MAKALAH
SYARAT-SYARAT
HADITS SHAHIH DALAM KAEDAH MAYOR, MINOR SANAD DAN MATAN HADITS
OLEH
:
KELOMPOK
IV
1. HABIBA
2. CECE MIRANI
3. NURJANNAH, S
JURUSAN
ILMU HADITS
FAKULTAS
USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2012
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Hadis
merupakan sumber ajaran islam yang kedua sesudah Al-Qur’an, secara resmi
ditulis dan dikumpulkan dalam suatu kitab pada masa pemerintahan khalifah Umar
bin Abdul Azis oleh karena itu ummat islam wajib menjadikan hadits sebagai
pedoman dalam segala aktifitas, baik dalam segala aktifitas maupun dalam
pengabdiannya sebagai hamba Allah maupun khalifah di muka bumi ini.
Dari
tahun wafatnya Rasulullah SAW, sampai tahun ditulisnya hadits, sangat
memungkinkan munculnya pemalsuan-pemalsuan hadits. Hal inilah yang mendorong
ulama untuk mencari dan mengumpulkan hadits-hadits.
Para
ulama dalam melakukan penelitian menitikberatkan perhatiannya pada sanad dan
matan hadits. Oleh karena itu para ulama menetapkan kaedah kaedah yang
berkenaan dengan kedua hal tersebut sebagai syarat diterimanya suatu hadits.
Suatu
hadits dikategorikan shahih apabila memenuhi ketentuan-ketentuan atau
kaedah-kaedah keshahihan sanad dan matan hadits. Oleh sebab itu penulis akan
memaparkan tulisan ini dengan judul “Syarat-syarat hadits shahih dalam kaedah mayor,minor sanad
dan matan hadits” untuk pengetahuan lebih lanjut.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini
adalah :
1.
Bagaimana syarat-syarat hadits shahih dalam
kaedah mayor sanad hadits
2.
Bagaimana
syarat-syarat hadits shahih dalam kaedah minor sanad hadits
3.
Bagaimana
syarat-syarat matan suatu hadits berkualitas shshih
C.
TUJUAN PEMBUATAN MAKALAH
Adapun
tujuan pembuatan makalah yang ditulis oleh penyusun adalah untuk mengajak rekan-rekan untuk berfikir,
mengambil dan mengamalkan karena hal ini wajib untuk diamalkan menurut
kesepakatan. Ulama hadits dan para ulama ushul fiqih serta fuqaha yang memiliki
kapabilitas. Untuk itu dengan demikian, ia dapat dijadikan hujjah, syari’at
yang tidak boleh diberikan kesempatan bagi seorang muslim untuk tidak
mengamalkannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A . Syarat-Syarat
Hadits Shahih
Adapun syarat-syarat hadits shahih dalam
kaidah Mayor dan Minor Sanad Hadits
a.
Kaidah Mayor sanad matan dan hadits
Adapun unsur-unsur
kaedah mayor keshahihan sanad hadits adalah :
1. Sanad
bersambung
2. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
3. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith
4. Sanad
hadits itu terhindar dari syudzudz atau kejanggalan
5. Sanad
hadits itu terhindar dari ‘illat.
b.
Kaidah Minor sanad matan dan hadits
Dengan demikian, suatu sanad hadits yang tidak memenuhi kelima unsur tersebut adalah hadits yang kualitassanad-nya tidak shahih. Adapun
pembahasan dari kelima macam unsur diatas adalah;
1. Sanad
bersambung
Yang dimaksud dengan
sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayat dalam sanad haditsر menerima riwayat
hadits dari periwayat terdekat sebelumnya (guru) ; keadaan itu berlangsung
demikian sampai akhir sanad dari hadits itu. 1 Jadi , seluruh
periwayat yang disandari oleh al-mukharrij
(penghimpun riwayat hadits dalam karya tulisnya) sampai kepada periwayat
tingkat sahabat yang menerima hadits yang bersangkutan dari Nabi, bersambung
dalam periwayatan.
Ulama hadits berbeda
pendapat tentang nama hadits yang sanadnya bersambung. Al-Khathib al-Baghdady
menamainya sebagai hadits musnad. Sedang hadits musnad itu sendiri menurut Ibn
‘Abd al-Barr ialah hadits yang disandarkan kepada Nabi, jadi sebagai hadits
marfu’; sanad hadits musnad ada yang bersambung dan ada yang terputus. 2
Menurut penelitian al-Sakhawiy,
pendapat banyak diikuti oleh ulama adalah
pendapat yang dikemukakan oleh al-Baghdadiy di atas 3 Dengan
demikian ulama hadits umumnya berpendapat, hadits musnad pasri marfu’ dan
bersambung sanadnya, sedang hadits marfu’ belum tentu hadits musnad. Di samping
itu, di kalangan ulama hadits dikenal juga istilah hadits muttasil atau
maushul. Menurut Ibn al-Shalah dan al-Nawawiy, yang dimaksud dengan hadits
muttashil atau mawshul ialah hadits yang bersambung sanadnya , baik
persambungan itu sampai kepada sahabat Nabi saja. 4 Jadi, hadits
muttashil atau mawshul ada yang marfu’ (disandarkan kepada Nabi ) dan ada yang
mauquf ( disandarkan kepada sahabat Nabi ). Apabila dibandingkan dengan hadits
musnad maka dapat dinyatakan, bahwa hadits musnad pasti muttashil atau mawshul,
dan tidak semua hadits muttashil atau mawshul pasti musnad.
Untuk
mengetahui bersambung ( dalam arti musnad ) atau tidak bersambungnya suatu
sanad, biasanya ulama hadits menempuh kata-kerja penelitian sebagai berikut:
a. Mencatat semua nama periwayat dalam
sanad yang diteliti:
b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing
periwayat:
[1] melalui kitab-kitab
rijal al-hadits, misalnya kitab Tahdzib
al-Tahdzib susunan Ibn Hajar al-‘
Asqalaniy, dan kitab al-Kasyif
susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy;
[2] dengan maksud untuk
mengetahui;
[ a]. apakah setiap periwayat dalam sanad
itu dikenal sebagai orang yang adil dan dhabith, serta tidak suka melakukan penyembunyian
cacat (hadits)
[
b]. apakah antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan: [1] kesezamanan pada masa
hidupnya; dan [2] guru murid dalam periwayatan hadits;
c. Meneliti kata-kata yang menghubungkan
antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah
kata-kata yang terpakai berupa haddasainy,
haddasan, akhbarana, ‘an, anna,
atau kata-kata lainnya.5
Jdi, suatu sanad hadits
barulah dapat dinyatakan bersambung apabila
a. Seluruh periwayat dalam sanad itu
benar-benar siqat (adil dan dhabith); dan
b. Antara masing-masing periwayat dengan periwayat
terdekat sebelumnya dalam sanad itu
benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut
ketentuan tahammul wa ada’ al-hadits.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan , unsur-unsur kaedah minor sanad bersambung :
[1] muttashil; [2] marfu’.
1.
Lihat:
Muhammad al-Shabbagh, al-Hadits al-Nabawiy ([ttp]: Al-Maktab
al-Islamiy, 1392 H = 1972 M), h. 162; Shubhiy al-Shalih, op. cit. , 145
2.
Lihat:
Ibn al-Shalah, op. cit. , h. 39
3.
Lihat:
Syams al- Din Muhammad bin ‘Abd al-Rahman al-Sakhawiy (selanjutnya ditulis
sebagai al-Sakhawiy), Fath al-Mughis
SyarhAlfiyyat al-Haditsli al-‘Iraqiy (al-Madinah al-Munawwarah:
Al-Makhtabat al-Salafiyyah, 1388 H = 1968M), Juz 1, h. 99.
4.
Lihat:
Ibn al-Shalah, op. cit. , h. 40; al-Nawawiy ,al-Taqrib, op. cit. , h. 6.
5.
Lihat
contoh tata kerja penelitian sanad
yang dikemukakan oleh Mahmud alThahhan, op.
cit. , hh. 219-222 dan 225-226.
2. Periwayat Bersifat Adil
Kata adail memiliki
lebih dari satu arti, baik dari segi bahasa maupun istilah. 6
Berbagai ulama telah membahas siapa orang yang dinyatakan bersifat adail. Dalam
hal ini ulama berbeda pendapat dalam memberikan gambaran betapa beragamnya
pendapat ulama tersebut . Pokok-pokok pendapat ulama dimaksud dalam bentk
ikhtisar. Yang dimana pendapat-pendapat yang di ikhtisarkan ibatasi
hanya berasal dari lima belas orang
ulama di berbagai zaman. Dari
kelima belas ulama ini, sepuluh orang di antaranya dikenal sebagai ulama
hadits, di samping juga di antara mereka ini dikenal di bidang ilmu keislaman
tertentu lainnya.
Kesepuluh orang ulama
yang disebutkan pertama itu ialah: [1] al-Hakim al-Nasyaburiy (wafat 405 H =
1014 M), [2] Ibn al-Shalah (wafat 643 H = 1245 M), [3] al-Nawawiy (wafat 676 H
= 1277 M), [4] Ibn Hajr al-‘ Asqalaniy (wafat 852 H = 1449 M), [5] al-Harawiy
(wafat 873 H = 1470 M), [6] al-Syawkaniy (wafat 1250 H = 1834 M), [7] Muhammad
Mahfuzh al-Tirmisiy (wafat 1329 H), [8] Ahmad Muhammad Syakir (wafat ?), [9]
Nur al-Din ‘Itr, dan [10] Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib. 7 Lima orang
ulama selebihnya ialah: [1] al-Ghazaliy (wafat 505 H = 1111 M), [2] Ibn Qudamah
(wafat 620 H = 1223 M), [3] Al-Jurjaniy (wafat 816 H = 1413 M), dan [5]
Muhammad al-Khudariy Bik (wafat 1927 M). 8
Adapun unsur-unsur
kaidah minor periwayat yang adil adalah [1] beragama islam , [2] mukallaf, [3]
melaksanakan ketentuan agama, dan [4] memelihara muru’ah.
Secara umum, ulama
telah mengemukakan cara penetapan keadilan periwayat hadits. Yakni, berdasarkan
a. Popularitas keutamaan periwayat di
kalangan ulama hadits; periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya, misalnya
Malik bin Anas dan Sufyan al-Sawiry, tidak lagi diragukan keadilannya.
b. Pernilaian dari para kritikus periwayat
hadits; pernilaian ini berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada
pada diri periwayat hadits.
c. Penerapan kaedah al-jarh wa al-ta’dil; cara ini ditempuh, bila para
kritikusperiwayat hadits tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat
tertentu .9
Jadi, penetapan keadilan periwayat diperlukan
kesaksian dari ulama, dalam hal ini
ulama ahli kritik periwayat. Khusus para sahabat Nabi, hampir seluruh
ulama memiliki mereka bersifat adil.
6.
Dalam
kamus bahasa Indonesia, kata adail diartikan sebagai: “[1] tdak berat sebelah (tidsak memihak), [2]
sepatutnya: tidak sewenanag-wenang.......” lebih lanjut, lihat; W.J.S
poerwadarminta,op. cit. , h. 16 Kata
adail berasal dari bahasa arab: Al-‘adl itu sendiri merupakan masdar dari nkata
kerja ‘adala. Menurut bahasa, kata al-‘adl memiliki banyak arti, antara lain: Keadilan (al-adalat atau al-‘udulat ); pertengahan (al-i’tidal);
lurus (al-istiqamat); condong
kepada kebenaran ( al-mayl ila al-haqq). Orang
yang bersifat adil disebut al-‘adil, kata
jamaknya al-‘udul. Lebih lanj lihat:
Ibn Manzhur, op. cit., Juz XIII, hh.
456-463.: Al-Fayyumiy, op. cit. , Juz
II, hh. 470-471; Al-Syarif ‘Aliy bin
Muhammad al-Jurjaniy (selanjutnya ditulis sebagai al-Jurjaniy)
7.
Pendapat
meraka penulis kemukakan dalam ikhtisar II dan dikutip dari Kitab mereka
masing-masing . Lihat: Abu ‘Abd Allah Muhammad bin ‘Abd Allah bin Muhammad
al-Hakim al-Naysaburiy(selanjutnya ditulis dengan nama yang lebih dikenal,
al-Hakim), Ma’rifat ‘Ulum al-hadits (Kairo:
Maktabat al-Mutanabbiy, [tth]), h. 53 :
Ibn al-Shalah, op. cit. , h.
94: al-Nawawiy, op. cit. , h 12.
3. Periwayat Yang Bersifat Dhabith
Pengertian dhabith menurut istilah telah
dikemukakan oleh ulama dalam berbagai keterangan. Menurut Ibn Hajr al-‘
al-Asqalaniy dan al-Sakhawiy, yang dinyatakan sebagai orang dhabith ialah orang yang kuat hafalannya
tentang apa yang telah didengarnya dan mamapu menyampaikan hafalannya itu kapan
saja dia menghendakinya. Adapun ulama yang menyatakan, orang dhabith adalah
orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya; dia memahami arti pembicaraan itu secara benar ; dia memahaminya dengan pemahaman yang
mendetail kemudian dia hafal secara sempurna; dan dia memiliki kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat
dia mendengar riwayat itu sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada orang
lain. Masih ada lagi pernyataan ulama
tentang pengertian dhabith, yang walaupun redaksinya berbeda-beda tetapi
prinsip-prinsip yang yang terkandung di dalamnya banyak kesamaannya.
Apabila berbagai
pernyataan ulama tersebut digabungkan, maka butir-butir sifat dhabith yang
disebutkan adalah ;
a. Periwayat itu memahami dengan baik
riwayat yang telah didengarnya(diterimanaya);
b. Periwayat itu hafal dengan baik riwayat
yang telah didengarnya(diterimanaya);
c. Periwayat mamapu menyampaikan riwayat
yang telah dihafalnya dengan baik:
[1] kapan saja dia
menghendakinya
[2] sampai saat dia
menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.
8.
Lihat:
Abu al-Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Gazhaliy(selanjutnya ditulis sebagai
al-Gazhali)
Adapun
cara penetapan ke-dhabith-an seorang
periwayat, menurut berbagai pendapat ulama, dapat dinyatakan sebagai berikut:
a. Ke-dhabith-an
periwyat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
b. Ke-dhabith-an
periwayat dapat diketahui berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang
disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-dhabith-annya. Tingkat kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai ke
tingkat makna atau mungkin ke tingkat harifah.
c. Apabila seorang periwayat sekali-sekali
mengalami kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang dhabith. Tetapi apabila kesalahan itu
sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi disebut sebagai
periwayat yang dhabith. Kepemahaman
periwayat akan hadits yang diriwayatakannya tetap sangat berguna dalam
periwayatan hadits, khusussnya ketika terjadi perbedaan riwayat antara semua
periwayat antara sesama periwayat yang dhabith
. Karena bentuk ke-dhabith-an
para periwayat yang dinyatakan bersifata dhabith
tidak sama, maka seharusnya istilah yang digunakan untuk menyifati mereka
dibedakan juga, yaitu: a.) Istilah dhabith diperuntukkan bagi periwayat yang;
[1] hafal dengan sempurna hadits yang diterimanaya [2] mampu menyampaikan
dengan baik hadits yang dihafalnya itu kepada orang lain. b) istilah tamm al-dhabth yang bila diindonesiakan
dapat dipakai istilah dhabith plus,
diperuntukkan bagi periwayat yang; [1] hafal dengan sempurna hadits yang
diterimanya [2] mampu menyampaikan dengan baik hadits yang dihafalnya itu
kepada orang lain [3] paham dengan baik hadits yang dihafalnya itu.
9.
Lihat
misalnya: al-Nawawiy, op. cit. ,h 12;
al-Nawawiy, op. cit. , hh 55-56; Ibn
Kasir, Ikhtisar, op. cit. , h. 35;
al-Suyuthiy, op. cit. , Jilid I , hh.
301-302; perbandingkan juga dengan: al-Qasimiy, al-Jarh wa al-Ta’dil.
4. Terhindar Dari Syudzudz (Kejanggalan)
Menurut al-Syafi’iy,
suatu hadits tidak dinyatakan suatu hadits tidak mengandung syudzudz, bila hadits itu hanya
diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat,
sedang periwayat yang siqat lainnya
tidak meriwayatkan hadits itu. Barulah hadits dinyatakan mengandung syudzudz, bila hadits diriwayatkan oleh
seorang periwayat yang siqat tersebut bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan
oleh banyak periwayat10 yang juga bersifat siqat.
Menurut Imam al-Hakim
al-Nasyaburiy, hadits syadzialah
hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat, tetapi tidak ada periwayat siqat lainnya yang meriwayatkannya.11
Menurut Abu Ya’la
al-Khaliliy, hadits syadz adalah
hadits yang sanad-nya hanya satu
macam, baik periwayatnya bersifat siqat maupun
tidak bersifat siqat. Apabila
periwayatnya tidak siqat, maka hadits
itu ditolak sebagai hujjah, sedang bila periwayatnya siqat maka hadits itu dibiarkan (mutawaqqaf), tidak ditolak dan tidak diterima sebagai hujjah.12
Ibn
al-Shalah dan al-Nawawiy telah memilih pengertian hadits syadz yang diberikan oleh al-Syafi’iy. Karena, penerapannya tidak
sulit. Apabila pendapat al-Hakim dan al-Khaliliy yang diikuti, maka banyak
hadits yang oleh mayoritas ulama hadits
telah dinilai shahih akan berubah menjadi tidak shahih.13
Ulama hadits zaman
berikutnya terlihat sejalan juga dengan pendapat al-Syafi’iy.14
10. Diriwayatkan oleh al-Hakim dan Ibn
al-Shalah. Lihat : al-Hakim, op. cit. , h.
119; Ibn al-Shalah, op. cit. , h. 48.
11. Lihat; al-Hakim, loc.cit. , h. 48.
12. Lihat: ibid. (al-Nawawiy, h. 9; Ibn Kasir h. 34; Ibn al-Shalah, op. cit. , h. 69.
13. Lihat:ibid . (al-Nawawiy; Ibn
al-Shalah, hh. 69-71); Lihat juga: al-‘Iraqiy, op.cit. , hh. 100-105
Sebagian
ulama menyatakan , penelitian syudzudz
hadits lebih sulit daripada penelitian ‘illat
hadits. Dinyatakan demikian, karena belum ada ulama hadits yang menyusun
kitab khusus tentang hadits syadz
sedang ulama yang menyusun kitab ‘ilal,
walaupun jumlahnya tidak banyak, tetapi telah ada.
Seorang
laki-laki telah meninggal dunia di zaman Rasulullah SAW, Dan orang itu tidak
meninggalkan seorang pun ahli waris, terkecuali seseorang yang telah
merendahkannya
Dari
contoh hadits yang sanad-nya berkualitas
syadz di atas dapatlah dinyatakan,
bahwa ke-syadz-an sanad hadits baru dapat diketahui
setelah diadakan penelitian sebagai berikut:
a. Semua sanad yang mengandung matn hadits yang pokok masalahnya
memiliki kesamaan dihimpun dan diperbandingkan
b. Para periwayat di seluruh sanad diteliti kualitasnya
c. Apabila seluruh periwayat bersifat siqat dan ternyata ada seorang periwayat
yang sanad-nya menyalahi sanad-sanad lainnya, maka sanad yang menyalahi itu disebut sanad syadz sedang sanad-sanad lainnya disebut sanad
mahfuzh.
Adapun
yang menjadi penyebab utama terjadinya syadz
sanad hadits adalah karena perbedaan tingkat ke-dhabith-an periwayat.Jadi sekiranya unsur sanad bersambung atau unsur periwayat bersifat dhabith benar-benar telah terpenuhi, niscaya ke-syadz-an sanad tidak akan terjadi. Ini berarti, unsur terhindar dari syudzudz sesungguhnya tidaklah
berkedudukan sebagai unsur kaedah mayor, tetapi berkedudukan sebagai unsur
kaedah minor. Keberadaan unsur terhindar dari syudzudz dalam konteks defenisi tentang hadits shahih bersifat
metodologi dan penekanan akan keberadaan unsur-unsur sanad bersambung ataupun periwayat bersifat dhabith (tepatnya dalam hal ini: periwayat yang tamm al-dhabth)
5. Terhindar Dari ‘Illat
‘Illat menurut istilah
ilmu hadits, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn al-Shalah dan an-Nawawiy,
ialah sebab yang tersenbunyi yang merusakkan kualitas hadits. Keberadaannya
menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak
shahih.
Cacat umum seperti ini
dal;am ilmu hadits disebut dengan istilah tha’n
atau jarh yang juga diistilahkan “ ‘Illat “. Cacat ini dapat
mengakibatkan lemahnya sanad ,
periwayat yang cacat dapat pula memberi petunjuk kemungkinan terjadinya
keterputusan sanad.
Dalam hubungan ini,
‘Abd al-Rahman bin Mahdiy (wafat 194 H = 814 M ) menyatakan untuk mengetahui
‘illat hadits diperlukan intuisi (ilham). Sebagian ulama menyatakan orang yang
mampu meneliti ‘illat hadits hanyalah orang yang cerdas, memiliki hafalan
hadits yang banyak, paham akan hadits yang dihafalanya, mendalam pengetahuannya
tentang berbagai tingkat ke-dhabit-an
periwayat dan ahli di bidang sanad dan
matn hadits. Al-Hakim al-Nasyaburiy
berpendapat, acuan utama penelitian ‘illat
hadits adalah hafalan, pemahaman dan pengetahuan yang luas tentang hadits.
Adapun bentuk-bentuk
‘illat yang kebanyakan saat ini adalah :
a. Sanad
yang tampak muttashil
dan marfu’, ternyata muttashil tetapi mauquf. Yang dimana hadits Muquf
adalah hadits yang dihentikan sandarannya kepada seorang sahabat.
b. Sanad
yang tampak muttashil
dan marfu, ternyata muttashil tetapi mursal
c. Terjadi percampuran hadits dengan bagian
hadits lain
d. Terjadi kesalahan penyebut periwayat,
karena ada lebih dari seorang periwayat memiliki kemiripan nama sedang
kualitasnya tidak sama-sama siqat.
B. Syarat-syarat Suatu
Matan Hadits Berkualitas Shahih
Dalam pandangan al-Khatib al-Baghdadiy,
suatu matan hadits berkualitas shahihb apabila mengandung atau selamat dari
enam hal yaitu:
1. Hadis itu tidak bertentangan dengan akal
sehat
2. Tidak bertentangan dengan hukum Al-qur’an yang
telah muhkam atau qath’i al-Dalalah
3. Tidak
bertentangan dengan hadits mutawatir
4. Tidak bertentangan dengan amalan yang
telah menjadi konsensus ulama salaf
5. Tidak bertentangan dengan dalil yang
pasti dan
6. Tidak bertentangan dengan hadits ahad
lain yang kualitasnya lebih kuat.15
14. Lihat misalnya: al-Asqalaniy, op. ci. , hh. 20-21: al-Suyuthiy,op. cit. ,Jilid I, hh. 232-238; Muhammad
al-Shabagah, op. cit. , hh. 180-180 :
Shubhiy al-Shalih, op. cit. , hh. 196-203
15. Al-Khatib al-Baghdadiy,
al-Kifayah..................,loc. cit. , h.
206-207
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kaedah
dimaksud menyatakan bahwa suatu sanad hadits barulah dinyatakan berkualitas
shahih, apabila :
a. Sanad
hadits itu bersambung mulai dari awal sampai akhir sanad
b. Seluruh periwayat hadits itu bersifat
adil. Yakni : [1] beragama islam; [2] mukalaf: [3] melaksanakan ketentuan agama
islam: dan [4] memelihara muru’ah
c. Seluruh periwayat bersifat dhabith. Yakni : [1] hafal dengan
sempurna hadits yang diriwayatkan; dan [2] mampu dengan baik menyampaikan
hadits yang dihafalnya itu kepada orang lain tanpa ada kesalahan. Orng yang
memiliki sifat-sifat adil dan dhabith biasanya
disebut sebagai orang yang bersifat siqat.
d. Sanad hadits itu
terhindar dari syudzudz. Yakni, tidak terjadi pertentangan antara periwayat siqat dan periwayat yang siqat lainnya yang lebih banyak
jumlahnya. Sanad hadits yang terhindar dari syadz
biasanya juga disebut sebagai mahfuzh
e. Sanad
hadits terhindar dari ‘illat. Yakni : [1] tidak terjadi pernilaian siqat terhadap periwayat yang sesungguhnya tidak siqat ; dan [2] dan tidak terjadi
penetapan sanad yang sesungguhnya
tidak bersambung.
B.
Saran
1. Agar makalah ini dijadikan sebagai
sebuah referensi mengenai ilmu hadits
2. Agar makalah ini dikembangkan lebih
lanjut agar menjadi makalah yang sangat bermanfaat
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Ismail Syuhudi, 1995, Kaedah
Keshahihan Sanad Hadits, Bulan Bintang. Jakarta
Ilyas Abustani, 2011, Filsafat
Ilmu Hadits, Zadhaniva Publishing. Surakarta
Khon Majid Abdul, 2010, Ulumul
Hadits, Amzah. Jakarta
thanks makalahnya kak :)
ReplyDelete