MAKALAH
MUNASABAH AL-QURAN
OLEH: KELOMPOK 5
Nama : Nurul Firman
NIM : 30700112024
JURUSAN
TAFSIR HADIS
PRODI ILMU
HADIS
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sebagai umat islam yang berpedoman
pada Al-Qur‟an haruslah mengerti tentang isi kandungan di dalam Al-Qur‟an.
Karena dengan mempelajari isi kandungannya kita akan memahami dan mengetahui
hukum-hukum dan juga syari‟at islam. Dalam mempelajari Al-Qur‟an ada sebuah
ilmu yang namanya Ilmu munasabah. Ilmu Munasabah adalah ilmu yang mempelajari
tentang keserasian makna, kesesuaian/ korelasi antara ayat yang satu dengan
ayat yang lain di dalam Al-Qur‟an. Karena itu Ilmu Munasabah sangatlah penting
untuk memperdalam pengetahuan kita tentang isi kandungan Al-Qur‟an. Dengan
mempelajari Ilmu Munasabah kita dapat mengetahui keindahan sastra yang ada di
dalam Al-Qur‟an. sehingga niscaya juga akan memperkuat iman kita terhadap Allah
SWT.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Munasabah.
2. Latar Belakang Lahirnya Ilmu
Munasabah.
3. Macam-macam Munasabah.
4. Faedah Ilmu Munasabah.
C.
Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Munasabah.
2. Mengetahui Latar Belakang
Munculnya Ilmu Munasabah.
3. Mengetahui Macam-macam Munasabah.
4. Mengetahui Faedah Dari Ilmu
Munasabah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Munassabah
1. Menurut Al-Zarkasyi:
Munasabah adalah suatu hal yang menghubungkan
dan mengaitkan antara dua kata maupun kalimat, baik secara nalar, indrawi dan
imajinasi maupun secara global dan terperinci yang termasuk dalam cakupan
bentuk-bentuk hubungan.
2. Menurut Ibn Al-Arabi :
Munasabah
adalah keterkaitan ayat-ayat Al-Qur‟an sehingga seolah-olah merupakan satu
ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah
merupakan ilmu yang sangat agung.
3. Menurut Manna‟ Al-Qaththan :
Munasabah (korelasi) dalam pengertian bahasa
berarti kedekatan
4. Yang sdimaksud dengan munasabah disini
ialah segi-segi hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu
ayat, antara satu ayat dengan ayat lain dalam banyak ayat, atau antara satu
surah dengan surah yang lain.Pengetahuan tentang munasabah ini sangat
bermanfaat dalam memahami keserasian antar makna, mukjizat Qur‟an secara
retorik, kejelasan keteranganya, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan
gaya bahasanya. “Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan
secara terinci, diturunkan dari sisi Allah yang Mahabijaksana dan Mahatahu.”
(Q.S. Hud: 1). Pengetahuan mengenai korelasi dan hubungan antara ayat-ayat itu
bukanlah hal yang tauqifi (tak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan
Rasul), tetapi didasarkan pada ijtihad seorang mufasir dan tingkat
penghayatannya terhadap kemukj
izatan Qur‟an, rahasia retorika, dan segi keterangannya mandiri. Apabila
korelasi itu halus maknanya, harmonis konteksnya dan sesuai dengan asas-asas
kebahasaan dalam ilmu bahasa arab, maka korelasi tersebut dapat diterima.
B.
Latar Belakang Munculnya Ilmu Munasbah
Lahirnya pengetahuan tentang
korelasi (munasabah) ini berawal dari kenyataan bahwa sistematika Al-Qur‟an
sebagaimana terdapat dalam Mushaf „Utsmani sekarang tidak berdasarkan fakta
kronologis turunya Al-Qur‟an. Itulah sebab terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama‟ salaf tentang urutan surat di dalam Al-Qur‟an. Pendapat pertama
bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi SAW. Golongan kedua berpendapat
bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad para sahabat setelah mereka bersepakat
dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqifi. Golongan ketiga
berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali surat Al-Anfal dan
Al-Bara‟ah yang dipandang bersifat ijtihadi. Pendapat pertama didukung antara
lain oleh Al-Qadi Abu Bakar dalam satu pendapatnya, Abu Bakar Ibn Al-Anbari,
Al-Kirmani, dan Ibn Al-Hisar. Pendapat kedua didukung oleh Malik, Al-Qadi Abu
Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan Ibn Al-Faris. Pendapat ketiga dianut
oleh Al-Baihaqi. Salah satu penyebab perbedaan ini adalah adanya mushaf-mushaf
ulama‟ salaf yang urutan suratnya bervariasi. Ada yang menyusunya berdasarkan kronologis
turunya, seperti Mushaf Ali yang dimulai dengan ayat iqra‟, sedangkan ayat
lainya disusun berdasarkan tempat turunya Makki kemudian Madani. Adapun Mushaf
Ibnu Mas‟ud dimulai dengan surat Al-Baqarah, kemudian An-Nisa‟, lalu surat Ali
Imran. Atas dasar perbedaan peendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika
masalah korelasi Al-Qur‟an kurang mendapat perhatian dari para ulama‟ yang
menekuni Ulum Al-Qur‟an. Ulama‟ yang pertama kali menaruh perhatian pada
masalah ini, menurut As-Suyuthi, adalah Syaikh Abu Bakar An-Naisaburi, kemudian
diikuti oleh ulama‟ ahli tafsir, seperti Abu Ja‟far bin Jubair dalam kitabnya
Tartib As-Suwar Al-Qur‟an. Syaikh Burhanuddin Al-Baqa‟i dengan bukunya Nazhm
Ad-Durarfi Tanasub Al-Ayyi wa As-Suwar, dan As-Suyuthi sendiri dalam bukunya
Asrar At-Tartib Al-Qur‟an.10
C.
