Thursday, October 11, 2012

SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA RASULULLAH, SAHABAT, DAN TABIN


Tugas kelompok 

MATA KULIAH ILMU HADIS

SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA RASULULLAH, SAHABAT, DAN TABIN







Oleh 
Kelompok II
TAUFIK HIDAYAT
MUH ZAINAL
ASWAR



JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI UIN ALAUDDIN
MAKSSAR
2012.



KATA PENGANTAR

Dengan nama ALLAH yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang, penulis memanjatkan puji syukur atas kehadirat ALLAH SWT. Karena atas rahmat, dan hidayanyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Begitupula shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada nabi Muhammad saw beserta sahabat, keluarga dan pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Dalam penyusunan makalah ini penulis sedikit mengalami kesulitan dan rintangan, namun berkat bantuan yang diberikan dari berbagai pihak, sehingga kesulitan-kesulitan tersebut bisa teratasi dengan baik. Dengan demikian penulis lewat lembaran ini hendak menyampaikan ucapan terimah kasih yang setinggi-tingginya kepada mereka, teriring doa agar segenap bantuannya dalam urusan penyelesaian makalah ini, sehingga bernilai ibadah disisi Allah swt.
Akhirnya penyusun menyadari bahwa makalah ini bukanlah sebuah proses akhir dari segalanya, melainkan langkah awal yang masih memerlukan banyak koreksi, olehnya itu kritik dan saran sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Amin.


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Hadits Pada Masa Rasullullah
B. Sejarah Hadits Pada Masa Sahabat
C. Sejarah Hadits Pasa Masa Tabi’in
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 
B. Saran
Dafrar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Islam mengenal dua sumber primer dalam perundang-undangan. Pertama, Al-Qur’an dan kedua al-Hadits. Terdapat perbedaan yang signifikan pada sistem inventarisasi sumber tersebut. Al-Qur’an sejak awal diturunkan sudah ada perintah pembukuannya secara resmi, sehingga terpelihara dari kemungkinan pemalsuan. Berbeda dengan hadits, tak ada perlakuan khusus yang baku padanya, sehingga pemeliharaannya lebih merupakan spontanitas dan inisiatif para sahabat.
Hadits pada awalnya hanyalah sebuah literatur yang mencakup semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Persetujuan Nabi yang tidak diucapkan terhadap orang-orang pada zamannya, dan gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadits dihafalkan dan secara lisan disampaikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Setelah Nabi wafat pada tahun 10 H., islam merasakan kehilangan yang sangat besar. Nabi Muhammad SAW. Yang dianggap sebagai yang memiliki otaritas ajaran islam, dengan kematiannya umat merasakan otoritas. Hanya Al-Qur’an satu-satunya sumber informasi yang tersedia untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah umat islam yang masih muda itu, wahyu-wahyu ilahi, meskipun sudah dicatat, belum disusun dengan baik, dan belum dapat diperoleh atau tersedia secara materil ketika Nabi Muahammad SAW. wafat. Wahyu-wahyu dalam Al-Qur’an yang sangat sedikit sekali mengandung petunjuk yang praktis untuk dijadikan prinsip pembimbing yang umum dalam berbagai aktivitas. Khalifah-khalifah awal membimbing kaum muslim dengan semangat Nabi, meskipun terkadang bersandar pada penilaian pribadi mereka. Namun, setelah beberapa lama, ketika muncul kesulitan-kesulitan yang tidak dapat lagi mereka pecahkan sendiri, mereka mulai menjadikan sunnah, seperti yang merupakan kebiasaan perilaku Nabi sebagai acuan dan contoh dalam memutuskan suatu masalah. Sunnah yang hanya terdapat dalam hafalan-hafalan sahabat tersebut dijadikan sebagai bagian dari referensi penting setelah Al-Qur’an. Bentuk-bentuk kumpulan hafalan inilah yang kemudian disebut dengan hadits.
B.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut, penulis merumuskan dua rumusan masalah, yaitu:
1.    Bagaimanakah Sejarah hadis pada periode Rasulullah?
2.    Bagaimanakah Sejarah hadis pada periode Sahabat?
3.    Bagaimanakah Sejarah hadits pada periode Tabi’in?
C.    Tujuan dan Kegunaan
Dalam setiap penelitian apapun bentuknya senantiasa dibarengi dengan tujuan tertentu, oleh karena itu sebagai kelengkapan penjelasan penulis mengenai tujuan dan keguanaan penelitian yaitu untuk mengetahui Sejarah hadits. Baik itu Sejarah hadits pada masa Rasullullah SAW., Sejarah hadits pada masa Sahabat, dan Sejarah hadits pada masa Tabi’in.
Adapun kegunaan dari penelitan ini adalah diharapkan agar para pelajar mampu mengkaji tentang periwayatan hadis, baik pada masa Rasulullah saw maupun pada masa Sahabat.








BAB II
PEMBAHASAN

A.     Periwayatan Hadis Masa Nabi Muhammad SAW
Nabi dalam melaksanakan tugas sucinya yakni sebagai Rasul berdakwah, menyampaikan dan mengajarkan risalah islamiyah kepada umatnya. Nabi sebagai sumber hadis menjadi figur sentral yang mendapat perhatian para sahabat. Segala aktifitas beliau seperti perkataan, perbuatan dan segala keputusan beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak menyaksikannya, karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di majelis Nabi dan tidak seluruhnya selalu menemani beliau. Bagi mereka yang hadir dan mendapatkan hadits dari beliau berkewajiban menyampaikan apa yang dilihat dan apa yang didengar dari Rasulullah SAW. Baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits-Hadits dari Rasulullah. Mereka sangat antusias dan patuh pada perintah-perintah Nabi SAW.  
Hadis yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena, para sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis Nabi dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Hal ini terbukti dengan beberapa pengakuan sahabat Nabi sendiri, misalnya sebagai berikut:
‘Umar bin al-Kaththab telah membagi tugas dengan tetangganya untuk mencari berita yang berasal dari Nabi. Kata ‘Umar, bila, tetangganya hari ini menemui Nabi, maka ‘Umar pada esok harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita yang berasal atau berkenaan dengan Nabi, maka dia segera menyampaikan berita itu kepada yang tidak bertugas. Dengan demikian, para sahabat Nabi yang kebetulan sibuk tidak sempat menemui Nabi, mereka tetap juga dapat memperoleh hadis dari sahabat yang sempat bertemu dengan Nabi. Malik bin al-Huwayris menyatakan
ا تيت ا لنبي ص ف نفر من قؤ مي فا قمنا عند ه عشر ين ليلة ؤ كا ن ر حيما ر فيق فلما ر ا ي شؤ قنا ا لي ا ها لينا قا ل : ا ر جعؤ ا فكؤ نؤا فيهم ؤ علمؤ هم ؤ صلؤا فا ذاحضرت الصلا ة فليؤذن لكم احدكم ؤايؤمكم اكبركم.(روه البخاي عن ما لك بن الحؤيرث)

Saya  (Malik bin al-Huwayris) dalam satu rombongan kaum saya datang kepada Nabi saw. Kami tinggal disisi beliau selama dua puluh malam. Beliau adalah seorang penyayang dan akrab. Tatkala beliau melihat kami telah merasa rindu kepada para keluarga kami, beliau bersabda; “Kalian pulanglah, tinggallah bersama keluarga kalian, ajarlah mereka, dan lakukan shalat bersama mereka.
Al-Bara’ bin ‘Azib al-Awsiy telah menyatakan:

ليس كلنا كا ن يسمع حد يث ر سؤ ل الله ص ك نت لنا ضيعه ؤ ا شغا ل ؤ لكن ا لنا س لم يكؤ نؤا يكذ
بؤ ن يؤ مءذ فيحد ث ا لشا هد ا لغا ءب


Tidaklah kami semua (dapat langsung) mendengar hadis Rasulullah saw. (Kerena diantara) kami ada yang tidak memiliki waktu, atau sangat sibuk. Akan tetapi ketika itu orang-orang tidak ada yang berani melakukan kedustaan (terhadap hadis Nabi). Orang-orang yang hadir (menyaksikan terjadinya hadis Nabi) memberitakan (hadis itu) kepada orang-orang yang tidak hadir.
Pernyataan al-Bara’ ini memberi petunjuk: (1) Hadis yang diketahui oleh sahabat tidaklah seluruhnya langsung diterima dari Nabi, melainkan ada juga yang diterima melalui sahabat lain; (2) walaupun para sahabat banyak yang sibuk, tetapi kesibukan itu tidak menghalangi kelancaran penyebaran hadis Nabi.
Para sahabat menerima hadits secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. Memberi ceramah, pengajian, khotbah atau penjelasan terhadap pertanyaan-pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi.
Pada masa Nabi SAW. Kepandaian baca tulis dikalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis dikalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghafal, memahami, memelihara, mematerikan dan memantapkan hadits dalam amalan sehari-hari, serta mentabligkannya kepada orang lain.
Tidak ditulisnya hadits secara resmi pada masa Nabi, bukan berarti tidak ada sahabat yang menulis hadits. Dalam sejarah penulisan hadits terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadits, diantaranya:
a.      ‘Abdullah ibn Amr ibn ‘Ash (w. 65 H/685 M), shahifahnya disebut Ash-Shadiqah.
b.      Ali ibn Abi Thalib (w.40 H/611 M), penulis hadits tentang hukum diyat, hukum keluarga, dll
c.      Anas bin Malik
d.      Sumrah ibn Jundab (w.60 H/680 M)
e.      Abdullah ibn Abbas (w. 69 H/689 M)
f.       Jabir ibn ‘Abdullah al-Anshari (w. 78 H/697 M)
g.      Abdullah ibn Abi Awfa’ (w.86 H)
Dalam menyampaikan hadits-haditsnya, Nabi menempuh beberapa cara, yaitu :
Pertama, melalui majelis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membinah para jemaah, melalui majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah jg menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika nabi menyampaikan suatu hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang saja.
Ketiga, untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keuarga dan kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi menyampaikan melalui istri-istrinya. Seperti kasus ketika Nabi menjelaskan tentang seorang wanita yang bertanya kepada Nabi SAW. Tentang mandi wanita yang telah suci dari haidnya. Nabi menyuruh wanita itu untuk mandi sebagaiman mestinya, tetapi ia belum mengetahui bagaimana cara mandi sehingga Nabi bersabda : “Ambillah seperca kain (yang telah diolesi dengan wangi-wangian) dari kasturi, maka bersihkanlah dengannya”. Wanita itu bertanya lagi, “bagaimana saya membersihkannya?” Nabi bersabda : “Bersihkanlah dengannya”. Wanita tersebut masih bertanya lagi, “bagaimana (caranya)?” Nabi bersabda : Subhanallah hendaklah kamu bersihkan”. Maka ‘Aisyah, istri Nabi berkata : “Wanita itu saya tarik kearah saya dan saya katakan kepadanya, “Usapkanlah seperca kain itu ke tempat bekas darah”. Pada hadits ini, Nabi dibantu oleh ‘Aisyah, istrinya, untuk menjelaskan hal sensitif berkenaan dengan kewanitaan. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW. Sering kali mereka bertanya kapada istri-istrinya.
Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika futuh Mekkah dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah Haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi menyampaikan Khotbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan bidang muamalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia.
Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan hukumnya dan berita itu tersebar dikalangan umat islam. Misalnya suatu ketika Nabi berjalan-jalan di pasar dan bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang membeli makanan (gandum), Nabi menyuruhnya memasukkan tangannya kedalam gandum tersebut, dan ternyata di dalamnya basah, lalu Nabi bersabda :
ليس منا من غش       
“Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu”.
Secara resmi memang Nabi melarang menulis hadits bagi umum karena khawatir campur antara hadits dan Al-Qur’an. Jika prasarana yang sangat sederhana Al-Qur’an dan Hadits ditulis diatasnya dalam bentuk satu catatan atau satu lembar pelepah kurma, sulit untuk membedakan antara Al-Qur’an dan Hadits.
Banyak hadits yang melarang para sahabat untuk menulisnya, tetapi banyak juga hadits yang perintah menulisnya. Diantara hadits yang melarang penulisannya adalah sebagai berikut :



Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW. Bersabda : “Janganlah engkau tulis dari padaku, barang siapa yang menulis dari padaku selain Al-Qur’an maka hapuslah. (HR. Muslim)
Sedang Hadits yang memperbolehkan penulisan sunnah juga banyak sekali, diantaranya ialah :
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat anshar menyaksikan hadits Rasulullah tetapi tidak hafal, kemudian bertanya kepada Abu Hurairah maka ia memberitakannya. Kemudian ia mengadu kepada Rasulullah SAW. Tentang hafalannya yang minim tersebut, maka Nabi bersabda :
 عل حفظك بيمينكاستعن

Bantulah hafalanmu dengan tanganmu (HR. At-Tirmidzi)
Dalam mencari solusi dua versi yang kontra di atas para ulama berbeda pendapat. Diantaranya mereka berpendapat bahwa hadits yang melarang penulisan di hapus (di-nasakh) dengan hadits yang membolehkannya. Lebih dari itu al-Bukhari berpendapat hadits larangan penulisan yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri mauquf pada Abu Sa’id al-Khudri. Bahkan semua hadis larangan penulisan berkualitas dha’if, kurang kuat dijadikan alasan. Dengan demikian penulisan hadits tetap diperbolehkan bahkan diperintahkan dalam rangka memelihara sunnah sebagai sumber syari’ah islamiyah sampai sekarang dan kesimpulan inilah yang disepakati para ulama.
Disamping itu, ketika Nabi SAW. Menyelenggarakan dakwah dan pembinaan umat, beliau sering mengirimkan surat-surat seruan pemberitahuan, antara lain kepada para pejabat di daerah dan surat tentang seruan dakwah islamiyah kepada para raja dan kabilah, baik di timur, utara dan barat, surat-surat tersebut merupakan koleksi hadits-hadits juga. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pada masa Nabi SAW. Telah dilakukan penulisan hadits dikalangan sahabat.
B.    Periwayatan Hadis pada Masa Sahabat
Setelah Nabi wafat (11 H = 632 M), sahabat tidak dapat lagi mendengar sabda-sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan dan hal ihwal Nabi secara langsung. Kepada umatnya beliau juga meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan Hadits (as-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
 kendali kepemimpinan ummat islam berada ditangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar al-Shiddiq (wafat 13 H = 634 M), kemudian disusul oleh ‘Umar bin al-Khaththab (wafat 23 H = 644 M), ‘Usman bin ‘Affan (wafat 35 H = 656 M), dan ‘Aliy bin Abiy Thalib (wafat 40 H = 661 M), keempat khalifa ini dalam sejarah dikenal denga sebutan al-Khulafa’ al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut dengan Zaman Sahabat Besar.
Periwayatan hadits pada masa sahabat terutama masa al-Khulafa’ al-Rasyidun sejak tahun 11 H sampai 40 H, belum begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadits tersebut. Masa ini disebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan (al-tatsabbut wa al-‘iqlah min al-riwayah). Pada sisi lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak memegang hadits sebagaimana halnya yang mereka diterima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits itu.
Berikut ini dikemukakan sikap al- Khulafa’ al-Rasyidin tentang periwayatan hadis Nabi.
Ø Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H = 1347 M), Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada Khalifa Abu Bakar, memintah hak waris dari harta yang ditinggal oleh cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa dia tidak melihat petunjuk Quran dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya  kepada para sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian.
Kasus diatas memberikan petunjuk, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegara menerima riwayat hadis, sebelum meneliti periwayatannya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat hadis untuk menghadirkan saksi.
Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis, maka dapat dimaklumi bila jumlah hadis yang diriwayatkan relatif tidak banyak.Padahal dia seorang sahabat yang telah bergaul lama dengan dan sangat akarab dengan Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah sampai Nabi wafat. Dalam pada itu harus pula dinyatakan, bahwa sebab lain sehingga Abu Bakar hanya sedikit meriwayatkan hadis karena: (a) dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat Khalifah; (b) kebutuhan akan hadis tidak sebanyak pada zaman sesudahnya; (c) jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat.
Ø Umar bin al-Khaththab
‘Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat, misalny, ketika ‘Umar mendengar hadis yang disampaikan kepada Ubay bin Ka’ab. ‘Umar barulah bersedia menerima riwayat hadis dai Ubay, setelah para sahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya ‘Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi.
Kabajikan ‘Umar melarang para sahabat Nabi memperbanyak periwayatan hadis, sesungguhnya tidaklah berarti bahwa ‘Umar sama sekali melarang para sahabat meriwayatkan hadis. Laranga ‘Umar tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan: (a) Agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadis; dan (b) agar perhatian masyarakat terhadap Quran tidak terganggu.
Sebagian ahli hadits mengemukakan bahwa Abu Bakar dan ‘Umar menggariskan bahwa hadits dapat diterima apabila diserta saksi atau setidak-tidaknya periwayat berani bersumpah. Pendapat ini menurut al-Siba’i, sampai wafatnya ‘Umar juga menerima beberapa hadits meskipun hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat hadits. Untuk masalah tertentu sering kali ‘Umar juga menerima periwayatan tanpa saksi dari orang tertentu, seperti hadits-hadits dari ‘Aisyah. Manurut al-Siba’i, sampai wafatnya ‘Umar hadits belum banyak yang tersebar dan masih dalam keadaan terjaga di hati para sahabat. Baru pada masa ‘Utsman ibn ‘Affan, periwayatan hadits diperlonggar.
Ø Usman bin ‘Affan
Secara umum,kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh berbedah dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua Khalifa pendahulunya. Hanya saja, langkah ‘Usman tidaklah setegas langkah ‘Umar bin al-Khaththab.
Dalam suatu kesempatan khutbah, ‘Usman memintah kepada para sahabat agat tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah mendengar hadis itu pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar. Pernyataan ‘Usman ini menunjukkan pengakuan ‘Usman atas hati-hati kedua Khalifah pendahulunya. Sikap hati-hati itu ingin dilanjutkan pada zaman kekhalifahannya.
Dengan demikian, para sahabat Nabi  sangat kritis dan hati-hati dalam periwayatan hadits. Tradisi kritis dikalangan sahabat menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang kebenaran dalam periwayatan hadits : pertama, para sahabat, sebagaimana dirintis oleh al-Khulafa’ al-Rasyidun, bersikap cermat dan berhati-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini dikarenakan meriwayatkan hadits Nabi merupakan hal penting, sebagai wujud kewajiban taat kepadanya. Berhubung tidak setiap periwayat menerima riwayat langsung dari Nabi, maka dibutuhkan perantara antara periwayat setelah sahabat, bahkan antara sahabat sendiri dengan Rasulullah SAW. Karena tidak dimungkinkan pertemuan langsung dengannya. Kedua, para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi riwayat itu sendiri. Ketiga, para sahabat sebagaimana dipelopori oleh Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadits. Keempat, para sahabat, sebagaimana dipelopori ‘Ali bin ‘Abi Thalib, meminta sumpah dari periwayat hadits. Kelima, para sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya. Keenam, diantara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan hadits tanpa pengecekan terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain dikarenakan mereka memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin pendusta.
Sahabat ‘Umar bin al-Khathab juga pernah ingin mencoba menghimpun hadits tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan beliau berkata :
“sesungguhnya aku punya hasrat menulis sunnah, aku telah menyebutkan suatu kaum sebelum kalian yang menulis beberapa buku kemudian mereka sibuk dengannya dan meninggalkan kitab Allah SWT. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan mencampur adukkan kitab Allah dengan sesuatu yang lain selamanya”.
Kekhawatiran ‘Umar bin al-Khathab dalam pembukuan hadits adalah tasyabbuh atau menyerupai dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani yang meninggalkan kitab Allah dan menggantikannya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi para Nabi mereka di dalam kitab Tuhan mereka. ‘Umar khawatir umat islam meninggalkan Al-Qur’an dan hanya membaca hadits. Jadi Abu Bakar dan ‘Umar tidak berarti melarang pengkodifikasian hadits tetapi melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan untuk itu.
Dalam praktiknya, ada dua cara sahabat meriwayatkan suatu hadits, yaitu :
1.    Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW. Yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
2.    Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafazh asli dari Nabi SAW.
Pada masa ‘Ali r.a., timbul perpecahan dikalangan umat islam akibat konflik politik antara pendukung ‘Ali dengan Mu’awiyah. Umat islam terpecah menjadi tiga golongan :
1.    Syi’ah, pendukung setia terhadap ‘Ali, diantara mereka fanatik dan terjadi pengkultusan terhadap ‘Ali.
2.    Khawarij, golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian (tahkim) dua kelompok yang bertikai. Kelompok ini semula menjadi pendukung ‘Ali tetapi kemudian mereka keluar karena tidak menyetuji perdamaian.
3.    Jumhur Muslimin, diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan ‘Ali, ada yang mendukung pemerintahan Mu’awiyah dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan diri dalam kancah konflik.
C.    Periwayatan Hadits Pada Masa Tabi’in
Sebagaimana para sahabat, para tabi’in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadits. Hanya saja, beban mereka tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini, Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada masa akhir periode al-Khulafa’ al-Rasyidun (masa khalifah ‘Utsman bin ‘Affan) para sahabat ahli hadits telah menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabi’in untuk mempelajari hadits-hadits dari mereka. Kondisi ini juga berimplikasi pada tersebarnya hadits keberbagai wilayah islam. Oleh sebab itu, masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadits (‘ashr intisyar al-riwayah), yaitu masa di mana hadits tidak lagi hanya terpusat di Madinah tetapi sudah diriwayatkan diberbagai daerah dengan para sahabat sebagai tokoh-tokohnya.
Pada masa ini daerah kekuasaan islam semakin luas. Banyak sahabat ataupun tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, disamping banyak pula yang masih tinggal di Madinah dan Mekah. Para sahabat pindah ke daerah baru disertai dengan membawa perbendaharaan hadits yang ada pada mereka, sehingga hadits-hadits tersebar diberbagai daerah. Kemudian bermunculan sentra-sentra hadits sebagaimana dikemukakan Muhammad Abu Zahw, yaitu :
1.    Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Aisyah, Abu Hurairah, Ibn ‘Umar, Abu Sa’id al-Khudri, dll. Tokoh dari kalangan tabi’in : Sa’id ibn Musayyib, ‘Umar ibn Zubair, Nafi’ Maula ibn ‘Umar, dll.
2.    Mekah, dengan tokoh hadits dari kalangan sahabat : Ibn ‘Abbas, ‘Abdullah ibn Sa’id, dll. Dari kalangan tabi’in, tokohnya antara lain : Mujahid ibn Jabr, ‘Ikramah Mawla ibn ‘Abbas, ‘Atha ibn Abi Rabah, dll.
3.    Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Abdullah ibn Mas’ud, Sa’id ibn Abi Waqqas, dan Salman al-Farisi. Tokoh dari kalangan tabi’in : Masruq ibn al-Ajda’, Syuraikh ibn al-Haris, dll.
4.    Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat : Mu’adz ibn Jabal, Abu al-Darda’, ‘Ubadah ibn Shamit, dll. Tokoh dari kalangan tabi’in : Abu Idris, Qabishah ibn Zuaib, dan Makhul ibn Abi Muslim.
5.    Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Abdullah ibn Amr al-Ash, ‘Uqbah ibn Amir, dll. Tokoh dari kalangan tabi’in : Yazid ibn Abi Hubaib, Abu Bashrah al-Ghifari, dll.
Hadits-hadits yang diterima oleh para tabi’in ini ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada pula yang harus dihafal, disamping dalam bentuk-bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadits pun yang tercecer atau terlupakan. Sungguhpun demikian, pada masa pasca-sahabat ini muncul kekeliruan periwayatan hadits ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah.





BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Jadi pada masa Nabi SAW. Ada beberapa cara yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Dalam menyampaikan suatu hadits yaitu :
1.  Melalui majelis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jemaah.
2.  Dalam suatu kesempatan Rasulullah juga biasa menyampaikan haditsnya kebeberapa sahabat yang sempat hadir dan bertemu pada beliau, yang kemudian hadits yang didapat itu kemudian sahabat menyampaikannya lagi kepada sahabat lain yang belum sempat atau yang pada saat itu tidak hadir dihadapan Rasulullah.
3.  Untuk hal-hal yang sensitif, seperti hal-hal yang berkaitan dengan soal keluarga dan biologis, dan yang terutama soal yang menyangkut hubungan suami istri, Rasulullah menyampaikanlmelalui istri-istrinya, jadi pada hal-hal yang sensitif Nabi SAW. Dibantu untuk menyelesaikan masalah tersebut oleh istri-istri beliau.
4.  Melalui hadits yang telah Rasulullah sampaikan kepada para sahabat, sehingga hadits-hadits tersebut cepat tersebar di kalang masyarakat pada saat itu.
B.    Saran
Diakhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa saran kepada pembaca:
1.  Dalam memahami Islam hendaknya kita bersifat inklusif terhadap beberapa hasanah pemikiran tentang segala hal. Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab berbagai tuntunan perubahan zaman.
2.  Hendaknya setiap orang tetap bersifat terbuka terhadap berbagai pendekatan dan system pendidikan yang ada. Karena hal itu akan menambah kekayaan khasanah intelektual dan wawasan kependidikan bagi semua.
3.  Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi segenap pembaca terutama kepada penulis atau penyusun sendiri. Amin yaa Rabbal Alamiin.




























DAFTAR PUSTAKA

Ismail,M.Syuhudi., 1409 H/1988 M, “Kesahihan Sanad Hadis”, Ujung Pandang, PT Bulan Bintang. �<[�


No comments:

Post a Comment