Friday, January 4, 2013

Etika Dan Tata cara Jual-beli Dalam Islam



Mata Kuliah: Ibadah dan Mamalah
Dosen: Fadhlina Arief  Wangsa, Lc. MA
Jurusan: Tafsir Hadis
Prodi: Ilmu Hadis

Etika Dan Tata cara Jual-beli Dalam Islam



OLEH: KELOMPOK  IV
ABDUL RAHMAN (3070112014)
Ridho al-fathir (30700112024)
Besse ainul Mardiah(3070112021)
Taufik hidayat (3070112023)
Megahawati(307022454)
JURUSAN TAFSIR HADIST
PRODI ILMU HADIST
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR 2012





KATA PENGANTAR
  Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena dengan izin dan ridha-NYA penulis dapat merampungkan tulisan ini.
Selanjutnya shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang telah menata cara hidup bermasyarakat berdasarkan ajaran agama yang benar
            Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang Etika dan tata Cara Jual-beli Dalam Islam. Semoga saja dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan kita tentang Etika dalam Jual-beli sehingga, pemahaman agama,pengendalian diri, pengalaman akhlaqul-karimah dan pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku (pelaksana) muamalah itu.
            Kami menyadari di dalam pembuatan makalah ini, masih terdapat banyak kesalahan. Maka dari itu kami sangat mengharapkan saran serta kritik dari pembaca.


                                                                        Makassar, September 2012

                                                                                                                                                                                                                                                                           Penulis         

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB 1 : PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
B.   Rumusan Masalah
C.   Tujuan Penulisan
BAB 2 : PEMBAHASAN
A.   Pengertian Jual-beli dan Hukumnya
B.   Rukun Jual-beli
1.    Sighat
2.    'Aqid
3. Ma'qud alaih






BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Islam memang menghalalkan usaha perdagangan, perniagaan dan atau jual beli. Namun tentu saja untuk orang yang menjalankan usaha perdagangan secara Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus, ada aturan mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di bidang perdagangan agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan akhirat.
Aturan main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai etika yang harus dilakukan oleh para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan dengan menggunakan dan mematuhi etika perdagangan Islam tersebut, suatu usaha perdagangan dan seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu mendapat berkah Allah SWT di dunia dan di akhirat. Etika perdagangan Islam menjamin, baik pedagang maupun pembeli, masing-masing akan saling mendapat keuntungan

B.   Rumusan Masalah
 Bertitik tolak pada hal tersebut, maka penulis akan menyajikan beberapa rumusan masalah antara lain :
a.    Apakah pengertian jual beli dan Hukumnya?
b.    Apakah rukun dan syarat jual beli ?
c.    Menjelaskan bagaimana tata cara dan ahlak dalam jual beli !
C.   Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas, maka adapun tujuan penulisan antara lain :
a.    Untuk mengetahui pengertian jual beli dan hukumnya.
b.    Untuk mengetahui rukun dan syarat jual-beli.
c.    Dan bagaimana akhlak kita dalam menjalankan jual beli
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Jual-beli dan Hukumnya
Secara etimologi ( bahasa) jual-beli (البيع) bermakna :  مَقَا بَلَةُ شَسئ بشئ  artinya, menukar sesuatu dengan sesuatu , atau  بل السلعة بلتقدمتا ) menukar barang dengan uang )[1] .
Secara terminology, terdapat beberapa definisi,diantaranya :
Oleh ulama Hanafiah didefinisikan dengan :
مُبَا دَ لَةُ مَا لٍ بِمَا لٍ عَلَى وَ جهِ مَخصُو صٍ
Saling menukarkan harta dengan harta melalui cara tertentu, atau
مُبَا دَ لَةُ شَئٍ مَر غُو بٍ  فِيهِ عَلَي  وَ جهٍ  مُفِيدٍ مَحصُو صٍ
Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
Unsur-unsur definisi yang dikemukakan Ulama Hanafiah tersebut adalah bahwa yang dimaksud dengan cara yang khusus adalah ijab dan Kabul atau juga biasa melalui saling memberikan barang dan menetapkan harga antara penjual dan pembeli. Selain itu harta yang diperjualbelikan itu harus bermanfaat bagi manusia, seperti menjual bangkai minuman keras dan darah tidak dibenarkan.
            Dalam definisi di atas ditekankan kepada “Hak milik dan pemilikan”, sebab ada tukar-menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki seperti sewa-menyewa. Kemudian dalam kaitannya dengan harta terdapat pula perbedaan pendapat antara Mazhab Hanafi dan jumhur Ulama.
            Menurut jumhur Ulama yang dimaksud harta adalah materi dan manfaat. Oleh sebab itu, manfaat dari suatu benda boleh diperjualbelikan. Sedangkan Ulama Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan harta (Al- maal) adalah sesuatu yang mempunyai nilai. Oleh sebab itu manfaat dan hak-hak, tidak dapat dijadikan objek jual-beli.
            Pada masyarakat primitif, jual-beli biasanya dilakukan dengan tukar-menukar barang (harta), tidak dengan uang seperti yang berlaku dalam masyarakat pada umumnya. Mereka umpamanya, menukarkan rotan (hasil hutan) dengan pakaian,garam,dan sebagainya yang menjdi keperluan pokok mereka sehari-hari. Mereka belum menggunakan alat tukar seperti uang. Namun, pada saat ini orang yang tinggal di pedalaman, sudah mengenal mata uang sebagai alat tukar.
            Tukar- menukar barang seperti yang berlaku pada zaman primitive, pada zaman modern ini pun kenyataannya dilakukan oleh suatu Negara dengan Negara lain, yaitu dengan system barter (  يَدَ ةُالمُقَا  (. Umpamanya, gandum atau beras dari luar negeri  ditukar dengan kopi atau lada dari Indonesia dalam yang sangat besar[2].