Macam-macam Munasabah Menurut Jalaludin As-Suyuthi terdapat tujuh macam
munasabah yaitu:11
1. munasabah antara surat dengan
surat sebelumnya.
2. munasabah antara nama surat
dengan kandungannya.
3. munasabah antara bagian satu
surat.
4. munasabah antara ayat yang
berdampingan.
5. munasabah antara suatu kelompok
ayat di sampingnya.
6. munasabah anatar fashilah dengan
isi ayat.
7. munasabah antara penutup satu
surat dengan awal surat berikutnya.
Menurut Manna‟ Khalil Al-Qattan:
Setiap ayat mempunyai aspek hubungan dengan ayat sebelumnya dalam arti hubungan
yang menyatukan, seperti perbandingan atau perimbangan antara sifat orang
mukmin dengan sifat orang musyrik, antara ancaman dengan janji untuk mereka,
penyebutan ayat-ayat rahmat sesudah ayat-ayat azab, ayat-ayat berisi anjuran
sesudah ayat-ayat berisi ancaman, ayat-ayat tauhid dan kemahasucian Tuhan
sesudah ayat-ayat tentang alam…dst. 1)
Terkadang munasabah itu terletak
pada perhatianya terhadap keadaan lawan bicara, seperti firman Allah:14 “Maka
apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan, dan langit
bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi
bagaimana ia dihamparkan ?”(Q.S. Al-Gasiyah: 17-20).
Penggambaran antara unta, langit dan
gunung-gunung ini karena memperhatikan adat dan kebiasaan yang berlaku di
kalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, dimana kehidupan mereka
bergantung pada unta sehingga mereka amat memperhatikannya. Namun keadaan
demikian pun tidak mungkin berlangsung kecuali bila ada air yang dapat
menumbuhkan rumput di tempat gembalaan dan minum unta. Keadaan ini terjadi jika
hujan turun. Dan inilah yang menjadi sebab kenapa wajah mereka selalu
menengadah ke langit. Kemudian mereka juga memerlukan tempat untuk berlindung,
dan tidak ada tempat berlindung yang lebih baik daripada gunung-gunung. Mereka
memerlukan rerumputan dan air, sehingga meninggalkan suatu daerah dan turun di
daerah yang lain, dan berpindah dari tempat gembala yang tandus menuju tempat
gembala yang subur. Maka apabila penghuni padang pasir mendengar ayat-ayat di
atas, hati mereka merasa menyatu dengan apa yang mereka saksikan sendiri yang
senantiasa tidak lepas dari benak mereka.16 2)
Terkadang munasabah itu terjadi
antara satu surah dengan surah yang lain, misalnya pembukaan surah Al-An‟am
dengan Al-Hamdu. “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dan mengadakan gelap dan terang.” (Q.S. Al-An‟am: 1).
Ini sesuai dengan penutup surat
Al-ma‟idah yang menerangkan keputusan di antara para hamba berikut balasanya:
“Jika engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba engkau,
dan jika engkau mengampuni mereka, sesungguhnya engkaulah yang Mahaperkasa dan
Mahabijaksana…” (Q.S. Al-Ma‟idah: 118-120).
Hal ini seperti difirmankan Allah:
“Dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan:
segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Az-Zumar: 75). Demikian pula
pembukaan surah Al-Hadid yang dibuka dengan tasbih:19 Pembukaan tersebut sesuai
dengan akhir surah Al-Waqi‟ah yang memerintahkan bertasbih: Begitu juga
hubungan antara surah Li ilafi Quraisy dengan surah Al-Fil. Ini karena
kebinsaan “tentara gajah” mengakibatkan orang Quraisy dapat mengadakan perjalanan
pada musim dingin dan musim panas, sehingga Al-Akhfasy menyatakan bahwa
hubungan antara kedua surah ini termasuk hubungan sebab akibat seperti dalam
firman Allah: “Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keluarga Firaun yang akibatnya
ia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.” (Q.S. Al-Qasas: 8). 3)
Munasabah terjadi pula antara awal
surah dengan akhir surah. Contohnya ialah apa yang terdapat dalam surah Qasas.
Surah ini dimulai dengan menceritakan Musa, menjelaskan langkah awal dan
pertolongan yang diperolehnya, kemudian menceritakan perlakuannya ketika ia
mendapatkan dua orang laki-laki yang sedang berkelahi. Allah mengisahkan doa
Musa: “Musa berkata: Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah engkau anugerahkan
kepadaku, aku sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang
berdosa.” (Q.S. Al-Qasas: 17).
Kemudian surah ini diakhiri dengan
menghibur Rasul kita Muhammad bahwa ia akan keluar dari mekah dan djianjikan
akan kembali ke mekah serta melarangnya menjadi penolong bagi orang-orang yang
kafir:24 “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (untuk melaksanakan hukum-hukum)
Qur‟an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali (yaitu kota
mekah). Katakanlah: Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang
yang dalam kesesatan yang nyata. Dan kamu tidak pernah mengharap agar Qur‟an
diturunkan kepadamu, akan tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat besar dari
Tuhanmu, oleh sebab itu janganlah sekali-kali menjadi penolong orang bagi orang
kafir.” (Q.S.Al-Qasas: 85-86).
Macam-macam Sifat Munasabah:
1. Persesuaian yang nyata (Dzzahirul
Irtibath) atau persesuaian yang tampak jelas, yaitu yang persambungan atau
persesuaian antara bagian Al-Qur‟an yang satu dengan yang lain tampak jelas dan
kuat, karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali, sehingga
yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna, jika dipisahkan dengan
kalimat yang lain. Contohnya, seperti persambungan antara ayat 1 surah
Al-isra‟:25 “Maha Suci Allah, yang memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam
dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.” Ayat tersebut menerangkan isra‟ Nabi
Muhammad SAW. Selanjutnya, ayat 2 surah Al-Isra‟ tersebut juga berbunyi: “Dan
kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan kami jadikan kitab Taurat itu
petunjuk bagi bani Israel.” Ayat tersebut menjelaskan diturunkannya kitab
Taurat kepada Nabi Musa. Persesuaian antara kedua ayat tersebut ialah tampak
jelas mengenai diutusnya kedua orang Nabi/Rasul tersebut.
2. Persambungan yang tidak jelas
(khafiyyul Irtibath) atau samarnya persesuaian antara bagian Al-Qur‟an dengan
bagian yang lain, sehingga tidak tampak adanya pertalian untuk keduanya.
Contohnya seperti hubungan antara ayat 189 surah Al-Baqarah dengan ayat 190
surah Al-Baqarah. Ayat 189 surah Al-baqarah berbunyi: “Mereka bertanya kepadamu
tentang bulan tsabit. Katakanlah, bulan tsabit itu adalah tanda-tanda waktu
bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” Ayat tersebut menerangkan bulan sabit/
tanggal-tanggal untuk tanda-tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji. Sedang
ayat 190 surah Al-baqarah berbunyi: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang
yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas.” Ayat
tersebut menerangkan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat
Islam. Sepintas, antara kedua ayat tersebut tidak ada hubunganya atau hubungan
yang satu dengan yang lainnya samar. Padahal sebenarnya ada hubungan antara
kedua ayat tersebut, yaitu ayat 189 surah Al-Baqarah mengenai soal waktu untuk
haji, sedang ayat 190 surah Al-Baqarah menerangkan : sebenarnya, waktu haji itu
umat islam dilarang berperang, tetapi jika ia diserang lebih dahulu, maka
serangan-serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji.
Ditinjau dari segi materinya, maka
Munasabah itu ada dua macam:27
1) Munasabah Antar Ayat.
Yaitu
munasabah atau persambungan antara ayat yang satu dengan ayat yang lain. Munasabah
ini bisa berbentuk persambungan-persambungan, di antaranya:
a. Diathafkannya ayat yang satu
kepada yang lain, seperti munasabah antara ayat 103 surah Ali-Imran: “dan
berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kalian
bercerai-berai.” “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kalian mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam.” Faedah dari munasabah dengan athaf ini
ialah untuk menjadikan dua ayat tersebut sebagai dua hal yang sama
(An-Nadziraini). Ayat 102 surah Ali-Imran menyuruh bertakwa dan ayat 103 surah
Ali-Imran menyuruh berpegang teguh kepada agama Allah, dua hal yang sama.
b. Tidak diathafkannya ayat yang
satu kepada yang lain, seperti munsabah antara ayat 11 surah Ali-Imran:
“(Keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir‟aun dan orag-orang yang
sebelumnya, mereka mendustakan ayat-ayat kami.” “Sesungguhnya orang-orang yang
kafir, harta benda dan anak-anak mereka pun tidak menolak (siksa) Allah dari
mereka. Dan mereka itulah bahan bakar api neraka.” Dalam munasabah ini, tampak
hubungan yang kuat antara ayat kesebelas dengan ayat sebelumnya ayat kesepuluh,
sehingga ayat 11 surat Ali-imran dianggap sebagai bagian kelanjutan dari ayat
10 surah Ali-imran.
2) Munasabah Antar surah.
Yaitu munasabah atau persambungan
antara surah yang satu dengan yang lainnya. Misalnya seperti awalan dari surah
Al-An‟am yang berbunyi: “segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit
dan bumi” Awalan surah Al-An‟am tersebut sesuai dengan akhiran surah Al-Maidah
yang berbunyi: “kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di
dalamnya, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.” kedua ayat tersebut terdapat
persesuain antara permulaan surah dengan penutup surah sebelumnya.
D.
Faedah Ilmu Munasabah
Faedah mempelajari Ilmu Munasabah
ini banyak sekali, antara lain, sebagai berikut:
1. Mengetahui persambungan antara
bagian Al-Qur‟an, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun
surah-surahnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih memperdalam
pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur‟an dan memperkuat keyakinan
terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
2. Dengan Ilmu Munasabah itu, dapat
diketahui mutu dan kebalaghahan bahasa Al-Qur‟an dan konteks kalimat-kalimatnya
yang satu dengan yang lain, serta persesuaian ayat/ surahnya yang satu dari
yang lain, sehingga lebih meyakinkan kemukjizatannya, bahwa Al-qur‟an itu
benar-benar wahyu dari Allah SWT, dan bukan buatan Nabi Muhammad SAW.
3. Dengan Ilmu Munasabah akan sangat
membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an, setelah diketahui hubungan
sesuatu kalimat/ sesuatu ayat dengan kalimat/ ayat yang lain, sehingga
mempermudah pengistimbatan hukum-hukum atau isi kandungannya.
4. Dapat mengetahui/ memahami
kondisi dan situasi yang merupakan latar belakang sesuatu peristiwa.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan Dari paparan singkat di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ilmu Munasabah adalah ilmu yang mempelajari
tentang hakikat keserasian (korelasi) antara satu bagian dengan bagian yang
lain. Ilmu ini sepenuhnya bersifat ijtihady, bukan tauqify. Ada macam-macam
munasabah yang terdapat dalam Al-Qur‟an dimana masing-masing mufasir saling
berbeda dalam memberikan jumlah macam-macam munasabah, ini karena perbedaan
pemahaman dan penafsiran serta sudut pandang yang berbeda pula terhadap
korelasi ayat-ayat di dalam Al-Qur‟an. Maka tidak bisa dipungkiri jika banyak
sekali versi tentang macam-macam munasabah Al-Qur-an. Dengan Ilmu Munasabah
kita dapat mengetahui keindahan dan tingginya sastra yang ada di dalam
Al-Qur‟an, sehingga kita yakin bahwa Al-Qur‟an adalah benar-benar wahyu dari
Allah yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, dan bukan buatan Nabi. Fazlurahman
mengatakan: Apabila seseorang ingin memperoleh apresiasi yang utuh mengenali
Al-Qur‟an, maka ia harus dipahami secara utuh dan terkait, Al-Qur‟an akan kehilangan
relevansinya untuk masa sekarang dan masa datang. Sehingga Al-Qur‟an tidak
dapat menyajikan dan memenuhi kebutuhan manusia.30 Pesan Manna Al-Qattan :
Orang yang membaca secara cermat kitab-kitab tafsir tentu akan menemukan
berbagai segi kesesuaian (munasabah) tersebut.32 30 Fazlurahman, Major Times Of
The Al-Qur’an, tth. 31 Manna’ Al- 32 Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu
Al-Qur’an/; diterjemahkan dari bahasa arab oleh Mudzakir AS. Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2007, hlm.143.
DAFTAR
PUSTAKA
Manna‟ Al-Qaththan, 1973, mabahits
fi ulum Al-Qur‟an, Mansyurat Al-„Ashr Al-Hadits, ttp.
Jalaludin As-Suyuthi, tth, Al-itqan
fi Ulum Al-Qur‟an, Beirut: Dar Al-Fikr.
Jalaludin As-Suyuthi, tth, Asrar
Tartib Al-Qur‟an, Kairo: Dar Al-I‟tisham.
Djalal, Abdul, 2012, Ulumul Qur‟an, Surabaya: Dunia Ilmu.
No comments:
Post a Comment