Friday, November 9, 2012

sejarah perkembangan hadist



sejarah perkembangan hadits

                        

oleh
kelompok III
AHMAD TA’MIN
JUMADIL MUSA
EDI SETIAWAN

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI ALAUDDIN MAKASSAR
2012



KATA PENGANTAR
            Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menciptakan pena sehingga sebagai ciptaan yang pertama kali diciptakan seraya berfirman, “Tulislah!” maka pena pun menulis apa yang akan terjadi hingga Hari Kiamat. Puji syukur ke hadirat Allah yang telah memberikan nikmat pena dan tulisan kepada hamba-hamba-Nya dan menjelaskannya seraya berfirman,
“Nu>n, demi kalam dan apa yang mereka tulis.” (Q.S. Al-Qalam: 1)
Sumpah dalam ayat ini menunjukkan atas keagungan pena dan tulisan, karena Allah tidak pernah bersumpah kecuali dengan sesuatu yang agung.
Begitu pula tidak henti-hentinya kita menyampaikan shalawat serta salam atas junjungan nabi besar kita Muhammad Saw. yang diutus oleh Allah sebagai pembawa risalah Islam yang bisa kita rasakan kesejukan ajarannya sampai saat ini.
Sudah selayaknya sebagai umat islam kita menuntut ilmu syariah, dan itu semua dapat diketahui melalui mempelajari Al-Qur’an dan Hadis rasulullah. Oleh sebab itu izinkan kami menampilkan sebuah makalah dihadapan para pembaca yang budiman, yang dengan rendah hati kami susun dengan keterbatasan ilmu, namun dari hasil kajian yang pemakalah kaji mudah-mudahan bisa diambil manfaatnya setidaknya untuk menambah wawasan keilmuan, walaupun pemakalah tahu bahwa di dalamnya terdapat banyak kesalahan.
Dan ucapan terima kasih tak lupa disampaikan pada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini  baik berupa materi maupun moril  sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, terutama kepada dosen pembimbing kami dan teman seperjuangan kami yang rela menghabiskan waktunya demi mendiskusikan materi makalah kami, mudah-mudahan apa yang telah mereka berikan kepada kami dibalas oleh Allah berupa pahala amal jariyah di sisi-Nya. Amin.
 Juga permohonan maaf sebesar-besarnya kepada para pembaca yang budiman jika di dalam makalah ini terdapat banyak kekeliruan, karena pemakalah adalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Koreksi dan saran para pembaca yang budiman sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini ke depannya.
Makassar, 05 Oktober 2012
PEMAKALAH



DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………………………….1
Daftar Isi ……………………………………………………………………………...3
BAB I
Pendahuluan …...……………………………………………………………………...4
A.   Latar belekang …………………………………………………………..……4
B.   Rumusan masalah ……………………………………………………….……7
BAB II
Pembahasan …………………………………………………………………………..8
A.   Pembukuan hadis priode mutaqaddimin ……………………………..………8
B.   Kodifikasi hadis priode mutakhkhirin ………………………………………13
C.   Penelitian hadis priode kontemporer ………………………………………..17
BAB III
Penutup ………………………………………………………….…………………..20
Kesimpulan ……………………………………………………………………….....20
Daftar pustaka ………………………………………………………………………22
BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Hadis atau yang lebih dikenal dengan sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Dan semua umat sepakat bahwa hadis adalah salah satu sumber hukum yang dianut oleh ajaran Islam (hujjah), selain dari pada al-Qur’an. Namun pada perkembangannya, ternyata belakangan banyak yang mempersoalkan  hadis dari berbagai aspeknya, ini semua tidak lepas karena penulisan hadis pada zaman keemasan Islam sangat minim yang diindikatori oleh larangan Rasulullah terhadap penulisan hadis pada priode itu, karena ditakutkan terjadi pencampur-bauran antara hadis dan al-Qur’an. Bahkan para ulama hadis saling selisih pendapat tentang hal ini. Di antara faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat itu terjadi adalah karena adanya didapati sabda-sabda Rasulullah yang melarang hal tersebut, tapi ternyata pada jalur sanad yang lain, ada pula sabda beliau yang membolehkan bahkan menganjurkan hal tersebut.
Dari Urwah bin az-Zubair  bahwasanya Umar Ibn Khattab ingin menulis sunnah-sunnah Nabi, lalu ia meminta fatwa daripada sahabat tentang hal itu. Mereka menyarangkan untuk menulisnya kemudian Umar beristikharah selama sebulan. Hingga pada suatu pagi, beliau akhirnya mendapat kemantapan hati lalu berkata, “suatu ketika aku ingin menulis sunnah-sunnah, dan aku ingat suatu kaum terdahulu mereka menulis buku dan meninggalkan kitabullah. Demi Allah, aku tidak akan mengotori kitabullah dengan suatu apapun.”
Ini menunjukkan bahwa Umar ingin menulis as-sunnah dan membukukannya namun khawatir kaum muslimin akan terlena mempelajarinya dan melalaikan Kitabullah, atau khawatir akan tercampur antara al-Qur’an dan as-sunnah.
Adapun atsar dari sebagian tabi’in tentang larangan menulis fatwa mereka itu karena sebab lain, yaitu kekhawatiran mereka akan bercampur hadis dengan pendapat mereka[1].
Menurut Ar-Ramahurmuzy hadis tidak bisa dikendalikan kecuali dengan tulisan, kemudian dengan saling tukar dan saling melakukan kajian, mengingat dan menghafal, mempelajarinya secara berulang-ulang dan bertanya, melakukan penelitian mendalam dari para periwayat serta memahami apa yang mereka riwayatkan. Penulisan memang dilarang oleh sebagian tokoh pada awal islam, karena kedekatan masa dan pendeknya jalur periwayatan. Disamping itu agar penulis tidak semata bertumpuh kepadanya sehingga enggan menghafal dan menerapkannya. Adapun pada saat waktu telah berselang lama jalur periwayatan tidak lagi berdekatan bahkan berbeda-beda, para periwyat hampir mirip, bahaya terlupakan sudah dekat dan pra-duga tidak bisa dihindari lagi, maka menegndalikan hadis melalui tulisan lebih utama dan lebih mujarab[2].
Fenomena silang pendapat itu tidaklah muncul karena ulama terbagi menjadi dua kubu, yang satu membolehkan dan yang lain melarang penulisan hadis. Tetapi ia muncul karena sebab-sebab yang telah kami jelaskan tadi. Bila sebab-sebab itu hilang, maka ulama akan memperbolehkannya. Dan bila dikhawatirkan muncul ketergantungan pada tulisan dan pengabdian terhadap hafalan, maka suara-suara pelarangan itu akan muncul lagi yang menghendaki penggunaan hafalan. Sampai pada akhirnya, ulama sependapat melakukan penulisan yang telah menjadi kebutuhan yang mendesak dan tak bisa di tawar lagi[3].
Namun perlu diketahui bahwa sejarah panjang penghimpunan (pentadwinan) hadis bukan merupakan suatu pelalaian terhadap hadis. Keberadaan hadis telah didudukkan oleh sahabat dengan baik. Mereka dengan sangat hati-hati dalam mengambilnya dalam menetapkan hujjah. Memang pada masa ini, penyebaran hadis tidak luas sebagaimana masa sesudahnya, sahabat kecil dan tabi’in yang telah merata ke berbagai wilayah kekuasaan Islam. Dengan demikian, pennyebaran hadis tidak berpusat di Hijaz saja. Walaupun gerakan resmi penulisan hadis belum dimulai, namun ditemukan hasil kodifikasi yang dilakukan secara individu masing-masing periwayat hadis. Di antara awal kodifikasi hadis adalah s{ahi>fah, risa>lah dan ajza’.[4]
B.   Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang di atas, maka pemakalah mencoba mengambil rumusan masalah yang meliputi beberapa hal sebagai berikut:
a.    Bagaimana sejarah pembukuan hadis priode mutaqaddimin?
b.    Apa saja yang berhubungan dengan kodifikasi hadis priode mutakhkhirin?
c.    Bagaimana perkembangan hadis dipandang dari segi penelitian hadis di zaman kontemporer?



BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pembukuan hadis priode mutaqaddimin
Sebagaimana yang diketahui bahwa penulisan hadis pada masa Rasulullah dilarang karena di khawatirkan hadis akan bercampur dengan al-Qur’an sehingga para sahabat yang mendapat hadis dari Rasulullah tidak menulisnya tetapi mereka tetap menjaganya dengan hafalan mereka dan tidak ada kekhawatiran pada waktu itu kalau hadis akan hilang karena banyak sahabat yang menghafal hadis. Hingga pada akhir abad pertama Hijriah, hadis-hadis itu berpindah dari mulut ke mulut, masing-masing perawi meriwayatkan hadis bedasarkan kepada kekuatan hafalan mereka.
Pada masa itu mereka belum mempunyai motif-motif yang menggerakkan mereka untuk membukukannya. Hafalan mereka terkenal kuat bahkan sejarah mengakui kekuatan hafalan mereka  yaitu para sahabat dan tabi’in[5]. Namun terlepas dari itu semua, ternyata ada di antara para sahabat yang diizinkan oleh Rasulullah Saw. untuk menulis dan membukukan hadis tapi bersifat pribadi-pribadi[6], di antaranya seperti izin khusus yang diberikan kepada Abdullah Ibn Amr dan seorang Anshar yang tidak mampu menghafal suatu hadis.[7]
Pada awal abad ke II H, seorang yang dinobatkan sebagai khalifah dari dinasti Amawiyah yang terkenal adil dan wara’ yakni Umar ibn Abdil Azis pada tahun 99 H, tergerak hatinya untuk membukukan hadis. Beliau sadar bahwa para perawi yang membendaharakan hadis atau yang menghafal hadis, kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila hadis tidak segera dibukukan dan dikumpulkan kedalam buku-buku, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap dari permukaan bumi dibawah bersama oleh para penghafalnya ke alam barzakh. Jadi bisa disimpulkan bahwa yang menjadi alasan-alasan pendorong, sehingga Umar ibn Abdil Azis melakukan pengumpulan dan pembukuan hadis adalah:
1.    Tidak adanya larangan pembukuan, sedangkan al-Qur’an telah dihafal ribuan orang, dan telah dikumpulkan dan dibukukan pada masa Utsman, sehingga dapat dibedakan secara jelas antara Al-Qur’an dengan Hadis dan tidak ada kemungkinan untuk tercampur antara keduanya.
2.    Khawatir akan hilangnya hadis karena ingatan kuat yang menjadi kelebihan orang Arab semakin melemah, sedangkan para ulama telah menyebar dibeberapa penjuru negeri Islam setelah terjadi perluasan wilayah kekuasaannya, dan masing-masing dari mereka mempunyai ilmu, maka diperlukan pembukuan hadis Rasulullah untuk menjaga agar tidak hilang.
3.    Munculnya pemalsuan hadis akibat perselisihan politik dan mazhab setelah terjadinya fitnah dan terpecahnya kaum muslimin menjadi pegikut Ali dan pengikut Mu’awiyah, dan Khawarij yang keluar dari keduanya.[8]
Untuk mewujudkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H khalifah meminta pada Gubernur Madinah, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm yang menjadi guru Ma’mar, Al Laits, Al Auza’y, Malik, Ibn Ishaq dan Ibnu Abi Dzi’bin, supaya membukukan hadis Rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, seperti: Amrah bint Abd Al Rahman ibn Sa’ad ibn Zurarah ibn ‘Ades (seorang ahli fiqh, murid ’Aisyah ra.) dan yang ada pada Al Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr Ash Shiddieq (seorang pemuka tabi’y dan salah seorang fuqaha Madinah)[9].
Di samping itu, ada beberapa ulama yang juga membukukan hadis atas perintah Khalifah. Salah satu diantara mereka adalah seorang ulama besar yang bernama Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab Az Zuhry seorang tabi’ in yang ahli dalam urusan fiqih dan hadis. Beliau guru Ma’mar, Al Laits, Al Auza’y, Malik, Ibn Ishaq dan Ibnu Abi Dzi’bin. Inilah ulama besar yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran atau perintah Khalifah.
Kitab hadis yang ditulis oleh Ibnu Hazm merupakan kitab hadis pertama yang ditulis atas perintah Khalifah[10]. Namun, kitab itu belum sempurna karena upaya pengumpulan hadis belum menyeluruh disebabkan oleh wafatnya Khalifah yaitu Umar bin Abdul Azis sebelum Ibn Hazm mengirimkan hasil pembukuan hadis kepadanya[11]. Kemudian kitab tersebut tidak sampai kepada kita karena disebabkan tidak terpelihara dengan semestinya, kitab itu juga tidak menampung seluruh hadis yang ada di Madinah[12].
Adapun upaya pembukuan hadis yang sebenarnya dan menyeluruh dilakukan oleh Imam Muhammad bin Syihab Az Zuhry,  yang menyambut seruan Khalifah Umar bin Abdul Azis dengan tulus yang didasari karena kecintaan pada hadis Rasulullah dan keinginannya untuk melakukan pengumpulan[13]. Beliau jugalah yang mebukukan seluruh hadis yang ada di Madinah. Upaya yang menyeluruh ini menjadi permulaan bagi para penyusun hadis berikutnya yang tersebar di berbagai negeri.
Namun sayangnya kita tidak mengetahui keberadaan kitab yang ditulis oleh Az Zuhry dan Ibnu Juraij sekarang ini. Kitab yang paling tua yang ada di tangan ummat islam dewasa ini ialah kitab Al Muwathta’, karangan Imam Malik ra. yang penyusunannya diperintahkan oleh Khalifah Al Mansur ketika beliau berangkat untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 143 H /144 H.[14]
Abad ke II H adalah priode dimana para ulama hadis haus akan hadis Rasulullah sehingga banyak di antara mereka yang rela untuk meninggalkan kesenangan duniawi, rela untuk berjalan jauh ke negeri seberang, bahkan sampai rela menghabiskan hidupnya hanya dengan mencari hadis dan membukukan hadis-hadis yang telah didapatkan, ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang sampai sekarang jasanya tak terbalaskan, di antara kitab-kitab yang telah mereka susun  tersebut adalah:
1.    Al–Muwaththa’ oleh Imam Malik Anas ( 93 – 179 H ). Selama rentang waktu ini, sejumlah buku hadîts telah disusunnya. Kitab ini memiliki kedudukan tersendiri pada periode ini. Buku ini ditulis antara tahun 130 H sampai 141H. Buku ini memiliki kurang lebih 1.720 hadits, dimana :
·         600 hadîtsnya marfu’ (terangkat sampai kepada Nabi SAW ).
·         222 hadîtsnya mursal (adanya perawi sahabat yang digugurkan)
·         617 hadîtsnya mauquf (terhenti ampai kepada tâbi ’în)
·         275 sisanya adalah ucapan tâbi ’in.
2.    Al-Musnad oleh Imam Abu Hanifah an-Nu’man ( wafat 150 H ).
3.    Al-Musnad oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi’I ( 150 – 204 H ).
4.    Mukhtaliful Hadits oleh Muh, bin Idris asy-Syafi’I ( 150 – 204 H ).
5.    Al-Musnad oleh Imam Ali Ridha al-Katsin ( 148 – 203 H ).
6.    Al-Jami’ oleh Abdulrazaq al-Hamam ash Shan’ani ( wafat 311 H ).
7.    Mushannaf oleh Imam Syu’bah bin Jajaj ( 80 – 180 H ).
8.    Mushannaf oleh Imam Laits bin Sa’ad ( 94 – 175 H ).
9.    Mushannaf oleh Imam Sufyan bin ‘Uyaina ( 107 – 190 H ).
10. Al Mushannaf oleh Imam Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza’i ( wafat 150 H ).
Dan masih banyak lagi yang lain. Akan tetapi yang masyhur dalam kalangan hadis cuma beberapa yang kami paparkan di atas.[15]

B.   Kodifikasi hadis periode Mutaakhirin
Para ahli abad ke-dua tidak mengasingkan hadis dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Keadaan ini diperbaiki oleh ahli abad yang ke-tiga. Ahli abad ke-tiga ketika mereka bangkit mengumpulkan hadis, mereka mengasingkan hadis dari fatwa-fatwa itu. Mereka membukukan hadis saja dalam buku-buku hadis. Akan tetapi satu kekurangan pula yang harus diakui mereka tidak memisah-misahkan hadis. Yakni mereka mencampur adukkan antara hadis shahih, hasan, dan hadis dhaif. Segala hadis yang mereka terima mereka bukukan dengan tidak menerangkan keshahihan, kehasanan, dan kedhaifannya. Lantaran itu tak dapatlah orang yang kurang ahli mengambil hadis-hadis yang tertulis didalamnya.
Dapat kita katakan bahwa besar kemungkinan shahifah Abu Bakar ibn Hazm membukukan hadis saja mengingat perkataan Umar kepadanya: “jangan anda terimah melainkan hadis Rasulullah saw.”[16]
Maka yang mula-mula yang mengumpulkan hadis yang hanya mengenai sesuatu sebab saja ialah Asy Sya’bi. Beliau telah mengmpulkan hadis-hadis tentang thalaq. Beliau adalah seorang imam yang terkemuka dalam permulaan abad ke-dua. Dan mereka menyusun secara musnad mula-mula adalah
1.    Abdullah ibn Musa Al ‘Abasy Al Kufy
2.    Musaddad ibn Musarhad Al Bashry
3.    Asad ibn Musa Al Amawy
4.    Nu’aim ibn Hammad Al Khuza’y
5.    Ahmad ibn Hanbal
6.    Ishaq ibn Rahawaih
7.    ‘Usman ibn Abi Syaibah
Dalam abad ke-tiga Hijriah ini memuncaklah usaha pembukuan hadis.
Sesudah kitab-kitab ibnu Juraij, Muwaththa’ Malik tersebar di masyarakat serta disambut dengan gembira, hiduplah kemauan menghafal hadis, mengumpul dan membukukannya, dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mecari hadis. Kian hari kian bertambah maju.
Mula-mulanya kebanyakan ulama islam mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di kota mereka masing-masing. Sebagian kecil saja di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan hadis.
Keadaan ini dipecahkan oleh Al Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qaisariyah, ‘Asqalan, dan Himmash.
Ringkasnya, beliau membuat langkah mengumpulkan hadis-hadis yang tersebar di berbagai daerah. 16 tahun lamanya terus menerus Al Bukhari menjelajah untuk menyiapkan kitab shahihya[17].
Pada mula-mula dahulu ulama-ulama islam menerima hadis dari para perawi lalu menulis ke dalam bukunya, dengan tidak mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan shahih tidaknya.
Musuh yang berkedok dan berselimut islam melihat kegiatan-kegiatan ulama hadis dalam mengumpulkan hadis. Maka mereka pun menambah kegiatannya untuk mengacau balaukan hadis yaitu dengan menambah-nambah lafalnya, atau membuat hadis maudhu’.
Melihat kesungguhan musuh-musuh islam dan menyadari akibat-akibat dari perbuatan mereka, maka bersungguh-sunggulah para ulama hadis untuk :
a.    Membahas keadaan rawi dari berbagai segi, diantaranya keadilan, tempat tinggalnya, masa dan lain-lain.
b.    Memisahkan hadis-hadis shahih dari yang dhaif dengan cara mentashih hadis.
Pembahasan mengenai diri pribadi perawi mewujudkan
1.    Kaidah-kaidah tahdis
2.    Illat-illat hadis
3.    Terjemah perawi-perawi hadis
Ringkasnya, lahirlah tunas ilmu dirayah yang banyak macamnya disamping ilmu riwayah. Pentashihan dan penyaringan hadis atau memisahkan yang shahih dari yang dhaif baik yang mengenai perawi riwayat, tahammul dan ada’, melahirkan kitab-kitab shahih dan kitab-kitab sunan[18].
Untuk menyaring hadis-hadis serta membedakan antara hadis yang shahih, hadis yang palsu, dan hadis yang lemah muncullah seorang imam hadis yang besar, Ishaq ibn Rahawaih, memulai usaha-usaha memisahkan hadis-hadis yang shahih dan yang tidak.
Pekerjaan yang mulia ini, kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-256 H). Al Bukhari menyusun kitab-kitab yang terkenal dengan nama al Jami’ as Shahih didalamnya beliau bukukan hadis-hadis yang dianggap shahih saja kemudian usaha Al Bukhari tersebut ternyata diikuti oleh muridnya yang sangat alim yaitu Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Qusairi (204-261 H).[19]
Maka dengan jerih payah kedua sarjana besar ini didapatilah hadis-hadis yang bebas dari kedhaifan bahkan palsu[20]. Setelah shahih Bukhari dan shahih Muslim tersusun lahirlah ulama-ulama lain yang mengikuti langkah mereka seperti Abu Daud Sualaiman bin al-Asy’ats al-Sjistani (202-375 H), Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At Tirmidzi (w. 279 H), dan Ahmad bin Syu’aib al-Khurasani Al-Nasa’i (215-303 H)[21]  maka masing-masing beliau ingin menyusun sunannya.
Itulah yang kemudian yang dikenal di kalangan ulama hadis dengan Al Ushulul Al Khamsah. Disamping itu pula ada seorang ulama yang bernama Abdullah bin Majah al-Qazwini (207-274 H)[22] yang terkenal dengan laqab Ibnu Majah menyusun sunan bahkan sebagian ulama menggolongkan sunan tersebut dalam kitab-kitab induk sehingga terkenallah dengan Kutubu Sittah yaitu shahih al Bukhari, shahih Muslim, sunan Abu Daud, sunan At Turmidzi, sunan An Nasa’i.[23]
C.   Penelitian hadis priode kontemporer
Tak dapat disangkal lagi bahwa perkembangan ilmu hadis semakin pesat seiring dengan bertambahnya manusia-manusia bejat yang ingin mengotori sunnah-sunnah Nabi Saw. dengan membuat-buat hadis-hadis palsu demi mengunggulkan bahkan membela kelompok s
endiri, ini semua dilakukan agar kelompoknya dapat diterima di kalangan masyarakat. Adapula yang membuat-buat hadis demi kepentingan politik dan popularitas semata. Namun sebenarnya, itu semua tidak akan dibawa mati.
Dengan alasan itulah para pemimpin umat dalam hal ini ulama bahkan kita sebagai umat muslim apalagi penuntut ilmu, sangat berperan penting dalam pemberantasan hadis-hadis palsu dengan meneliti keshahihan hadis tersebut baik ditinjau dari sanad, matan maupun perawinya, tentunya harus dengan ilmu yang memadai, minimal menguasai ulumul hadis. Perhatian yang mendalam kepada hadis nabawi sangat dibutuhkan, oleh karena itu pada zaman kontemporer ini lahirlah ulama-ulama yang memberikan perhatian lebih terhadap perkembangan hadis.
Kaum muslimin memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hadis Nabawi. Mereka sangat bersemangat untuk mengahafal, memindahkan dan menyampaikan sejak masa awal-awal islam. Di samping itu, mereka juga bersemangat untuk menghimpun dan mengkodifikasikannya. Pada pembahasan sebelumnya pemakalah sudah memaparkan bahwa sebagian hadis Nabi Saw. telah dikodifikasikan pada masa beliau, di samping sebagian besarnya dikodifikasikan pada masa sahabat dan masa tabi’in serta masa setelahnya. Hafalan dan tulisan saling menunjang dalam pemeliharaan hadis, seperti halnya perhatian sungguh-sungguh dari kaum muslimin dan ulama’ khususnya dalam rangka membela dan menjaganya. Selanjutnya, seputar hadis Rasul Saw. itu tumbuh bemacam-macam ilmu yang belum pernah dimiliki oleh ilmu atau koleksi manapun. Misalnya ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hadis dan ilmu-ilmu lain yang mengabdi kepada as Sunnah an-Nabawiyah dan menjelaskannya. Sehingga terbedakanlah yang shahih dan yang dhaif, yang utuh dari yang cacat, yang diterima dan yang ditolak, yang marfu’ dari yang mauquf dan yang selundupan dari yang asli.
Penghimpunan dan periwayatan hadis tidak bersifat konvensional, tetapi dihimpun dan diriwayatkan -melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya- berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadis tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat rumit yang ditetapkan oleh ulama dan mereka jelaskan didalam buku-buku ushulul hadis.
Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan dengan hadis Rasulullah, kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai ada diantara mereka yang mengatakan : ilmu-ilmu hadis itu telah matang sampai terbakar, karena banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama[24].
Syarat-syarat tersebut telah ada pada periode abad ke-dua Hijriah pada masa setelah lahirnya 6 kitab induk yang terkenal (Kutubus Sittah) oleh orang-orang yang hidup sesudah masa riwayat. Mereka mengadakan koreksi memberikan komentar dan meringkas kitab-kitab shahih yang terkenal. Misalnya Abu Abdillah al-Humaidi (448 H) berhasil menghimpun kedua kitab shahih menurut tertib kitab musnad. Abdu Sa’dah Mubarak bin al-Atsir (606 H) mengumpulkan Kitab Enam dengan menertibkan bab-bab. Nuruddin Ali al-Haitsami (807 H) menghimpun tambahan Kitab Enam dengan (Kutubu Sittah), yakni karangan-karangan terkenal dalam Majma’ az-Zawa’id. Terakhir As Suyuthi (911 H) mengumpulkan Kitab Enam dan berbagai kitab Musnad Sepuluh dan lain-lain yang jumlahnya lebih dari 50 karangan, dalam sebuah karya yang diberi nama Al Jami’ Al Kabir[25].


BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
·         Beberapa hadis telah dikodifikasikan sejak masa Nabi Saw., masa sahabat dan tabi’in. dan sebagiannya sampai kepada kita melalui musnad dan kitab shahih, dan sebagian lain secara terpisah. Shahifah yang paling populer adalah shahifah yang dikodifikasikan berdasarkan perintah Rasulullah Saw. untuk menulisnya.
·         Banyaknya kitab dan karya dalam bidang hadis pada awal abad kedua Hijriah.
·         Usaha Amir Mesir dalam menghimpun hadis pada akhir-akhir abad pertama Hijriah menunjukkan perhatian para penguasa terhadap hadis, semangat mereka memeliharanya dan usaha resmi dari pemerintah untuk menghimpun sunnah, seperempat abad sebelum masa yang dikenal dengan masa kodifikasi resmi.
·         Pentadwinan hadis secara resmi dilakukan pada abad kedua yaitu pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz.
·         Pada abad kedua ini yang pertama menyusun dalam bentuk buku adalah Syihab Az-Zuhry. Kemudian pada masa ini juga lahirlah seorang ulama hadis sekaligus ulama fiqh pada masa itu yaitu Malik bin Anas dengan kitab Muwaththa’nya yang kita kenal dan masih kita pakai sebagai salah satu referensi dalam mempelajari hadis Nabi Saw. sampai sekarang.
·         Yang pertama kali membukukan hadis dengan mengumpulkan semua hadis shahih dalm satu kitab adalah Muhammad bin Ismail al Bukhari dan kemudian jejaknya diikuti oleh muridnya yang dikenal dengan Imam Muslim.
·         Pada abad ketiga, hadis telah berkembang dan menyebar di seluruh penjuru dunia, sehingga mengakibatkan terjadinya penyimpangan terhadap hadis demi kepentingan politik dan kepopuleran sehingga para ulama era kontemporer memberikan perhatian yang lebih terhadap hadis dan dengan segala bidang keilmuan yang berhubungan dengan itu.




DAFTAR PUSTAKA
Al-Kha>tib, M. ‘Ajaj. Al-Sunnah Qabla al-Tadwi>n.  Terj. AH. Akrom Fahmi,  Hadits Nabi Sebelum Dibukukan.  Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Al-Kha>tib, M. ‘Ajaj. Us}u>l al-H{adi>s\. Terj. Drs. H.M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, S.Ag.,  Pokok-Pokok Ilmu Hadits. Cet. 4; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Al-Qat}t}a>n, Syai>kh Manna>'. Maba>h}is\ Fiy ‘Ulu>m al-H{a>di>s\. Terj. Mifdhol Abdurrahman, Lc, Pengantar Studi Ilmu Hadits. Cet. 4; Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2009.
Ash-Shalih, DR. Subhi, ‘Ulu>m al-Hadi>s\ wa Mus}t}a>huhu>. Terj. Tim PUSTAKA FIRDAUS, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Cet. 8; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.
Ash Shiddieqy, Hasbi. Sejarah Dan Pengantar llmu Hadits. Cet. 4; Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974.
Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Studi Kitab Hadis. Yogyakarta: Teras, 2003.




[1]  Syeikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi ilmu hadits, h. 51
[2] DR. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib,  Ushulul Hadis,  (diterjemahkan oleh Drs. H.M. Qodirun Nur) h. 151
[3] Ibid.
[4] Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Hadis, (penerbit Teras, Yogyakarta, 2003),  h. viii
[5] Hasbi Ash Shiddiqie, Sejarah dan pengantar ilmu hadis , h. 78
[6] DR. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushulul Hadis,  (diterjemahkan oleh Drs. H.M. Qodirun Nur) h. 131
[7] ibid., h. 169
[8] Syeikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi ilmu hadits,  h. 52
[9] Hasbi Ash Shiddiqie,  Sejarah dan pengantar ilmu hadis,  h. 79
[10]ibid., h. 80
[11] Syeikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi ilmu hadits, h. 52
[12] Hasbi Ash Shiddiqie,  Sejarah dan pengantar ilmu hadis,  h. 80
[13] Syeikh Manna’ Al-Qaththan, pengantar Studi ilmu hadits h. 52-53
[14] Hasbi Ash Shiddiqie,  Sejarah dan pengantar ilmu hadis, h. 81
[15] Hasbi Ash Shiddiqie, Sejarah dan pengantar ilmu hadis,  h. 82-83
[16] ibid., h. 89
[17] Ibid, h. 90
[18] Ibid., h. 91
[19] ibid., h. 92
[20] ibid.
[21] Dr. M. Ajaj al-Khatib, Hadis Nabi Sebelum Dibukukan,  h. 379
[22] ibid.
[23] Hasbi Ash Shiddiqie,  Sejarah dan pengantar ilmu hadis , h. 92
[24] DR. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib,  Ushulul Hadis,  (diterjemahkan oleh Drs. H.M. Qodirun Nur) h. 199
[25] Dr. Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,  h. 60

No comments:

Post a Comment