Hukumnya
Jual-beli sebagai sarana tolong-menolong antara sesama manusia mempunyai landasan yang amat kuat dalam islam.
Dalam al-Quran Allah berfirman:
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur الرِّ بَا.............................( البقرة : ۲۷۵ [3] )
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan yang riba  (Al-Baqarah : 275)
Para ulama fiqih mengambil kesimpulan bahwa jual-beli itu hukumnya mubah ( boleh ), sebagaimana yang sudah diketahui dalam islam. Namun, menurut imam Asy-Syatibi ( ahli fiqih Mazhab Imam Maliki ), hukumnya bias berubah menjadi wajib ketika dalam keadaan tertentu atau dalam keadaan terpaksa. Misalnya, seseorang wajib membeli sesuatu untuk sekedar menyelamatkan jiwa dari kebinasaan dan kehancuran, dan haram tidak membeli sesuatu yang dapat menyelamatkan jiwa disaat darurat.
            Terkadang jual-beli itu hukumnya mandub ( sunnah ), misalnya seseorang bersumpah akan menjual barang yang tidak membahayakan bila dijual. Dalam keadaan demikian dia disunnahkan melaksanakan sumpahnya. Kadang-kadang juga hukumnya makruh, seperti menjual barang yang dimakruhkan menjualnya. Dan terkadang juga hukumnya haram, seperi menjual barang yang haram dijual.

B.   Rukun dan Syarat Jual-beli
“Rukun” dalam jual beli adalah sesuatu yang menjadi “gantungan” adanya perkara lain, meskipun sesuatu itu tidak termasuk didalamnya. Rukun (unsur) adalah sesuatu yang hakiki, yang pada asalnya adalah masuk ke dalam sesuatu. Asal dari bai’ adalah sighat. Apabila tiada shighat, tentu kedua orang yang mengadakan akad tidak disebut bai’ (penjual) dan musytari (pembeli).
Rukun jual beli ada enam, yaitu:
a.    Shighat (ucapan akad).
b.    ‘Aqid (orang yang melakukan akad).
c.    Ma’qud alaih (barang yang diadakan).
Ketiga rukun tersebut, masing-masing dibagi menjadi dua, sehingga menjadi enam, yaitu:
a.    Shighat, yaitu:
1)    Ijab
2)    Qabul
b.    ‘Aqid, yaitu:
1)    Penjual dan
2)    Pembeli
c.    Ma’qud alaihi, yaitu:
1)    Uang (alat / harga untuk membeli
2)    Barang yang dijual

a)    Rukun Pertama: Shighat
       Shighat dalam jual beli adalah segala sesuatu yang menunjukkan adanya kerelaan dari dua belah pihak; penjual dan pembeli. Shighat terdiri dari dua perkara, yaitu:
1)    Perkataan dan apa yang dapat menggantikannya, seperti seorang utusan atau sebuah surat. Apabila seseorang mengirim surat kepada orang yang lain
Dan dia berkat dalam suratnya: “Sesungguhnya saya jual rumahku kepadamu dengan harga sekian” , atau dia mengutus seorang utusan kepada temannya, kemudian temannya menerima jual beli ini dalam majelis, maka sahlah akad tersebut. Tidak diampuni baginya berpisah kecuali sesuatu yang di ampuni dalam ucapan ketika hadirnya barang yang dijual.
2)    Serah terima, yaitu menerima dan menyerahkan dengan tanpa disertai sesuatu perkataanpun. Misalnya, seseorang membeli sesuatu barang yang harganya sudah dimaklumi, kemudian ia menerimanya dari penjual dan menyerahkan harganya kepadanya, maka dia sudah dinyatakan memiliki barang tersebut lantaran telah menerimanya. Sama halnya barang yang dijual itu sedikit (biaya kecil) seperti roti, telur dan yang sejenis yang ia (dibelinya dengan sendiri-sendiri), maupun berupa batang yang banyak (besar) seperti baju yang berharga.
       Adapun perkataan adalah sesuatu lafal yang menunjukkan (mengandung) arti menjadikan sesuatu sebagai miliknya dan memiliki. Misalnya perkataan: (saya menjual) dan (saya membeli). Perkatan yang diucapakan penjual dinamai ijab, dan ucapan pembeli disebut qabul mendahului ijab, misalnya pembeli berkata: “Juallah barang ini kepadaku dengan harga sekian”.
       Pelaksanaan ijab dan qabul harus memenuhi beberapa syarat, antara lain:
a.    Hendaknya ijab sesuai dengan qabul, baik dalam harga yang ditetapakn,sifat,mata uang,maupun batas waktu.
b.    Ijab dan qabul diucapkan penjual dan pembeli dalam satu majlis. Apabila dari salah satu mereka (penjual) berkata: “Saya jual kepadamu ini barang dengan harga seribu” , kemudian mereka (penjual dan pembeli) berpisah sebelum yang lain (pembeli) menerimanya, maka akad jual belinya tidak sah.
c.    Antara ijab dan qabul harus bersambung: tidak terpisah oleh sesuatu yang menunjukkan berpaling  dari akad jual beli. Adapun jika ada pemisah yang sebentar; yang sekiranya tidak memalingkan dari jalannya ijab dan qabul menurut adat istiadat, maka hal tersebut tidaklah membahayakan.
b)   Rukun kedua : ‘Aqaid.
      Aqid, yaitu orang yang melakukan akad, baik penjual maupun pembeli. Ada beberapa syarat  menyangkut ‘aqaid, antara lain:
1.    Hendaknya penjual dan pembeli tamyiz, sehingga tidak sah jual belinya anak-anak yang belum tamyiz,demikian pula jual belinya orang gila. Anak-anak yang sudah tamyiz dan orang idiot, yaitu sudah mengerti jual beli dan akibatnya, dapat menangkap maksud dari pembicaraan orang yang berakal penuh serta dapat menjawabnya dengan baik, maka akad jual mereka maka akad beli mereka sah, tetapi tidak dapat dilaksanakan kecuali ada izin khusus dari walinya. Apabila seorang anak yang sudah tamyiz membeli suatu barang yang sudah mendapat izin dari walinya, maka jual beli tersebut sah dan harus dilaksanakan. Walinya tidak punya hak untuk menolaknya.
2.    Hendaknya si ‘aqid itu orang yang sudah pandai (rasyidan), yaitu orang yang mengerti tentang ketentuan hitungan. Ini adalah syarat sahnya jual beli. Maka tidak sah jual belinya anak kecil, baik yang sudah tamyiz maupun yang belum; tidak sah pula jual belinya orang gila, orang idiot (ma’tuh) dan pemboros luar biasa, hingga tidak dapat memegang uang dan tidak mengenal hitung (safih).
3.    Hendaknya si ‘aqid dalam keadaan tidak di paksa (mukhtar). Tidak sah jual belinya orang yang dipaksa, karena firman Allah swt. Dalam Q.S. An-Nisa’ (4):29

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ [4]
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
        Dan sabda Rasulullah saw :
اِ نَّمَا البَيعُ عَن تَرَ ا ضٍ (رواه ابن حبا ن)  

         Artinya:
Bahwasanya jual beli itu sah atas dasar kerelaan (suka sama suka). (HR. Ibnu Hibbaan)

c)    Rukun ketiga : Ma’qud Alaih
       Ma’qud Alaih (yang diakadkan), baik menyangkut  benda yang dijual maupun alat untuk membelinya (uang), harus memenuhi bebrapa syarat, antara lain:
1.    Suci. Tidak sah ma’qud  alaih berupa barang najis, baik benda yang dijual maupun alat untuk  membeli (uang). Apabila orang menjual benda najis atau yang kena najis yang tak dapat disucikan, maka tidak sah jual belinya. Demikian juga tidak sah alat membeli (uang) yang najis atau terkena najis yang tak dapat disucikan.
2.    Dapat diambil manfaatnya dan dibenarkan oleh syarah.tidak sah memperjual belikan binatang, misalnya serangga yang tidak ada manfaatnya.
3.    Pada saat akad jual beli benda yang dijual adalah milik si penjual, sehingga tidak sah memperjual belikan barang yang bukan miliknya. Kecuali akad salam (pesanan) sah karena memperjualbelikan barang yang akan dimiliki kemudian.
4.    Dapat diserahterimakan. Tidak sah memperjualbelikan barang yang dighasab, karena meskipun barang yang dighasab itu miliknya, namun ia tidak dapat menyerahkan lantaran masih di tangan orang yang ghasab. Kecuali apabila si pembeli mampu mengambil secara paksa dari orang yang ghasab. Tidak sah juga bila barang yang digashab itu dijual oleh si ghasib (orang yang ghasab), karena barang itu bukan miliknya. Memperjualbelikan  barang yang dighasab telah ditafsil dalam beberapa mazhab.
5.    Benda yang dijual dapat diketahui dan uangnya juga telah diketahui, sehingga terhindar dari persengketaan. Memperjualbelikan benda yang tidak terang; tidak dapat diketahui dengan jelas keadaannya yang menimbulkan percekcokan adalah tidak sah.
6.    Akad jual beli itu tidak dibatasi waktunya. Misalnya, si penjual berkata kepada si pembeli: “Aku jual kepadamu unta ini selama satu tahun dengan harga sekian[5].
C.   Jenis-jenis Jual Beli Yang  Dilarang
     Rasulullah saw. Melarang sejumlah jual beli, karena didalamnya terdapat gharar yang membuat manusia memakan harta orang lain dengan batil dan didalamnya terdapat unsur penipuan yang menimbulkan dengki, konflik, dan permusuhan di antara kaum muslimin.
1.  Menjual di atas jualan saudaranya
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَبِعِ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ
Janganlah seseorang menjual di atas jualan saudaranya. Janganlah pula seseorang khitbah (melamar) di atas khitbah saudaranya kecuali jika ia mendapat izin akan hal itu” (HR. Muslim no. 1412)
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ
Janganlah seseorang di antara kalian menjual di atas jualan saudaranya” (HR. Bukhari[6])
2.    Jual beli najesy
Yang dimaksud adalah seseorang sengaja membuat harga barang naik padahal ia tidak bermaksud membeli dan dia mendorong yang lain untuk membelinya, akhirnya pun membeli atau ia memuji barang yang dijual sehingga orang lain membeli padahal tidak sesuai kenyataan.
Dalil terlarangnya jual beli semacam ini disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَبْتَاعُ الْمَرْءُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ ، وَلاَ تَنَاجَشُوا ، وَلاَ يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ
Janganlah seseorang menjual di atas jualan saudaranya, janganlah melakukan najesy dan janganlah orang kota menjadi calo untuk menjualkan barang orang desa” (HR. Bukhari[7])
Najesy berdasarkan hadits di atas dihukumi haram, demikian pendapat jumhur. Namun jumhur (mayoritas) ulama memandang bahwa jual beli najesy tetap sah karena najesy dilakukan oleh orang yang ingin menaikkan harga barang –namun tidak bermaksud untuk membeli- sehingga tidak mempengaruhi rusaknya akad[8].
Ulama Hambali berpendapat bahwa jika dalam jual beli najesy terdapat ghoban (beda harga yang amat jauh dengan harga normal), maka pembeli punya hak khiyar (pilihan) untuk membatalkan jual beli[9].
Sedangkan jual beli pada sistem lelang (dikenal dengan istilah “muzayadah”), itu dibolehkan. Jual beli lelang setiap yang menawar ingin membeli, beda halnya dengan najesy yang cenderung merugikan pihak lain karena tidak punya niatan untuk membeli.
3.    Talaqqil jalab atau talaqqi rukban
Yang dimaksud dengan jalab adalah barang yang diimpor dari tempat lain. Sedangkan rukban yang dimaksud adalah pedagang dengan menaiki tunggangan. Adapun yang dimaksud talaqqil jalab atau talaqqi rukban adalah sebagian pedagang menyongsong kedatangan barang dari tempat lain dari orang yang ingin berjualan di negerinya, lalu ia menawarkan harga yang lebih rendah atau jauh dari harga di pasar sehingga barang para pedagang luar itu dibeli sebelum masuk ke pasar dan sebelum mereka mengetahui harga sebenarnya.
Jual beli seperti ini diharamkan menurut jumhur (mayoritas ulama) karena adanya pengelabuan.
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُتَلَقَّى الْجَلَبُ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari talaqqil jalab” (HR. Muslim[10])
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata,

كُنَّا نَتَلَقَّى الرُّكْبَانَ فَنَشْتَرِى مِنْهُمُ الطَّعَامَ ، فَنَهَانَا النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى يُبْلَغَ بِهِ سُوقُ الطَّعَامِ
Dulu kami pernah menyambut para pedagang dari luar, lalu kami membeli makanan milik mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas melarang kami untuk melakukan jual beli semacam itu dan membiarkan mereka sampai di pasar makanan dan berjualan di sana” (HR. Bukhari[11])
Jika orang luar yang diberi barangnya sebelum masuk pasar dan ia ketahui bahwasanya ia menderita kerugian besar karena harga yang ditawarkan jauh dengan harga normal jika ia berjualan di pasar itu sendiri, maka ia punya hak khiyar untuk membatalkan jual beli (Lihat Syarh ‘Umdatul Fiqh, 2: 805). Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَلَقَّوُا الْجَلَبَ.فَمَنْ تَلَقَّاهُ فَاشْتَرَى مِنْهُ فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ
Janganlah menyambut para pedagang luar. Barangsiapa yang menyambutnya lalu membeli barang darinya lantas pedagang luar tersebut masuk pasar (dan tahu ia tertipu dengan penawaran harga yang terlalu rendah), maka ia punya hak khiyar (pilihan untuk membatalkan jual beli)” (HR. Muslim[12])
Jika jual beli semacam ini tidak mengandung dhoror (bahaya) atau tidak ada tindak penipuan atau pengelabuan, maka jual beli tersebut sah-sah saja. Karena hukum itu berkisar antara ada atau tidak adanya ‘illah (sebab pelarangan).


4.    Jual beli pada Azan kedua Hari Jum’at.
Seorang muslim tidak boleh menjual sesuatu atau membeli sesuatu jika azan kedua shalat jum’at telah dikumandangkan dan khatib telah naik mimbar, karena Allah swt. Berfirman dalam Q.S.Al-Jum’ah (62) : 9
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (#râsŒur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ  
 Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475][13]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.


5.    Menimbun Barang
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ
"Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa" (HR. Muslim[14])
Imam Nawawi berkata, "Hikmah terlarangnya menimbun barang karena dapat menimbulkan mudhorot bagi khalayak ramai." (Syarh Shahih Muslim, 11: 43). Artinya di sini jika menimbun barang tidak menyulitkan orang lain maka tidak ada masalah. Seperti misalnya kita membeli hasil panen di saat harga murah. Lalu kita simpan kemudian kita menjualnya lagi beberapa bulan berikutnya ketika harga menarik, maka seperti ini tidak ada masalah karena jual beli memang wajar seperti itu. Jadi, larangan memonopoli atau yang disebut ihtikar, maksudnya ialah membeli barang dengan tujuan untuk mempengaruhi pergerakan pasar. Dengan demikian ia membeli barang dalam jumlah besar, sehingga mengakibatkan stok barang di pasaran menipis atau langka. Akibatnya masyarakat terpaksa memperebutkan barang tersebut dengan cara menaikkan penawaran atau terpaksa membeli dengan harga tersebut karena butuh.
Al Qodhi Iyadh rahimahullah berkata, "Alasan larangan penimbunan adalah untuk menghindarkan segala hal yang menyusahkan umat Islam secara luas. Segala hal yang menyusahkan mereka wajib dicegah. Dengan demikian, bila pembelian suatu barang di suatu negeri menyebabkan harga barang menjadi mahal dan menyusahkan masyarakat luas, maka itu wajib dicegah, demi menjaga kepentingan umat Islam. Pendek kata, kaedah 'menghindarkan segala hal yang menyusahkan' adalah pedoman dalam masalah penimbunan barang." (Ikmalul Mu'lim, 5: 161).
Adapun jika menimbun barang sebagai stok untuk beberapa bulan ke depan seperti yang dilakukan oleh beberapa pihak grosir, maka itu dibolehkan jika tidak memudhorotkan orang banyak (Shahih Fiqh Sunnah, 4: 395).
6.    Jual beli dengan penipuan atau pengelabuan
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ  مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ  قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ  أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى كَىْ يَرَاهُ »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, "Apa ini wahai pemilik makanan?" Sang pemiliknya menjawab, "Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami." (HR. Muslim[15]) Jika dikatakan tidak termasuk golongan kami, maka itu menunjukkan perbuatan tersebut termasuk dosa besar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ.
Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban[16])
Jual beli yang mengandung penipuan ini di antaranya adalah jual beli najesy yang sudah dibahas di atas. Contoh bentuk jual beli ini adalah jual beli yang dilakukan dengan mendiskripsikan barang melalui gambar, audio atau tulisan dan digambarkan seolah-olah barang tersebut memiliki harga yang tinggi dan menarik, padahal ini hanyalah trik untuk mengelabui pembeli. Termasuk pula adalah jual beli dengan menyembunyikan ‘aib barang dan mengatakan barang tersebut bagus dan masih baru, padahal sudah rusak dan sudah sering jatuh berulang kali. Intinya, setiap tindak penipuan dalam jual beli menjadi terlarang.
D.   Hak khiyar (ا لخِيَا ر)
Untuk menjaga jangan sampai terjadi perselisihan antara pembeli dengan penjual, maka syari’at islam memberikan hak khiyar, yaitu hak memilih untuk melangsungkan atau tidak jual beli tersebut, karena ada suatu hal bagi kedua bela pihak. Hak khiyar itu dapat di bagi menjadfi beberapa bagian:
1)    Khiyar Majlis (خِيا رُ المَجلسِ)
Khiyar majlis ialah kedua belah pihak yang melakukan akad mempunyai hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan akad jual-beli selama masih berada dalam satu majlis (tempat) atau took, seperti jual-beli atau sewa menyewa, sebagaimana sabda rasulullah SAW:
اِ ذَا تَبَا يَعَ الرُّ جُلاِ نِ فَلِكُلِّ وَا حِدٍ مِنهُمَا بِلخِيَا رِ مَ لَم يَتَفَرَّ قا.......(رواه البخا ري و مسلم)
“Apabila dua orang melakukan akad jual-beli, maka masing-masing pihak mempunyai hak pilih, selama keduanya belum berpisah badan….(HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut ulama Mazhab syafi’I dan Hambali, masing-masing pihak berhak mempunyai khiyar selama masih berada dalam satu majlis, sekalipun sudah terjadi ijab dan Kabul. Berbeda dengan Mazhab dan Maliki, bahwa suatu akad telah dipandang sempurna, apabila telah terjadi ijab dan Kabul. Ijab dan kabul itu terjadi setelah ada kesepakatan dan saling suka sama suka (lihat Surat An-Nisa’:29 dan Surat Al-maidah:1 yang telah disebutkan terdahulu).
2)    Khiyar Syarath ( الشَر طِخِيا رُ)
Khiyar Syarath ialah yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya , apakah meneruskan atau membatalkan akad itu selama dalam teggang waktu yang disepakati bersama. Umpamanya , pembeli mengatakan: “saya akan membeli barang anda ini dengan ketentuan diberi tenggang waktu selama tiga hari “. Sesudah tiga hari tidak ada berita, berarti akad itu batal.
pada ulama fikih sependapat mengatakan, bahwa khiyar syarat ini di perboleh kan untuk menjaga (memelihara) hak pembeli dari unsur penipuan yang mungkin terjadi dari pihak penjual.
3)      Khiyar ‘Aib (خِيَا رُ العَيبِ)
Khiyar ‘aib ialah ada hak pilih dari kedua belah pihak yang melakukan akad, apabila terdapat suatu cacat pada benda yang diperjualbelikan dan cacat itutidak diketahui pemiliknya pada saat akad berlangsung. Umpamanya , sesorang membeli telur ayam beberapa kilo. Setelah dipecahkan ada yang busuk atau sudah menjadi anak. Dalam kasus seperti ini, ada hak khiyar bagi pembeli, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
المُسلِمُ اَ خُو المُسلِمِ لاَ يَحِلُّ لِمسلِمِ بَا عَ مِن اَ خِيهِ بَيعًا وَ فِيهِ عَيبