Thursday, December 27, 2012

SYARAT-SYARAT PERIWAYAT HADITS DAN PROSES TRANSFORMASI



Dosen pembimbing : Abd.Fattah,S.Th.i,M.Th.i
Mata Kuliah              : Ilmu Hadits

SYARAT-SYARAT PERIWAYAT HADITS DAN PROSES TRANSFORMASI




DISUSUN OLEH KELOMPOK VIII :
v   HASVIRAH HASYIM NUR
v   NUR ZAKIYYAH BAKTI
v   MUSDALIFAH

 STATE ISLAMIC UNIVERSITY OF ALAUDDIN MAKASSAR
   2012/2013  


 

KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kami rahmat dan kemampuan yang memadai, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini .
            Shalawat serta salam, kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw yang telah memperjuangkan agama islam, sehingga kita masih dapat berada pada jalan islam hingga saat ini.
            Hadits bukanlah hal yang mudah untuk dipelajari, namun hal tersebut bukanlah alasan yang dapat menghalangi kita mempelajari hadits. Oleh karna itu, penulis menyajikan makalah yang membahas tentang hadits, terkhususnya pada masalah syarat-syarat periwayat hadits dan proses transformasinya. Penulis sangat berharap, tulisan ini dapat membantu pembaca untuk memahami hadits. Dengan do’a penuh cinta, penulis mepersembahkan makalah ini kepada pembaca, semoga saja dapat menjadi pedoman.

Demikian dari penulis,wassalam.


Makassar

DAFTAR ISI




KATA PENGANTAR. i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN.. 1
A. Latar belakang. 1
B. Rumusan masalah………………………………..…………………………………………….…..1

BAB II PEMBAHASAN
 .. 2
A. Syarat-syarat Periwayat Yang Tsiqah
 . 2
B. Tahammul Wa Al-Ada’ Hadits Serta Lambang-Lambang Shighat Yang Digunakan
 . 5
BAB III PENUTUP
 . 10
A. Kesimpulan
 . 10
B. Kritik dan saran
 . 10
DAFTAR PUSTAKA.. 11


BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar belakang

Dalam menyampaikan suatu hadits,kebanyakan orang tidak peduli terhadap yang meriwayatkannya. Yang mereka lihat hanyalah isinya.sedangkan diketahui,bahwa untuk mencapai isi dari suatu hadits,maka dibutuhkan adanya perawi. Adanya perawi,belum bisa menjamin bahwa hadits tersebut kualitasnya shahih atau tidak. Maka dibutuhkan pengetahuan yang mengantarkan kita mengetahui kondisi perawi tersebut. Maka,diperlukan bagi kita mengetahui syarat-syarat perawi yang tsiqah. Tidaklah menyampaikan hadits tersebut kepada khalayak,tanpa mengetahui kondisi hadits tersebut.
Berbicara tentang hadits, maka tidak ada salahnya kita memandang kebelakang. Melihat keadaan dan cara seorang murid mengambil hadits dari seorang guru.

B.      Rumusan masalah

Dalam pembahasan makalah ini, kami merumuskan dua aspek pokok pertanyaan :

A.      Apa saja yang termasuk syarat-syarat perawi yang tsiqah ?

B.      Apa yang dimaksud dengan tahammul wa ‘ada hadits, dan apa saja lambang-lambang shighat yang digunakan


BAB II

PEMBAHASAN

A.      Syarat-syarat Periwayat Yang Tsiqah


             Raawi menurut bahasa berasal dari kata riwaayah yang merupakan   bentuk mashdar dari kata kerja rawaa-yarwii,yang berarti”memindahkan atau meriwayatkan”. Bentuk plural dari kata raawii adalah ruwaat. Jadi raawii adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengarnya dan diterimanya dari seseorang.
             Secara defenisi,kata riwaayah adalah kegiatan penerimaan atau penyampaian hadits, serta penyandaran hadits itu kepada rangkaian dari periwayatnya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadits dari seorang periwayat , tetapi dia tidak menyampaikan hadits itu kepada orang lain,maka dia tidak dapat disebut sebagai seorang yang telah melakukan periwayatn hadits. Demikian pula halnya dengan orang menyampaikan hadits yang diterimanya kepada orang lain,tetapi ketika ia menyampaikan hadits itu, ia tidak menyebutkan rangkaian para perawinya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadits.
             Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi dapat atau tidak diterimanya suatu hadits ialah kualitas raawii. Tinggi rendahnya sifat adil dan dabith para perawi menyebabkan kuat lemahnya martabat suatu hadits. Perbedaan cara para perawi menerim hadits  dari guru mereka masing-masing mengakibatkan munculnnya perbedaan lafadz-lafadz yang dipakai dalam periwayatan hadits. Karna perbedaan lafadz yang dipakai dalam pennyampaian hadits menyebabkan perbedaan nilai (kualitas) dari suatu hadits.
             Sehubungan dengan itu, penelitian dibidang raawii sangat penting dalam upaya menentukan kualitas suatu hadits. Suatu berita dianggap kuat keasliannya kalau pembawa berita memiliki persyaratan kejujuran dan kemampuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Karena perawi harus mendapat sorotan tajam sehingga lahirlah sebuah cabang ilmu hadits yang terkenal,yaitu ilmu jarh wa al ta’dil. Untuk melihat sejauh mana kualitas seorang perawi dapat dilihat melalui jarh dan ta’dil.
             Adapun beberapa persyaratan tertentu bagi seorang perawi dalam upaya meriwayatkan hadits,yaitu diantaranya:
1.      Baligh,artinya cukup umur ketika ia meriwayatkan hadits,meskipun ia masih kecil waktu menerima hadits itu.
2.      Muslim,yaitu beragama islam waktu menyampaikan hadits.
3.      Adaalah,yaitu seorang muslim baligh daan berakal yang tidak mengerjakan dosa besar dan dosa kecil .
4.      Dabith,artinya tepat mengungkap apa yang didengarnya dan dihafalnya dengan baik,sehingga ketika dibutuhkan,ia dapat mengeluarkan atau menyebutkan kembali
5.      Tidak syadz,artinya hadits yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadits yang lebih kuat atau dengan al Qur’an.

            Dari syarat-syart tersebut diatas,ada dua hal yang mendapat penekanan lebih yaitu keadilan dan kedabithan perawi. Untuk mengetahui keadilan seorang perawi,harus melihat kepada tiga hal berikut:
1.      Popularitas dan keutamaan perawi dikalangan ulama’ hadits .
2.      Penilaian kritikus periwayat hadits .
3.      Penerapan kaidah jarh wa al ta’dil.

          Sedangkan penellitian tentang kedhabith-an perawi didasarkan pada:
1.       Kesaksian ulama’ hadits.
2.      Kesesuaian uraian riwayatnya dengan riwayat yang lain dan riwayat yang disampaikan oleh perawi yang telah dikenal kedhabith-an nya.
3.      Sekiranya pernah terjadi kekeliruan,maka kekeliruan yang dilakukan oleh perawi itu tidaklah sering-sering.

         Dengan demikian,yang memegang peranan penting dalam penetapan keadilan dan kedhabithan perawi ialah kesaksian ulama ahli kritik perawi hadits. Kritikus rawi hanya yang memenuhi syarat-syarat saja yang dapat dipertimbangakan keritikannya dalam menetapkan kualitas raawii tersebut.

            Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhhi oleh seorang kritikus diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Yang berkenaan dengan sifat pribadi.
a.      Bersifat adil dalam pengertian ilmu hadits dan sifat adil nya itu tetap terpelihara ketika melakukan penilaian terhadap raawii hadits.
b.      Tidak bersikap fanatic terhadap aliran yang dianutnya.
c.       Tidak bermusuhan dengan raawii yang berbeda aliran dengannya.
2.      Yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan,yakni memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam,khususnya yang berkenaan dengan:
a.      Ajaran islam
b.      Bahasa arab
c.       Hadits dan ilmu hadits
d.      Pribadi perawi yang dikritknya
e.      Adat istiadat (al’urf)
f.        Sebab-sebab keutamaan dan ketercelaan raawii
Dengan demikian jelaslah bagaimana pentingnya penelitian rawi dalam menentukan kualitas hadits. Adanya berbagai macam persyaratan pada raawii akanmembawa berbagai macam pengaruh terhadap kualitas hadits.
            Ulama hadits dari kalangan mutaqaddimin (ulama hadits sampai abad ke-3 H ). Mengemukakan persyarata-persyaratan yang tertuju pada kualitas dan kapasitas perawi sebagai berikut:
1.      Tidak boleh diterima suatu riwayat hadits ,kecuali yang berasal dari orang-orang yang tsiqah.
2.      Orang yang akanmeriwayatkan hadits itu sangat memperhatikan ibadah shalatnya,perilaku dan keadaan dirinya. Apabila shalat,perilaku dan keadaan orang itu tidak baik,riwayat jadits nya tidak diterima.
3.      Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang suka berdusta,mengikuti hawa nafsunya dan tidak mengerti hadits yang diriwayatkannya.
4.      Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang ditolak kesaksiannya.

Sedangkan kualitas perawi terbagi kedalam Sembilan tingkatan yaitu:
1.      Perawi yang mencapai derajat yang paling tinggi baik mengenai keadilan maupun mengenai kedabithannya.
2.      Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling tinggi dan derajat kedhabith-an yang menengah.
3.      Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling tinggi dan derajat kedabhit-an yang paling rendah.
4.      Perawi yang derajat keadilan yang menengah dan derajat kedabhit-an yang paling tinggi.
5.      Perawi yang mencapai derajat menengah dalam keduanya.
6.      Perawi yang mencapai derajat keadilan yang menengah dan derajat kedabhith-an yang paling rendah
7.      Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling rendah dan derajat kedabith-an yang paling tinggi.
8.      Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling rendah dan derajat kedhabith-an yang menengah.
9.      Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling rendah dalam hal keduannya.

             Klasifikasi tersebut menunjukkan bahwa kualitas perawi merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam menetapkan kualitas suatu hadits .

B.      Tahammul Wa Al-Ada’ Hadits Serta Lambang-Lambang Shighat Yang Digunakan


            Yang dimaksud dengan tahaammul adalah menerima hadits dari seorang yang meriwayatkan hadits. Sedangkan adaa’ adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadits.

1.      Kelayakan Tahammul wa al-ada’
a.      Kelayakan Tahammul
                Sebagian besar ahli cenderung memperbolehkan kegiatan mendengar hadits yang dilakukan oleh anak kecil,yakni anak anak yang belum mencapai usia taklif. Sedangkan sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Yang benar adalah pendapat mayoritas ulama itu. Karena sahabat,taabi’in dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat sahabat yang masih berusian anak-anak,seperti Hasan Husain.Abd.Allah ibn al-zubair,dan lain-lain tanpa memilah-milah antara riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah usia baaligh.
               Mereka yang memperbolehkan kegiatan mendengar hadits yang dilakukan oleh anak kecil berbeda pendapat tentang batas usianya. Kaena hal itu tergantung pada masalah tamyiiz dari anak kecil tersebut. Dan tamyiiz ini jelas berbeda-beda antara masing-masing anak kecil. Namun demikian,mereka memberikan keterangan bersamaan dengan pendapat mereka. Banyak diantara mereka yang telah berusaha keras untuk menjelaskannya.

b.      Kelayakan Ada’
             Mayoritas muhadditsin,ushuliyyin dan fuqahaa sependapat bahwa orang yang riwayatnya bisa dijadikan hujjah–baik laki-laki maupun perempuan-harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:
        Islam. Tidaklah bisa diterima riwayat dari orang kafir,berdasarkan kesepakatan ulama,baik diketahui bahwa agamanya tida memperbolehkan dusta ataupun tidak.
        Baliigh.ini merupakan usian takliif. Karena itu riwayat anak yang berada di bawah usia takliiftidak bisa diterima,sebagai implementasi atas sabda Rasulullah saw.                                                                                
رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون المغلوب على عقله حتى يبرا وعن الناءم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم
“terangkat pena dari tiga orang : dari orang gila sampai sembuh,dari orang yang tidur sampai terbngun,dari anak kecil sampai mimpi basah”.
        Sifat adil. Adil merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara diri.
        Dhabth. Artinya,keterjagaan seorang perawi pada saat menerima hadits,memahaminya ketika mendengarnya,dan menghafalnya sejak menerima hadits sampai menyampaikannya kepada orang lain.

2.      Metode Tahammul dan Ada’ al-hadits
a)      Metode Tahammul Al-Haddits
           Dalam melakukan tahammul al-hadits ada delapan cara atau metode,diantaranya adalah sebagai berikut:
     sima’(mendengar),yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hapalan ataupun dari kitabnya,sementara hadirin mendengarnya.
     qira’ah ‘ala al-syaikh (membaca didepan guru).
     ijaazah, sertifikasi atau rekomendasi
     al-munaawalah.maksudnya,seorang ahli hadits memberikan sebuah hadits,beberapa hadits atau sebuah kitab kepada muridnya agar sang murid meriwayatknnya darinya.
     al-mukaatabah.maksudnya,seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulias sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang berada ditempat lain lalu guru itu mengirimkan kepada sang murid yang dapat dipercaya. Mukatabah terdiri atas dua bagian :
Pertama,disertai dengan ijaazah.
Kedua,tanpa disertai denngan ijaazah.
     I’laam aal-syaikh. Maksudnya,seorang syekh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadiits tertentu atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengarnya atau diambilnya dari seeorang .
     al-washiyyah. Maksudnya, seorang guru berwasiat sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan kepada seseorang untuk meriwayatkan darinya.
     al-wijadah. Yaitu,ilmu yang diambil ataau didapat dari shahiifah tnapa aada proses pendengar,mendapatkan ijaazah ataupun proses munaawalah.

b)      Metode ada’ al-hadits
              Sebagaimana telah dikemukakan bahwa setiap bentuk tahammul memilki padanan dengan bentuk ada’. Karena apa yang diterima oleh seseorang pada suatu waktu akan diberikannya pada waktu yang lain. Bahkan tahammul itu juga hasil dari ada’ sebelumnya,dan seterusnya. Pada waktu menyampaikan riwayat, para ulama sangat antusias menjelaskan metode tahaammul yang dipergunakannya.
             Bahkan mereka sangat ketat,karena metode tahaammul yang telah dijelaskan,secara ilmiah memiliki tingkat akurasi yang berbeda-beda. Para ulama amper sepakat antara wajibnya membedakan antara tahammulnya dengan sima’ dan qira’ah dengan menggunakan cara lain. Karena metode sima’ dan qira’ah,berstatus penerimaan secara langsung,berbeda dengan cara-cara lain.

        Adapun jenis-jenis tsiqah al-ada’ dan tingkatannya adalah sebagai berikut:
1.      Jika hadits itu diterima dengan jalan mendengar pada saat seorang syekh membaca,maka shighat riwayatnya adalah dengan menggunakan salah satu shiigah di bawah ini:
a.      Haddatsanaa (حدثنا) (telah menceritakan kepada kami),haddatsani(حدثني) (telah menceritakan kepadaku)
b.      Sami’na(سمعنا)(kami mendengar), sami’tu (سمعت) (saya mendengar)
c.       Anba’anaa(انبا نا)(telah memberitakan kepada kami), anba’anii (انبا ني)(telah meberitakan kepadaku)
d.      Akhbaranaa(اخبرنا)(telah memberitakan kepada kami), akhbaranii(اخبرنى)(telah memberitakan kepadaku).

2.      Jika diterima dengan jalan membaca,dia sendiri atau orang lain,padahal syekh mendengar shighat-nya boleh dipilih diantara shighat-shighat di bawah ini:
a.      قرات على فلا ن: saya telah membaca pada fulan
b.      قرء على فلان: dibacakan kepada fulan dan saya mendengarnya
c.        :حدثني بقراءة عليهTelah meceritakan kepadaku bacaannya
d.      حدثني قراءة عليه وانا اسمع: telah menceritakan bacaannya dan saya mendengar.
e.      اخبرني بقراءة عليه: telah diberitakan kepadaku bacaannya.
f.        اخبرني قراءة عليه: telah mengkhabarkan kepadaku bacaannya dan saya mendengarnya.
g.      اخبرني بقراءة عليه: telah mengkhabarkan bacaannya kepadaku.
h.       :اخبرنى قراءة عليه وانا اسمعTelah mengkhabarkan bacaannya kepadaku dan saya mendengarnya.

3.      Kalau dengan jalan ijaazah maka shighat riwayatnya dapat dilakukan dengan salah satu shighat di bawah ini:
a.      حدثني اجازة: telah menceritakan kepadaku melalui ijaazah.
b.      اخبرني اجازة: telah menceritakan kepadaku melalui ijaazah.
c.       انباني اجازة: telah member tahu kepadaku.

4.      Kalau dengan jalan munaawalah, shighat riwayatnya adalah sebagai berikut:
a.      حدثني مناولة: telah menceritakan kepadaku dengan munaawalah.
b.      اخبرني مناولة: telah mengkhavarkan kepadaku dengan cara munaawalah.

5.      Kalau riwayat itu dengan jalan khitabah,shighatnya adalah sebagai berikut:
a.      حدثني خطابة: telah men-ceritakan kepadaku dengan khitaabah.
b.      اخبرني خطابة: telah mengkhabarkan kepadaku dengan khitaabah.

6.      Kalau riwayat itu dengan jalan i’lam al-syaikh, maka shighatnya adalah sebagai berikut:
a.      حدثني اعلاما: telah menceritakan kepadaku dengan pemberitahuan.
b.      اخبرني اعلا ما: telah mengkhabarkan kepadaku melalui cara pemberitahuan.

7.       Kalau hadiits itu diterima dengan jalan wasiat,maka shighat riwayatnya adalah sebagai berikut:
a.      حدثني وصية: telah menceritakan kepadaku dengan wasiat.
b.      اخبرني وصية: telah mengkhabarkan kepadaku dengan cara wasiat.

8.      Kalau dengan jalan wijaadah,maka shighat-nya seperti dibawah ini:
a.      وجد ت بخط فلان قا ل اخبرني: saya mendapati melalui tulisan fulan yang berkata bahwa ia mengkhabarkan kepadaku.
b.      وجد بخطاب ذكر انه لفلان قال اخبرني: ia mendapat tulisan dan ia menyebutkan bahwa untuk fulan ia berkata ia mengkhabarkan kepadaku.
c.       وجدت بخط قيل انه لفلان قال اخبرني: saya mendapatkan tulisan,dikatakan untuk fulan,ia berkata, iaa mengkhabarkan kepadaku.

BAB III

PENUTUP


A.      Kesimpulan


            Setelah menyelesaikan makalah ini, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa untuk mencapai periwayat yang tsiqah, maka dibutuhkan syarat-syarat yang dapat menunjang ke-tsiqahan-nya itu, seperti baligh,muslim,’adaalah ,dhabith dan tidak syaadz. Dan, juga perlu dipertegas bahwa yang dimaksud dengan tahammul adalah mengambil hadits dari seorang guru dengan cara-cara tertentu,sedangkan ada’ adalah kegiatanmeriwayatkan dan menyampaikan hadiits.


B.      Kritik dan saran

Kami menyusun makalah ini dengan penuh kehati-hatian,dengan penuh harapan agar sekiranya pembaca dapat mudah memahami,dan menerima pemaparan ataupun penjelasan kami. Namun sejauh mana kami melangkah dan menatap dalam pembuatan makalah ini,mungkin ada konsep-konsep ataupun pemaparan kami yang masih kurang difahami,atau perlu diperbaiki,maka dari itu,kami selaku manusia yang menyadari diri bahwa tidak ada sesuatupun yang sempurna,dengan penuh kerendahan hati,kami meminta kepada pembaca sekalian,sekiranya ada tanggapan ataupun saran untuk kami,demi mewujudkan adanya makalah kami yang lebih baik dihari selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA


Muhammad  Bin Shalih,Musthalah Hadits,Penerbit: Media Hidayah,t.th.
Nur Sulaiman Muhammad,Antologi Ilmu Hadits,Ciputat:GP Press,2009.



                  


 

No comments:

Post a Comment