sejarah
perkembangan hadits
oleh
kelompok III
AHMAD TA’MIN
JUMADIL MUSA
EDI SETIAWAN
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI ALAUDDIN
MAKASSAR
2012
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi
Allah yang telah menciptakan pena sehingga sebagai ciptaan yang pertama kali
diciptakan seraya berfirman, “Tulislah!” maka pena pun menulis apa yang akan
terjadi hingga Hari Kiamat. Puji syukur ke hadirat Allah yang telah memberikan
nikmat pena dan tulisan kepada hamba-hamba-Nya dan menjelaskannya seraya
berfirman,
“Nu>n, demi kalam dan apa yang mereka tulis.” (Q.S. Al-Qalam: 1)
Sumpah dalam ayat ini menunjukkan atas keagungan pena dan
tulisan, karena Allah tidak pernah bersumpah kecuali dengan sesuatu yang agung.
Begitu pula tidak henti-hentinya kita menyampaikan
shalawat serta salam atas junjungan nabi besar kita Muhammad Saw. yang diutus
oleh Allah sebagai pembawa risalah Islam yang bisa kita rasakan kesejukan
ajarannya sampai saat ini.
Sudah selayaknya sebagai umat islam kita menuntut ilmu
syariah, dan itu semua dapat diketahui melalui mempelajari Al-Qur’an dan Hadis
rasulullah. Oleh sebab itu izinkan kami menampilkan sebuah makalah dihadapan
para pembaca yang budiman, yang dengan rendah hati kami susun dengan
keterbatasan ilmu, namun dari hasil kajian yang pemakalah kaji mudah-mudahan
bisa diambil manfaatnya setidaknya untuk menambah wawasan keilmuan, walaupun
pemakalah tahu bahwa di dalamnya terdapat banyak kesalahan.
Dan ucapan terima kasih tak lupa disampaikan pada
pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini baik berupa materi maupun moril sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini, terutama kepada dosen pembimbing kami dan teman seperjuangan kami yang
rela menghabiskan waktunya demi mendiskusikan materi makalah kami,
mudah-mudahan apa yang telah mereka berikan kepada kami dibalas oleh Allah
berupa pahala amal jariyah di sisi-Nya. Amin.
Juga permohonan
maaf sebesar-besarnya kepada para pembaca yang budiman jika di dalam makalah
ini terdapat banyak kekeliruan, karena pemakalah adalah manusia biasa yang tak
luput dari kesalahan. Koreksi dan saran para pembaca yang budiman sangat kami
harapkan demi perbaikan makalah ini ke depannya.
Makassar,
05
Oktober 2012
PEMAKALAH
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………………………….1
Daftar Isi
……………………………………………………………………………...3
BAB I
Pendahuluan
…...……………………………………………………………………...4
A.
Latar belekang
…………………………………………………………..……4
B.
Rumusan masalah
……………………………………………………….……7
BAB II
Pembahasan
…………………………………………………………………………..8
A.
Pembukuan hadis
priode mutaqaddimin ……………………………..………8
B.
Kodifikasi hadis
priode mutakhkhirin ………………………………………13
C.
Penelitian hadis
priode kontemporer ………………………………………..17
BAB III
Penutup ………………………………………………………….…………………..20
Kesimpulan ……………………………………………………………………….....20
Daftar pustaka ………………………………………………………………………22
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadis
atau yang lebih dikenal dengan sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber atau
disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. baik berupa perkataan, perbuatan maupun
ketetapan beliau. Dan semua umat sepakat bahwa hadis adalah salah satu sumber
hukum yang dianut oleh ajaran Islam (hujjah), selain dari pada al-Qur’an. Namun
pada perkembangannya, ternyata belakangan banyak yang mempersoalkan hadis dari berbagai aspeknya, ini semua tidak
lepas karena penulisan hadis pada zaman keemasan Islam sangat minim yang
diindikatori oleh larangan Rasulullah terhadap penulisan hadis pada priode itu,
karena ditakutkan terjadi pencampur-bauran antara hadis dan al-Qur’an. Bahkan
para ulama hadis saling selisih pendapat tentang hal ini. Di antara faktor yang
menyebabkan perbedaan pendapat itu terjadi adalah karena adanya didapati
sabda-sabda Rasulullah yang melarang hal tersebut, tapi ternyata pada jalur
sanad yang lain, ada pula sabda beliau yang membolehkan bahkan menganjurkan hal
tersebut.
Dari
Urwah bin az-Zubair bahwasanya Umar
Ibn Khattab ingin menulis sunnah-sunnah Nabi, lalu ia meminta fatwa
daripada sahabat tentang hal itu. Mereka menyarangkan untuk menulisnya kemudian
Umar beristikharah selama sebulan. Hingga pada suatu pagi, beliau
akhirnya mendapat kemantapan hati lalu berkata, “suatu ketika aku ingin menulis
sunnah-sunnah, dan aku ingat suatu kaum terdahulu mereka menulis buku dan
meninggalkan kitabullah. Demi Allah, aku tidak akan mengotori kitabullah dengan
suatu apapun.”
Ini
menunjukkan bahwa Umar ingin menulis as-sunnah dan membukukannya namun
khawatir kaum muslimin akan terlena mempelajarinya dan melalaikan Kitabullah,
atau khawatir akan tercampur antara al-Qur’an dan as-sunnah.
Adapun
atsar dari sebagian tabi’in tentang larangan menulis fatwa mereka itu karena
sebab lain, yaitu kekhawatiran mereka akan bercampur hadis dengan pendapat
mereka[1].
Menurut
Ar-Ramahurmuzy hadis tidak bisa dikendalikan kecuali dengan tulisan,
kemudian dengan saling tukar dan saling melakukan kajian, mengingat dan
menghafal, mempelajarinya secara berulang-ulang dan bertanya, melakukan
penelitian mendalam dari para periwayat serta memahami apa yang mereka
riwayatkan. Penulisan memang dilarang oleh sebagian tokoh pada awal islam,
karena kedekatan masa dan pendeknya jalur periwayatan. Disamping itu agar
penulis tidak semata bertumpuh kepadanya sehingga enggan menghafal dan
menerapkannya. Adapun pada saat waktu telah berselang lama jalur periwayatan
tidak lagi berdekatan bahkan berbeda-beda, para periwyat hampir mirip, bahaya
terlupakan sudah dekat dan pra-duga tidak bisa dihindari lagi, maka
menegndalikan hadis melalui tulisan lebih utama dan lebih mujarab[2].
Fenomena
silang pendapat itu tidaklah muncul karena ulama terbagi menjadi dua kubu, yang
satu membolehkan dan yang lain melarang penulisan hadis. Tetapi ia muncul
karena sebab-sebab yang telah kami jelaskan tadi. Bila sebab-sebab itu hilang,
maka ulama akan memperbolehkannya. Dan bila dikhawatirkan muncul ketergantungan
pada tulisan dan pengabdian terhadap hafalan, maka suara-suara pelarangan itu
akan muncul lagi yang menghendaki penggunaan hafalan. Sampai pada akhirnya,
ulama sependapat melakukan penulisan yang telah menjadi kebutuhan yang mendesak
dan tak bisa di tawar lagi[3].
Namun
perlu diketahui bahwa sejarah panjang penghimpunan (pentadwinan) hadis bukan
merupakan suatu pelalaian terhadap hadis. Keberadaan hadis telah didudukkan
oleh sahabat dengan baik. Mereka dengan sangat hati-hati dalam mengambilnya
dalam menetapkan hujjah. Memang pada masa ini, penyebaran hadis tidak luas
sebagaimana masa sesudahnya, sahabat kecil dan tabi’in yang telah merata ke
berbagai wilayah kekuasaan Islam. Dengan demikian, pennyebaran hadis tidak berpusat
di Hijaz saja. Walaupun gerakan resmi penulisan hadis belum dimulai, namun
ditemukan hasil kodifikasi yang dilakukan secara individu masing-masing
periwayat hadis. Di antara awal kodifikasi hadis adalah s{ahi>fah,
risa>lah dan ajza’.[4]
B.
Rumusan Masalah
Berdasar
latar belakang di atas, maka pemakalah mencoba mengambil rumusan masalah yang
meliputi beberapa hal sebagai berikut:
a. Bagaimana
sejarah pembukuan hadis priode mutaqaddimin?
b. Apa
saja yang berhubungan dengan kodifikasi hadis priode mutakhkhirin?
c. Bagaimana
perkembangan hadis dipandang dari segi penelitian hadis di zaman kontemporer?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pembukuan
hadis priode mutaqaddimin
Sebagaimana
yang diketahui bahwa penulisan hadis pada masa Rasulullah dilarang karena di
khawatirkan hadis akan bercampur dengan al-Qur’an sehingga para sahabat yang
mendapat hadis dari Rasulullah tidak menulisnya tetapi mereka tetap menjaganya
dengan hafalan mereka dan tidak ada kekhawatiran pada waktu itu kalau hadis
akan hilang karena banyak sahabat yang menghafal hadis. Hingga pada akhir abad
pertama Hijriah, hadis-hadis itu berpindah dari mulut ke mulut, masing-masing
perawi meriwayatkan hadis bedasarkan kepada kekuatan hafalan mereka.
Pada
masa itu mereka belum mempunyai motif-motif yang menggerakkan mereka untuk
membukukannya. Hafalan mereka terkenal kuat bahkan sejarah mengakui kekuatan
hafalan mereka yaitu para sahabat dan
tabi’in[5]. Namun terlepas dari itu
semua, ternyata ada di antara para sahabat yang diizinkan oleh Rasulullah Saw.
untuk menulis dan membukukan hadis tapi bersifat pribadi-pribadi[6], di antaranya seperti izin
khusus yang diberikan kepada Abdullah Ibn Amr dan seorang Anshar yang
tidak mampu menghafal suatu hadis.[7]
Pada
awal abad ke II H, seorang yang dinobatkan sebagai khalifah dari dinasti Amawiyah
yang terkenal adil dan wara’ yakni Umar ibn Abdil Azis pada tahun 99 H,
tergerak hatinya untuk membukukan hadis. Beliau sadar bahwa para perawi yang
membendaharakan hadis atau yang menghafal hadis, kian lama kian banyak yang
meninggal. Beliau khawatir apabila hadis tidak segera dibukukan dan dikumpulkan
kedalam buku-buku, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap dari permukaan bumi
dibawah bersama oleh para penghafalnya ke alam barzakh. Jadi bisa disimpulkan
bahwa yang menjadi alasan-alasan pendorong, sehingga Umar ibn Abdil Azis
melakukan pengumpulan dan pembukuan hadis adalah:
1. Tidak
adanya larangan pembukuan, sedangkan al-Qur’an telah dihafal ribuan orang, dan
telah dikumpulkan dan dibukukan pada masa Utsman, sehingga dapat
dibedakan secara jelas antara Al-Qur’an dengan Hadis dan tidak ada kemungkinan
untuk tercampur antara keduanya.
2. Khawatir
akan hilangnya hadis karena ingatan kuat yang menjadi kelebihan orang Arab
semakin melemah, sedangkan para ulama telah menyebar dibeberapa penjuru negeri
Islam setelah terjadi perluasan wilayah kekuasaannya, dan masing-masing dari
mereka mempunyai ilmu, maka diperlukan pembukuan hadis Rasulullah untuk menjaga
agar tidak hilang.
3. Munculnya
pemalsuan hadis akibat perselisihan politik dan mazhab setelah terjadinya fitnah
dan terpecahnya kaum muslimin menjadi pegikut Ali dan pengikut Mu’awiyah,
dan Khawarij yang keluar dari keduanya.[8]
Untuk
mewujudkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H khalifah meminta pada Gubernur
Madinah, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm yang menjadi guru Ma’mar,
Al Laits, Al Auza’y, Malik, Ibn Ishaq dan Ibnu Abi Dzi’bin, supaya
membukukan hadis Rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal,
seperti: Amrah bint Abd Al Rahman ibn Sa’ad ibn Zurarah ibn ‘Ades
(seorang ahli fiqh, murid ’Aisyah ra.) dan yang ada pada Al Qasim ibn
Muhammad ibn Abi Bakr Ash Shiddieq (seorang pemuka tabi’y dan salah seorang
fuqaha Madinah)[9].
Di
samping itu, ada beberapa ulama yang juga membukukan hadis atas perintah
Khalifah. Salah satu diantara mereka adalah seorang ulama besar yang bernama Abu
Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab Az Zuhry seorang tabi’
in yang ahli dalam urusan fiqih dan hadis. Beliau guru Ma’mar, Al Laits, Al
Auza’y, Malik, Ibn Ishaq dan Ibnu Abi Dzi’bin. Inilah ulama besar
yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran atau perintah Khalifah.
Kitab
hadis yang ditulis oleh Ibnu Hazm merupakan kitab hadis pertama yang
ditulis atas perintah Khalifah[10]. Namun, kitab itu belum
sempurna karena upaya pengumpulan hadis belum menyeluruh disebabkan oleh
wafatnya Khalifah yaitu Umar bin Abdul Azis sebelum Ibn Hazm mengirimkan
hasil pembukuan hadis kepadanya[11]. Kemudian kitab tersebut
tidak sampai kepada kita karena disebabkan tidak terpelihara dengan semestinya,
kitab itu juga tidak menampung seluruh hadis yang ada di Madinah[12].
Adapun
upaya pembukuan hadis yang sebenarnya dan menyeluruh dilakukan oleh Imam
Muhammad bin Syihab Az Zuhry, yang
menyambut seruan Khalifah Umar bin Abdul Azis dengan tulus yang didasari
karena kecintaan pada hadis Rasulullah dan keinginannya untuk melakukan
pengumpulan[13].
Beliau jugalah yang mebukukan seluruh hadis yang ada di Madinah. Upaya yang
menyeluruh ini menjadi permulaan bagi para penyusun hadis berikutnya yang
tersebar di berbagai negeri.
Namun
sayangnya kita tidak mengetahui keberadaan kitab yang ditulis oleh Az Zuhry dan
Ibnu Juraij sekarang ini. Kitab yang paling tua yang ada di tangan ummat
islam dewasa ini ialah kitab Al Muwathta’, karangan Imam Malik ra.
yang penyusunannya diperintahkan oleh Khalifah Al Mansur ketika beliau
berangkat untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 143 H /144 H.[14]
Abad
ke II H adalah priode dimana para ulama hadis haus akan hadis Rasulullah
sehingga banyak di antara mereka yang rela untuk meninggalkan kesenangan
duniawi, rela untuk berjalan jauh ke negeri seberang, bahkan sampai rela
menghabiskan hidupnya hanya dengan mencari hadis dan membukukan hadis-hadis
yang telah didapatkan, ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang sampai
sekarang jasanya tak terbalaskan, di antara kitab-kitab yang telah mereka
susun tersebut adalah:
1. Al–Muwaththa’
oleh Imam Malik Anas ( 93 – 179 H ). Selama rentang waktu ini, sejumlah buku
hadîts telah disusunnya. Kitab ini memiliki kedudukan tersendiri pada periode
ini. Buku ini ditulis antara tahun 130 H sampai 141H. Buku ini memiliki kurang
lebih 1.720 hadits, dimana :
·
600 hadîtsnya marfu’
(terangkat sampai kepada Nabi SAW ).
·
222 hadîtsnya mursal
(adanya perawi sahabat yang digugurkan)
·
617 hadîtsnya mauquf
(terhenti ampai kepada tâbi ’în)
·
275 sisanya adalah
ucapan tâbi ’in.
2. Al-Musnad
oleh Imam Abu Hanifah an-Nu’man ( wafat 150 H ).
3. Al-Musnad
oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi’I ( 150 – 204 H ).
4. Mukhtaliful
Hadits oleh Muh, bin Idris asy-Syafi’I ( 150 – 204 H ).
5. Al-Musnad
oleh Imam Ali Ridha al-Katsin ( 148 – 203 H ).
6. Al-Jami’
oleh Abdulrazaq al-Hamam ash Shan’ani ( wafat 311 H ).
7. Mushannaf
oleh Imam Syu’bah bin Jajaj ( 80 – 180 H ).
8. Mushannaf
oleh Imam Laits bin Sa’ad ( 94 – 175 H ).
9. Mushannaf
oleh Imam Sufyan bin ‘Uyaina ( 107 – 190 H ).
10. Al
Mushannaf oleh Imam Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza’i ( wafat 150 H ).
Dan
masih banyak lagi yang lain. Akan tetapi yang masyhur dalam kalangan hadis cuma
beberapa yang kami paparkan di atas.[15]
B. Kodifikasi hadis periode Mutaakhirin
Para
ahli abad ke-dua tidak mengasingkan hadis dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in.
Keadaan ini diperbaiki oleh ahli abad yang ke-tiga. Ahli abad ke-tiga ketika
mereka bangkit mengumpulkan hadis, mereka mengasingkan hadis dari fatwa-fatwa
itu. Mereka membukukan hadis saja dalam buku-buku hadis. Akan tetapi satu
kekurangan pula yang harus diakui mereka tidak memisah-misahkan hadis. Yakni
mereka mencampur adukkan antara hadis shahih, hasan, dan hadis dhaif. Segala
hadis yang mereka terima mereka bukukan dengan tidak menerangkan keshahihan,
kehasanan, dan kedhaifannya. Lantaran itu tak dapatlah orang yang kurang ahli
mengambil hadis-hadis yang tertulis didalamnya.
Dapat
kita katakan bahwa besar kemungkinan shahifah Abu Bakar ibn Hazm membukukan
hadis saja mengingat perkataan Umar kepadanya: “jangan anda terimah
melainkan hadis Rasulullah saw.”[16]
Maka
yang mula-mula yang mengumpulkan hadis yang hanya mengenai sesuatu sebab saja
ialah Asy Sya’bi. Beliau telah mengmpulkan hadis-hadis tentang thalaq.
Beliau adalah seorang imam yang terkemuka dalam permulaan abad ke-dua. Dan
mereka menyusun secara musnad mula-mula adalah
1. Abdullah ibn Musa Al ‘Abasy Al Kufy
2. Musaddad ibn Musarhad Al Bashry
3. Asad ibn Musa Al Amawy
4. Nu’aim ibn Hammad Al Khuza’y
5. Ahmad ibn Hanbal
6. Ishaq ibn Rahawaih
7. ‘Usman ibn Abi Syaibah
Dalam
abad ke-tiga Hijriah ini memuncaklah usaha pembukuan hadis.
Sesudah
kitab-kitab ibnu Juraij, Muwaththa’ Malik tersebar di masyarakat serta disambut
dengan gembira, hiduplah kemauan menghafal hadis, mengumpul dan membukukannya,
dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari
sebuah negeri ke negeri lain untuk mecari hadis. Kian hari kian bertambah maju.
Mula-mulanya
kebanyakan ulama islam mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di kota mereka
masing-masing. Sebagian kecil saja di antara mereka yang pergi ke kota lain
untuk kepentingan hadis.
Keadaan
ini dipecahkan oleh Al Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan
daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis. Beliau pergi ke Maru,
Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Damsyik,
Qaisariyah, ‘Asqalan, dan Himmash.
Ringkasnya,
beliau membuat langkah mengumpulkan hadis-hadis yang tersebar di berbagai
daerah. 16 tahun lamanya terus menerus Al Bukhari menjelajah untuk
menyiapkan kitab shahihya[17].
Pada
mula-mula dahulu ulama-ulama islam menerima hadis dari para perawi lalu menulis
ke dalam bukunya, dengan tidak mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak
memperhatikan shahih tidaknya.
Musuh
yang berkedok dan berselimut islam melihat kegiatan-kegiatan ulama hadis dalam
mengumpulkan hadis. Maka mereka pun menambah kegiatannya untuk mengacau
balaukan hadis yaitu dengan menambah-nambah lafalnya, atau membuat hadis
maudhu’.
Melihat
kesungguhan musuh-musuh islam dan menyadari akibat-akibat dari perbuatan
mereka, maka bersungguh-sunggulah para ulama hadis untuk :
a. Membahas
keadaan rawi dari berbagai segi, diantaranya keadilan, tempat tinggalnya, masa
dan lain-lain.
b. Memisahkan
hadis-hadis shahih dari yang dhaif dengan cara mentashih hadis.
Pembahasan
mengenai diri pribadi perawi mewujudkan
1. Kaidah-kaidah
tahdis
2. Illat-illat
hadis
3. Terjemah
perawi-perawi hadis
Ringkasnya,
lahirlah tunas ilmu dirayah yang banyak macamnya disamping ilmu riwayah.
Pentashihan dan penyaringan hadis atau memisahkan yang shahih dari yang dhaif
baik yang mengenai perawi riwayat, tahammul dan ada’, melahirkan kitab-kitab
shahih dan kitab-kitab sunan[18].
Untuk
menyaring hadis-hadis serta membedakan antara hadis yang shahih, hadis yang
palsu, dan hadis yang lemah muncullah seorang imam hadis yang besar, Ishaq
ibn Rahawaih, memulai usaha-usaha memisahkan hadis-hadis yang shahih dan
yang tidak.
Pekerjaan
yang mulia ini, kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Imam Abu
Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-256 H). Al Bukhari menyusun
kitab-kitab yang terkenal dengan nama al Jami’ as Shahih didalamnya
beliau bukukan hadis-hadis yang dianggap shahih saja kemudian usaha Al
Bukhari tersebut ternyata diikuti oleh muridnya yang sangat alim yaitu Imam
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusairi (204-261 H).[19]
Maka
dengan jerih payah kedua sarjana besar ini didapatilah hadis-hadis yang bebas
dari kedhaifan bahkan palsu[20]. Setelah shahih
Bukhari dan shahih Muslim tersusun lahirlah ulama-ulama lain yang
mengikuti langkah mereka seperti Abu Daud Sualaiman bin al-Asy’ats
al-Sjistani (202-375 H), Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At Tirmidzi (w.
279 H), dan Ahmad bin Syu’aib al-Khurasani Al-Nasa’i (215-303 H)[21] maka masing-masing beliau ingin menyusun
sunannya.
Itulah
yang kemudian yang dikenal di kalangan ulama hadis dengan Al Ushulul Al
Khamsah. Disamping itu pula ada seorang ulama yang bernama Abdullah bin
Majah al-Qazwini (207-274 H)[22] yang terkenal dengan
laqab Ibnu Majah menyusun sunan bahkan sebagian ulama menggolongkan
sunan tersebut dalam kitab-kitab induk sehingga terkenallah dengan Kutubu
Sittah yaitu shahih al Bukhari, shahih Muslim, sunan Abu Daud, sunan At
Turmidzi, sunan An Nasa’i.[23]
C. Penelitian hadis priode kontemporer
Tak
dapat disangkal lagi bahwa perkembangan ilmu hadis semakin pesat seiring dengan
bertambahnya manusia-manusia bejat yang ingin mengotori sunnah-sunnah Nabi Saw.
dengan membuat-buat hadis-hadis palsu demi mengunggulkan bahkan membela
kelompok s
endiri,
ini semua dilakukan agar kelompoknya dapat diterima di kalangan masyarakat.
Adapula yang membuat-buat hadis demi kepentingan politik dan popularitas
semata. Namun sebenarnya, itu semua tidak akan dibawa mati.
Dengan
alasan itulah para pemimpin umat dalam hal ini ulama bahkan kita sebagai umat
muslim apalagi penuntut ilmu, sangat berperan penting dalam pemberantasan
hadis-hadis palsu dengan meneliti keshahihan hadis tersebut baik ditinjau dari
sanad, matan maupun perawinya, tentunya harus dengan ilmu yang memadai, minimal
menguasai ulumul hadis. Perhatian yang mendalam kepada hadis nabawi sangat
dibutuhkan, oleh karena itu pada zaman kontemporer ini lahirlah ulama-ulama
yang memberikan perhatian lebih terhadap perkembangan hadis.
Kaum
muslimin memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hadis Nabawi. Mereka
sangat bersemangat untuk mengahafal, memindahkan dan menyampaikan sejak masa
awal-awal islam. Di samping itu, mereka juga bersemangat untuk menghimpun dan
mengkodifikasikannya. Pada pembahasan sebelumnya pemakalah sudah memaparkan
bahwa sebagian hadis Nabi Saw. telah dikodifikasikan pada masa beliau, di
samping sebagian besarnya dikodifikasikan pada masa sahabat dan masa tabi’in
serta masa setelahnya. Hafalan dan tulisan saling menunjang dalam pemeliharaan
hadis, seperti halnya perhatian sungguh-sungguh dari kaum muslimin dan ulama’
khususnya dalam rangka membela dan menjaganya. Selanjutnya, seputar hadis Rasul
Saw. itu tumbuh bemacam-macam ilmu yang belum pernah dimiliki oleh ilmu atau
koleksi manapun. Misalnya ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hadis dan ilmu-ilmu
lain yang mengabdi kepada as Sunnah an-Nabawiyah dan menjelaskannya.
Sehingga terbedakanlah yang shahih dan yang dhaif, yang utuh dari yang cacat,
yang diterima dan yang ditolak, yang marfu’ dari yang mauquf dan
yang selundupan dari yang asli.
Penghimpunan
dan periwayatan hadis tidak bersifat konvensional, tetapi dihimpun dan
diriwayatkan -melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya- berdasarkan
kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadis tidak akan diterima,
kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat rumit yang ditetapkan
oleh ulama dan mereka jelaskan didalam buku-buku ushulul hadis.
Ulama
tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan dengan hadis Rasulullah, kecuali
mereka jelaskan. Sampai-sampai ada diantara mereka yang mengatakan : ilmu-ilmu
hadis itu telah matang sampai terbakar, karena banyaknya pengabdian dan
perhatian serius ulama[24].
Syarat-syarat
tersebut telah ada pada periode abad ke-dua Hijriah pada masa setelah lahirnya
6 kitab induk yang terkenal (Kutubus Sittah) oleh orang-orang yang hidup
sesudah masa riwayat. Mereka mengadakan koreksi memberikan komentar dan
meringkas kitab-kitab shahih yang terkenal. Misalnya Abu Abdillah al-Humaidi
(448 H) berhasil menghimpun kedua kitab shahih menurut tertib kitab musnad.
Abdu Sa’dah Mubarak bin al-Atsir (606 H) mengumpulkan Kitab Enam dengan
menertibkan bab-bab. Nuruddin Ali al-Haitsami (807 H) menghimpun
tambahan Kitab Enam dengan (Kutubu Sittah), yakni karangan-karangan
terkenal dalam Majma’ az-Zawa’id. Terakhir As Suyuthi (911 H) mengumpulkan
Kitab Enam dan berbagai kitab Musnad Sepuluh dan lain-lain yang jumlahnya lebih
dari 50 karangan, dalam sebuah karya yang diberi nama Al Jami’ Al Kabir[25].
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Beberapa hadis telah
dikodifikasikan sejak masa Nabi Saw., masa sahabat dan tabi’in. dan sebagiannya
sampai kepada kita melalui musnad dan kitab shahih, dan sebagian lain secara
terpisah. Shahifah yang paling populer adalah shahifah yang dikodifikasikan
berdasarkan perintah Rasulullah Saw. untuk menulisnya.
·
Banyaknya kitab dan
karya dalam bidang hadis pada awal abad kedua Hijriah.
·
Usaha Amir Mesir
dalam menghimpun hadis pada akhir-akhir abad pertama Hijriah menunjukkan
perhatian para penguasa terhadap hadis, semangat mereka memeliharanya dan usaha
resmi dari pemerintah untuk menghimpun sunnah, seperempat abad sebelum masa
yang dikenal dengan masa kodifikasi resmi.
·
Pentadwinan hadis
secara resmi dilakukan pada abad kedua yaitu pada masa pemerintahan Umar bin
Abdul Aziz.
·
Pada abad kedua ini
yang pertama menyusun dalam bentuk buku adalah Syihab Az-Zuhry. Kemudian
pada masa ini juga lahirlah seorang ulama hadis sekaligus ulama fiqh pada masa
itu yaitu Malik bin Anas dengan kitab Muwaththa’nya yang kita kenal dan masih
kita pakai sebagai salah satu referensi dalam mempelajari hadis Nabi Saw.
sampai sekarang.
·
Yang pertama kali
membukukan hadis dengan mengumpulkan semua hadis shahih dalm satu kitab adalah
Muhammad bin Ismail al Bukhari dan kemudian jejaknya diikuti oleh muridnya yang
dikenal dengan Imam Muslim.
·
Pada abad ketiga,
hadis telah berkembang dan menyebar di seluruh penjuru dunia, sehingga
mengakibatkan terjadinya penyimpangan terhadap hadis demi kepentingan politik
dan kepopuleran sehingga para ulama era kontemporer memberikan perhatian yang
lebih terhadap hadis dan dengan segala bidang keilmuan yang berhubungan dengan
itu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kha>tib, M. ‘Ajaj. Al-Sunnah Qabla
al-Tadwi>n. Terj. AH. Akrom
Fahmi, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Al-Kha>tib, M. ‘Ajaj. Us}u>l al-H{adi>s\.
Terj. Drs. H.M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, S.Ag., Pokok-Pokok Ilmu Hadits. Cet. 4;
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Al-Qat}t}a>n, Syai>kh Manna>'. Maba>h}is\
Fiy ‘Ulu>m al-H{a>di>s\. Terj. Mifdhol Abdurrahman, Lc, Pengantar
Studi Ilmu Hadits. Cet. 4; Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2009.
Ash-Shalih, DR. Subhi, ‘Ulu>m
al-Hadi>s\ wa Mus}t}a>huhu>. Terj. Tim PUSTAKA FIRDAUS, Membahas
Ilmu-Ilmu Hadis. Cet. 8; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.
Ash Shiddieqy, Hasbi. Sejarah Dan
Pengantar llmu Hadits. Cet. 4; Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974.
Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Studi Kitab Hadis. Yogyakarta: Teras, 2003.
[1] Syeikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi
ilmu hadits, h. 51
[3]
Ibid.
[4]
Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi
Kitab Hadis, (penerbit Teras, Yogyakarta, 2003), h. viii
[5]
Hasbi Ash Shiddiqie, Sejarah dan pengantar ilmu hadis , h. 78
[6]
DR. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushulul Hadis, (diterjemahkan oleh Drs. H.M. Qodirun Nur) h.
131
[7]
ibid., h. 169
[8]
Syeikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi ilmu hadits, h. 52
[10]ibid.,
h. 80
[11]
Syeikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi ilmu hadits, h. 52
[13]
Syeikh Manna’ Al-Qaththan, pengantar Studi ilmu hadits h. 52-53
[14]
Hasbi Ash Shiddiqie, Sejarah dan
pengantar ilmu hadis, h. 81
[15]
Hasbi Ash Shiddiqie, Sejarah dan pengantar ilmu hadis, h. 82-83
[16]
ibid., h. 89
[17]
Ibid, h. 90
[18]
Ibid., h. 91
[19]
ibid., h. 92
[20]
ibid.
[21]
Dr. M. Ajaj al-Khatib, Hadis Nabi Sebelum Dibukukan, h. 379
[22]
ibid.
[23]
Hasbi Ash Shiddiqie, Sejarah dan
pengantar ilmu hadis , h. 92
[25]
Dr. Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, h. 60
No comments:
Post a Comment