Tuesday, November 27, 2012

SYARAT-SYARAT HADITS SHAHIH DALAM KAEDAH MAYOR, MINOR SANAD DAN MATAN HADITS




MAKALAH
SYARAT-SYARAT HADITS SHAHIH DALAM KAEDAH MAYOR, MINOR SANAD DAN MATAN HADITS





OLEH :
KELOMPOK IV
1.   HABIBA
2.   CECE MIRANI
3.   NURJANNAH, S


JURUSAN ILMU HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN  MAKASSAR
2012


 BAB 1
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Hadis merupakan sumber ajaran islam yang kedua sesudah Al-Qur’an, secara resmi ditulis dan dikumpulkan dalam suatu kitab pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Azis oleh karena itu ummat islam wajib menjadikan hadits sebagai pedoman dalam segala aktifitas, baik dalam segala aktifitas maupun dalam pengabdiannya sebagai hamba Allah maupun khalifah di muka bumi ini.
Dari tahun wafatnya Rasulullah SAW, sampai tahun ditulisnya hadits, sangat memungkinkan munculnya pemalsuan-pemalsuan hadits. Hal inilah yang mendorong ulama untuk mencari dan mengumpulkan hadits-hadits.
Para ulama dalam melakukan penelitian menitikberatkan perhatiannya pada sanad dan matan hadits. Oleh karena itu para ulama menetapkan kaedah kaedah yang berkenaan dengan kedua hal tersebut sebagai syarat diterimanya suatu hadits.
Suatu hadits dikategorikan shahih apabila memenuhi ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah keshahihan sanad dan matan hadits. Oleh sebab itu penulis akan memaparkan tulisan ini dengan judul “Syarat-syarat  hadits shahih dalam kaedah mayor,minor sanad dan matan hadits untuk pengetahuan lebih lanjut.
B.     RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana syarat-syarat hadits shahih dalam kaedah mayor sanad hadits   
2.       Bagaimana syarat-syarat hadits shahih dalam kaedah minor sanad hadits    
3.        Bagaimana syarat-syarat matan suatu hadits berkualitas shshih


C.    TUJUAN PEMBUATAN MAKALAH
Adapun tujuan pembuatan makalah yang ditulis oleh penyusun adalah  untuk mengajak rekan-rekan untuk berfikir, mengambil dan mengamalkan karena hal ini wajib untuk diamalkan menurut kesepakatan. Ulama hadits dan para ulama ushul fiqih serta fuqaha yang memiliki kapabilitas. Untuk itu dengan demikian, ia dapat dijadikan hujjah, syari’at yang tidak boleh diberikan kesempatan bagi seorang muslim untuk tidak mengamalkannya.
















                                                        BAB II                                                                                                                                                 
PEMBAHASAN
A . Syarat-Syarat Hadits Shahih
      Adapun syarat-syarat hadits shahih dalam kaidah Mayor dan Minor Sanad Hadits
a.      Kaidah Mayor sanad matan dan hadits
Adapun unsur-unsur kaedah mayor keshahihan sanad hadits adalah :
1.      Sanad bersambung
2.      Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
3.      Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith
4.      Sanad hadits itu terhindar dari syudzudz atau kejanggalan
5.      Sanad hadits itu terhindar dari illat.
b.      Kaidah Minor sanad matan dan hadits
 Dengan demikian, suatu sanad hadits yang tidak memenuhi kelima unsur                                     tersebut adalah hadits yang kualitassanad-nya tidak shahih. Adapun pembahasan dari kelima macam unsur diatas adalah;
1.      Sanad bersambung
Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayat dalam sanad haditsر menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya (guru) ; keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits itu. 1 Jadi , seluruh periwayat yang disandari oleh al-mukharrij (penghimpun riwayat hadits dalam karya tulisnya) sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadits yang bersangkutan dari Nabi, bersambung dalam periwayatan.

Ulama hadits berbeda pendapat tentang nama hadits yang sanadnya bersambung. Al-Khathib al-Baghdady menamainya sebagai hadits musnad. Sedang hadits musnad itu sendiri menurut Ibn ‘Abd al-Barr ialah hadits yang disandarkan kepada Nabi, jadi sebagai hadits marfu’; sanad hadits musnad ada yang bersambung dan ada yang terputus. 2
           Menurut penelitian al-Sakhawiy, pendapat banyak diikuti oleh ulama   adalah pendapat yang dikemukakan oleh al-Baghdadiy di atas 3 Dengan demikian ulama hadits umumnya berpendapat, hadits musnad pasri marfu’ dan bersambung sanadnya, sedang hadits marfu’ belum tentu hadits musnad. Di samping itu, di kalangan ulama hadits dikenal juga istilah hadits muttasil atau maushul. Menurut Ibn al-Shalah dan al-Nawawiy, yang dimaksud dengan hadits muttashil atau mawshul ialah hadits yang bersambung sanadnya , baik persambungan itu sampai kepada sahabat Nabi saja. 4 Jadi, hadits muttashil atau mawshul ada yang marfu’ (disandarkan kepada Nabi ) dan ada yang mauquf ( disandarkan kepada sahabat Nabi ). Apabila dibandingkan dengan hadits musnad maka dapat dinyatakan, bahwa hadits musnad pasti muttashil atau mawshul, dan tidak semua hadits muttashil atau mawshul pasti musnad.
Untuk mengetahui bersambung ( dalam arti musnad ) atau tidak bersambungnya suatu sanad, biasanya ulama hadits menempuh kata-kerja penelitian sebagai berikut:
a.       Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti:
b.      Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat:
[1] melalui kitab-kitab rijal al-hadits, misalnya kitab Tahdzib al-Tahdzib  susunan Ibn Hajar al-‘ Asqalaniy, dan kitab al-Kasyif susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy;
[2] dengan maksud untuk mengetahui;
     [ a]. apakah setiap periwayat dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang adil dan dhabith, serta tidak suka melakukan penyembunyian cacat (hadits)
      [ b]. apakah antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat  dalam sanad itu terdapat hubungan: [1] kesezamanan pada masa hidupnya; dan [2] guru murid dalam periwayatan hadits;                                               
c.       Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasainy, haddasan, akhbarana, ‘an, anna, atau kata-kata lainnya.5
Jdi, suatu sanad hadits barulah dapat dinyatakan bersambung apabila
a.       Seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar siqat (adil dan dhabith); dan
b.      Antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan tahammul wa ada’ al-hadits.
   Dari uraian di atas dapat dinyatakan , unsur-unsur kaedah minor sanad bersambung : [1] muttashil; [2] marfu’.


                                                        
1.        Lihat: Muhammad  al-Shabbagh, al-Hadits al-Nabawiy ([ttp]: Al-Maktab al-Islamiy, 1392 H = 1972 M), h. 162; Shubhiy al-Shalih, op. cit. , 145
2.        Lihat: Ibn al-Shalah, op. cit. , h. 39
3.        Lihat: Syams al- Din Muhammad bin ‘Abd al-Rahman al-Sakhawiy (selanjutnya ditulis sebagai al-Sakhawiy), Fath al-Mughis SyarhAlfiyyat al-Haditsli al-‘Iraqiy (al-Madinah al-Munawwarah: Al-Makhtabat al-Salafiyyah, 1388 H = 1968M), Juz 1, h. 99.
4.        Lihat: Ibn al-Shalah, op. cit. , h. 40; al-Nawawiy ,al-Taqrib, op. cit. , h. 6.
5.        Lihat contoh tata kerja penelitian sanad yang dikemukakan oleh Mahmud alThahhan, op. cit. , hh. 219-222 dan 225-226.

2.      Periwayat Bersifat Adil
Kata adail memiliki lebih dari satu arti, baik dari segi bahasa maupun istilah. 6 Berbagai ulama telah membahas siapa orang yang dinyatakan bersifat adail. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat dalam memberikan gambaran betapa beragamnya pendapat ulama tersebut . Pokok-pokok pendapat ulama dimaksud dalam bentk ikhtisar. Yang dimana pendapat-pendapat yang di ikhtisarkan  ibatasi hanya berasal dari lima belas orang  ulama di berbagai zaman.  Dari kelima belas ulama ini, sepuluh orang di antaranya dikenal sebagai ulama hadits, di samping juga di antara mereka ini dikenal di bidang ilmu keislaman tertentu lainnya.

Kesepuluh orang ulama yang disebutkan pertama itu ialah: [1] al-Hakim al-Nasyaburiy (wafat 405 H = 1014 M), [2] Ibn al-Shalah (wafat 643 H = 1245 M), [3] al-Nawawiy (wafat 676 H = 1277 M), [4] Ibn Hajr al-‘ Asqalaniy (wafat 852 H = 1449 M), [5] al-Harawiy (wafat 873 H = 1470 M), [6] al-Syawkaniy (wafat 1250 H = 1834 M), [7] Muhammad Mahfuzh al-Tirmisiy (wafat 1329 H), [8] Ahmad Muhammad Syakir (wafat ?), [9] Nur al-Din ‘Itr, dan [10] Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib. 7 Lima orang ulama selebihnya ialah: [1] al-Ghazaliy (wafat 505 H = 1111 M), [2] Ibn Qudamah (wafat 620 H = 1223 M), [3] Al-Jurjaniy (wafat 816 H = 1413 M), dan [5] Muhammad al-Khudariy Bik (wafat 1927 M). 8

Adapun unsur-unsur kaidah minor periwayat yang adil adalah [1] beragama islam , [2] mukallaf, [3] melaksanakan ketentuan agama, dan [4] memelihara muru’ah.

Secara umum, ulama telah mengemukakan cara penetapan keadilan periwayat hadits. Yakni, berdasarkan
a.       Popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadits; periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya, misalnya Malik bin Anas dan Sufyan al-Sawiry, tidak lagi diragukan keadilannya.
b.      Pernilaian dari para kritikus periwayat hadits; pernilaian ini berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadits.
c.       Penerapan kaedah al-jarh wa al-ta’dil; cara ini ditempuh, bila para kritikusperiwayat hadits tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu .9
                    Jadi, penetapan keadilan periwayat diperlukan kesaksian dari ulama,     dalam    hal ini  ulama ahli kritik periwayat. Khusus para sahabat Nabi, hampir seluruh ulama memiliki mereka bersifat adil.

                                                     
6.        Dalam kamus bahasa Indonesia, kata adail diartikan sebagai: “[1]  tdak berat sebelah (tidsak memihak), [2] sepatutnya: tidak sewenanag-wenang.......” lebih lanjut, lihat; W.J.S poerwadarminta,op. cit. , h. 16 Kata adail berasal dari bahasa arab: Al-‘adl itu sendiri merupakan masdar dari nkata kerja ‘adala.   Menurut bahasa, kata al-‘adl memiliki banyak arti, antara lain: Keadilan (al-adalat atau al-‘udulat ); pertengahan (al-i’tidal); lurus (al-istiqamat); condong kepada kebenaran ( al-mayl ila al-haqq). Orang yang bersifat adil disebut al-‘adil, kata jamaknya al-‘udul. Lebih lanj lihat: Ibn Manzhur, op. cit., Juz XIII, hh. 456-463.: Al-Fayyumiy, op. cit. , Juz II, hh. 470-471; Al-Syarif  ‘Aliy bin Muhammad al-Jurjaniy (selanjutnya ditulis sebagai al-Jurjaniy)
7.        Pendapat meraka penulis kemukakan dalam ikhtisar II dan dikutip dari Kitab mereka masing-masing . Lihat: Abu ‘Abd Allah Muhammad bin ‘Abd Allah bin Muhammad al-Hakim al-Naysaburiy(selanjutnya ditulis dengan nama yang lebih dikenal, al-Hakim), Ma’rifat ‘Ulum al-hadits (Kairo: Maktabat al-Mutanabbiy, [tth]), h. 53 :  Ibn al-Shalah, op. cit. , h. 94: al-Nawawiy, op. cit. , h 12.



3.      Periwayat Yang Bersifat Dhabith
Pengertian dhabith menurut istilah telah dikemukakan oleh ulama dalam berbagai keterangan. Menurut Ibn Hajr al-‘ al-Asqalaniy dan al-Sakhawiy, yang dinyatakan sebagai orang dhabith ialah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mamapu menyampaikan hafalannya itu kapan saja dia menghendakinya. Adapun ulama yang menyatakan, orang dhabith adalah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya; dia memahami arti  pembicaraan  itu secara benar ;  dia memahaminya dengan pemahaman yang mendetail kemudian dia hafal secara sempurna; dan dia memiliki kemampuan  yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat dia mendengar riwayat itu sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.  Masih ada lagi pernyataan ulama tentang pengertian dhabith, yang walaupun redaksinya berbeda-beda tetapi prinsip-prinsip yang yang terkandung di dalamnya banyak kesamaannya.
Apabila berbagai pernyataan ulama tersebut digabungkan, maka butir-butir sifat dhabith yang disebutkan adalah ;
a.       Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya(diterimanaya);
b.      Periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya(diterimanaya);
c.       Periwayat mamapu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya dengan baik:
[1] kapan saja dia menghendakinya
[2] sampai saat dia menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.

                                                       
8.        Lihat: Abu al-Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Gazhaliy(selanjutnya ditulis sebagai al-Gazhali)
Adapun cara penetapan ke-dhabith-an seorang periwayat, menurut berbagai pendapat ulama, dapat dinyatakan sebagai berikut:
a.       Ke-dhabith-an periwyat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
b.      Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-dhabith-annya. Tingkat kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai ke tingkat makna atau mungkin ke tingkat harifah.
c.       Apabila seorang periwayat sekali-sekali mengalami kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang dhabith. Tetapi apabila kesalahan itu sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi disebut sebagai periwayat yang dhabith. Kepemahaman periwayat akan hadits yang diriwayatakannya tetap sangat berguna dalam periwayatan hadits, khusussnya ketika terjadi perbedaan riwayat antara semua periwayat antara sesama periwayat yang dhabith . Karena bentuk ke-dhabith-an para periwayat yang dinyatakan bersifata dhabith tidak sama, maka seharusnya istilah yang digunakan untuk menyifati mereka dibedakan juga, yaitu: a.) Istilah dhabith diperuntukkan bagi periwayat yang; [1] hafal dengan sempurna hadits yang diterimanaya [2] mampu menyampaikan dengan baik hadits yang dihafalnya itu kepada orang lain. b) istilah tamm al-dhabth yang bila diindonesiakan dapat dipakai istilah dhabith plus, diperuntukkan bagi periwayat yang; [1] hafal dengan sempurna hadits yang diterimanya [2] mampu menyampaikan dengan baik hadits yang dihafalnya itu kepada orang lain [3] paham dengan baik hadits yang dihafalnya itu.


                                            
9.        Lihat misalnya: al-Nawawiy, op. cit. ,h 12; al-Nawawiy, op. cit. , hh 55-56; Ibn Kasir, Ikhtisar, op. cit. , h. 35; al-Suyuthiy, op. cit. , Jilid I , hh. 301-302; perbandingkan juga dengan: al-Qasimiy, al-Jarh wa al-Ta’dil.
4.      Terhindar Dari Syudzudz (Kejanggalan)
Menurut al-Syafi’iy, suatu hadits tidak dinyatakan suatu hadits tidak mengandung syudzudz, bila hadits itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat, sedang periwayat yang siqat lainnya tidak meriwayatkan hadits itu. Barulah hadits dinyatakan mengandung syudzudz, bila hadits diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat tersebut  bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh banyak periwayat10 yang juga bersifat siqat.
Menurut Imam al-Hakim al-Nasyaburiy, hadits syadzialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat, tetapi tidak ada periwayat siqat lainnya yang meriwayatkannya.11
Menurut Abu Ya’la al-Khaliliy, hadits syadz adalah hadits yang sanad-nya hanya satu macam, baik periwayatnya bersifat siqat maupun tidak bersifat siqat. Apabila periwayatnya tidak siqat, maka hadits itu ditolak sebagai hujjah, sedang bila periwayatnya siqat maka hadits itu dibiarkan (mutawaqqaf), tidak ditolak dan tidak diterima sebagai hujjah.12
Ibn al-Shalah dan al-Nawawiy telah memilih pengertian hadits syadz yang diberikan oleh al-Syafi’iy. Karena, penerapannya tidak sulit. Apabila pendapat al-Hakim dan al-Khaliliy yang diikuti, maka banyak hadits  yang oleh mayoritas ulama hadits telah dinilai shahih akan berubah menjadi tidak shahih.13
Ulama hadits zaman berikutnya terlihat sejalan juga dengan pendapat al-Syafi’iy.14
                                                                                                                                                                                             


 
10.      Diriwayatkan oleh al-Hakim dan Ibn al-Shalah. Lihat : al-Hakim, op. cit. , h. 119; Ibn al-Shalah, op. cit. , h. 48.
11.      Lihat; al-Hakim, loc.cit. , h. 48.
12.      Lihat: ibid. (al-Nawawiy, h. 9; Ibn Kasir h. 34; Ibn al-Shalah, op. cit. , h. 69.
13.      Lihat:ibid . (al-Nawawiy; Ibn al-Shalah, hh. 69-71); Lihat juga: al-‘Iraqiy, op.cit. , hh. 100-105
Sebagian ulama menyatakan , penelitian syudzudz hadits lebih sulit daripada penelitian ‘illat hadits. Dinyatakan demikian, karena belum ada ulama hadits yang menyusun kitab khusus tentang hadits syadz sedang ulama yang menyusun kitab ‘ilal, walaupun jumlahnya tidak banyak, tetapi telah ada.
Seorang laki-laki telah meninggal dunia di zaman Rasulullah SAW, Dan orang itu tidak meninggalkan seorang pun ahli waris, terkecuali seseorang yang telah merendahkannya
Dari contoh hadits yang sanad-nya berkualitas syadz di atas dapatlah dinyatakan, bahwa ke-syadz-an sanad hadits baru dapat diketahui setelah diadakan penelitian sebagai berikut:
a.       Semua sanad  yang mengandung matn hadits yang pokok masalahnya memiliki kesamaan dihimpun dan diperbandingkan
b.      Para periwayat di seluruh sanad diteliti kualitasnya
c.       Apabila seluruh periwayat bersifat siqat dan ternyata ada seorang periwayat yang sanad-nya menyalahi sanad-sanad lainnya, maka sanad yang menyalahi itu disebut sanad syadz sedang sanad-sanad lainnya disebut sanad mahfuzh.
Adapun yang menjadi penyebab utama terjadinya syadz sanad hadits adalah karena perbedaan tingkat ke-dhabith-an periwayat.Jadi sekiranya unsur sanad bersambung atau unsur periwayat bersifat dhabith benar-benar telah terpenuhi, niscaya ke-syadz-an sanad tidak akan terjadi. Ini berarti, unsur terhindar dari syudzudz sesungguhnya tidaklah berkedudukan sebagai unsur kaedah mayor, tetapi berkedudukan sebagai unsur kaedah minor. Keberadaan unsur terhindar dari syudzudz dalam konteks defenisi tentang hadits shahih bersifat metodologi dan penekanan akan keberadaan unsur-unsur sanad bersambung ataupun periwayat bersifat dhabith (tepatnya dalam hal ini: periwayat yang tamm al-dhabth)

5.      Terhindar Dari ‘Illat
‘Illat menurut istilah ilmu hadits, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn al-Shalah dan an-Nawawiy, ialah sebab yang tersenbunyi yang merusakkan kualitas hadits. Keberadaannya menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih.
Cacat umum seperti ini dal;am ilmu hadits disebut dengan istilah tha’n atau jarh yang juga diistilahkan “ ‘Illat “. Cacat ini dapat mengakibatkan lemahnya sanad , periwayat yang cacat dapat pula memberi petunjuk kemungkinan terjadinya keterputusan sanad.
Dalam hubungan ini, ‘Abd al-Rahman bin Mahdiy (wafat 194 H = 814 M ) menyatakan untuk mengetahui ‘illat hadits diperlukan intuisi (ilham). Sebagian ulama menyatakan orang yang mampu meneliti ‘illat hadits hanyalah orang yang cerdas, memiliki hafalan hadits yang banyak, paham akan hadits yang dihafalanya, mendalam pengetahuannya tentang berbagai tingkat ke-dhabit-an periwayat dan ahli di bidang sanad dan matn hadits. Al-Hakim al-Nasyaburiy berpendapat, acuan utama penelitian ‘illat hadits adalah hafalan, pemahaman dan pengetahuan yang luas tentang hadits.
Adapun bentuk-bentuk ‘illat yang kebanyakan saat ini adalah :
a.       Sanad yang tampak muttashil dan marfu’, ternyata muttashil tetapi mauquf. Yang dimana hadits Muquf adalah hadits yang dihentikan sandarannya kepada seorang sahabat.
b.      Sanad yang tampak muttashil dan marfu, ternyata muttashil tetapi mursal
c.       Terjadi percampuran hadits dengan bagian hadits lain
d.      Terjadi kesalahan penyebut periwayat, karena ada lebih dari seorang periwayat memiliki kemiripan nama sedang kualitasnya tidak sama-sama siqat.


B. Syarat-syarat Suatu Matan Hadits Berkualitas Shahih
     Dalam pandangan al-Khatib al-Baghdadiy, suatu matan hadits berkualitas shahihb apabila mengandung atau selamat dari enam hal  yaitu:
1.      Hadis itu tidak bertentangan dengan akal sehat
2.       Tidak bertentangan dengan hukum Al-qur’an yang telah muhkam atau qath’i al-Dalalah
3.       Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir
4.      Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi konsensus ulama salaf
5.      Tidak bertentangan dengan dalil yang pasti dan
6.      Tidak bertentangan dengan hadits ahad lain yang kualitasnya lebih kuat.15










 
14.      Lihat misalnya: al-Asqalaniy, op. ci. , hh. 20-21: al-Suyuthiy,op. cit. ,Jilid I, hh. 232-238; Muhammad al-Shabagah, op. cit. , hh. 180-180 : Shubhiy al-Shalih, op. cit. , hh. 196-203
15.      Al-Khatib al-Baghdadiy, al-Kifayah..................,loc. cit. , h. 206-207




BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Kaedah dimaksud menyatakan bahwa suatu sanad hadits barulah dinyatakan berkualitas shahih, apabila :
a.       Sanad hadits itu bersambung mulai dari awal sampai akhir sanad
b.      Seluruh periwayat hadits itu bersifat adil. Yakni : [1] beragama islam; [2] mukalaf: [3] melaksanakan ketentuan agama islam: dan [4] memelihara muru’ah
c.       Seluruh periwayat bersifat dhabith. Yakni : [1] hafal dengan sempurna hadits yang diriwayatkan; dan [2] mampu dengan baik menyampaikan hadits yang dihafalnya itu kepada orang lain tanpa ada kesalahan. Orng yang memiliki sifat-sifat adil dan dhabith biasanya disebut sebagai orang yang bersifat siqat.
d.      Sanad  hadits itu terhindar dari syudzudz. Yakni, tidak terjadi pertentangan antara periwayat siqat dan periwayat yang siqat lainnya yang lebih banyak jumlahnya. Sanad hadits yang terhindar dari syadz biasanya juga disebut sebagai mahfuzh
e.       Sanad hadits terhindar dari ‘illat. Yakni : [1] tidak terjadi pernilaian siqat terhadap periwayat yang sesungguhnya tidak siqat ; dan [2] dan tidak terjadi penetapan sanad yang sesungguhnya tidak bersambung.

B.     Saran
1.      Agar makalah ini dijadikan sebagai sebuah referensi mengenai ilmu hadits
2.      Agar makalah ini dikembangkan lebih lanjut agar menjadi makalah yang sangat bermanfaat
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Ismail Syuhudi, 1995, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, Bulan Bintang. Jakarta

Ilyas Abustani, 2011, Filsafat Ilmu Hadits, Zadhaniva Publishing. Surakarta

Khon Majid Abdul, 2010, Ulumul Hadits, Amzah. Jakarta
 

 

1 comment: