻﻂﺎﻋﺔﻓﻲﻣﻌﺻﻳﺔﷲﺍﻧﻣﺎﺍﻟﻂﺎﻋﺔﻓﻲﺍﻟﻣﻌﺭﻭﻑ
“tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah, sesungguhnya
ketaatan itu hanya dalam hal yang baik (taat kepada Allah).[8]”(HR.Muslim)
Dari Ibnu Umar r.a. Nabi SAW.
bersabda: “Mendengar dan taat kepada seorang pemimpin muslim berlaku dalam
hal yang disukai dan tidak disukai, selama pemimpin itu tidak menyuruh
melakukan kemaksiatan (kejahatan). Apabila ia menyuruh melakukan kemaksiatan
maka tidak boleh ditaati dan didengar.”(HR.Bukhari)
Hadis di
atas menjelaskan kewajiban mendengar dan taat kepada pemimpin selama tidak
diperintahkan untuk melakukan kemaksiatan. Ini membatasi pernyataan global
dalam 2 hadits tentang perintah untuk mendengar dan taat serta perintah
bersabar atas kebijakan yang tidak disukai dari pemimpin, sekaligus berpisah
dengan jama’ah. (apabila diperintahkan melakukan maksiat maka tidak boleh
didengar dan ditaati). Maksudnya adalah tidak wajib mengikuti dan menaati
bahkan haram bagi siapa saja yang mampu menghindar daripadanya.[9]
Hadits Mu’adz yang diriwayatkan Imam Ahmad “(tidak ada ketaatan bagi orang
yang tidak taat kepada Allah).[10]”
Rasulullah SAW. bersabda:
Artinya:
“Abu Hurairah r.a. berkata,
Rasulullah SAW. bersabda, “ barang siapa yang taat kepadaku, berarti taat
kepada Allah, dan barang siapa yang melanggar kepadaku, berarti melanggar
kepada Allah. Dan siapa yang taat kepada pimpinan berarti taat kepadaku, dan
siapa yang maksiat kepada pimpinan berarti maksiat kepadaku.”[11](H.R.Bukhari
dan Muslim)
Hal itu
menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus ditaati walaupun seorang budak hitam
umpamanya. Segala perintah dan perkataannya harus ditaati oleh semua
bawahannya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits Rasulullah berikut:
Artinya:
“Anas
r.a. berkata, “Rasulullah SAW. telah bersabda, “ dengarlah dan taatilah
meskipun yang terangkat dalam pemerintahanmu adalah seorang budak Habasyiah
yang kepalanya bagaikan kismis.” (H.R.Bukhari)
Namun
demikian, bukan berarti ketaatan yang tanpa batas, karena kewajiban taat kepada
seorang pemimpin hanyalah dalam hal-hal yang tidak berhubungan dengan
kemaksiatan. Dalam kehidupan nyata, tidak jarang terdapat seorang pemimpin yang
menyalahgunakan kekuasaanguna mencapai keinginan dan kepuasan hawa nafsunya.
Tidak jarang pula, untuk mencapai keinginannya tersebut, ia memerintahkan
kepada bawahannyauntuk melakukan perbuatan-perbuatan yang sebenarnya dilarang
oleh agama. Terhadap perintah demikian, islam melarang untuk menaatinya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ajaran
Islam secara tegas menyatakan bahwa kepemimipinan merupakan variabel
yang tidak boleh diabaikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan bernegara
di dalam Al-Qurán dan Hadist telah
banyak memberikan gambaran tentang adanya hubungan positif antara pemimpin yang
baik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pemimpin adalah pelaku atau seseorang yang
melakukan kegiatan kepemimpinan, yaitu seseorang yang melakukan suatu proses
yang berisi rangkaian kegiatan saling pengaruh-mempengaruhi, berkesinambungan
dan terarah pada suatu tujuan., dan Pemimpin adalah imam yang patut diteladani.
Seorang pemimpin atau imam harus mampu
menjalankan amanah yang diembannya. Ia harus mampu dan mau menjadi pelayan
masyarakat, karena pemimpin itu adalah
pelayan masyarakat, bukan masyarakat melayani pemimpin, dan pemimpin itu bukan
berada di singasana tertentu yang sulit ditemui kecuali yang dialami rakyatnya.
.
DAFTAR PUSTAKA
Agus
Hasan Bashori Abu Hamzah al-Sanuwi,Qiblati,(Malang,CV.Media Citra
Qiblati,2011) h.34
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi III (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 874
Drs. Dann Sugandha, M.PA,1986,
Kepemimipinan didalam Administrasi, Bandung : CV.Sinar Baru, Hal 62)
Edwin A. Locke and Associaties, The Essense of
Leadership: The Four Keys to Leading Succesfully, diterjamahkan oleh
Indonesian Translation dengan judul Esensi Kepemimpinan:Empat Kunci
Memmpin dengan Penuh Keberhasilan (Cet.II; Jakarta: Mitra Utama, 2002), h.
3
M. Munir S.Ag, M.A.
Manajemen Dakwah. Jakarta : Kencana 2009
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Kitab
Al-lu’lu wa al marjan,terjemah, H.salim Bahresy, surabaya : Bina Ilmu 1996
Prof.Dr.H.BasoMidong,M.Ag.,Dra.St.Aisyah,M.A.,Ph.D.,Buku
Daras Hadis Makassar; Alauddin Press,2010
al-Quránul Karim Tarjamah
Rachmat
Syafe’I. Al-Hadis Aqidah,Akhlaq,Sosial,dan Hukum Bandung;Pustaka Setia,2000
[1] Al Quránul Karim Tarjamah
[2] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Cet. II;
Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 874. John M. Echols dan Hassan Shadily, An
English-Indonesian Dictionary (Cet. XXV; Jakarta: PT. Gramedia, 2003), h.
351
[3] Ralp M. Stogdil menghimpun sebelas
definisi tentang pemimpin, yakni sebagai pusat kelompok; sebagai kepribadian
yang berakibat; sebagai seni menciptakan kesepakatan; sebagai kemampuan
mempengaruhi; sebagai tindakan perilaku; sebagai suatu bentuk bujukan; sebagai
suatu hubungan kekuasaan; sebagai sarana penciptaan tujuan; sebagai hasil
interaksi; sebagai pemisahan peranan; dan sebagai awal struktur. Ralph M. Stogdill, Handbook
of Leadership, (London: Collier Mac Millan Publisher, 1974), h. 7-15
[4] Edwin
A. Locke and Associaties, The Essense of Leadership: The Four Keys to
Leading Succesfully, diterjamahkan oleh Indonesian Translation dengan judul
Esensi Kepemimpinan:Empat Kunci Memmpin dengan Penuh Keberhasilan
(Cet.II; Jakarta: Mitra Utama, 2002), h. 3
[5]Muhammad Fuad Abdul Baqi,1996,Kitab
Al-lu’lu wa al marjan,terjemah, H.salim Bahresy, surabaya : Bina Ilmu Hal, 27
[7] Muhammad Fuad Abdul Baqi,1996,Kitab
Al-lu’lu wa al marjan,terjemah, H.salim Bahresy, surabaya : Bina Ilmu
[8] Agus
Hasan Bashori Abu Hamzah al-Sanuwi,Qiblati,(Malang,CV.Media Citra
Qiblati,2011) h.34
[9]
Prof.Dr.H.Baso Midong,M.Ag.,Dra.St.Aisyah,M.A.,Ph.D.,Buku Daras Hadis(Makassar;Alauddin
Press,2010)h.93
[10] ibid
[11]Rachmat
Syafe’I. Al-Hadis Aqidah,Akhlaq,Sosial,dan Hukum(Bandung;Pustaka Setia,2000)h.147
MOHON IJIN DOWNLOAD MAKALAHNYA MAS UNTUK IKUT BELAJAR. TERIMA KASIH
ReplyDelete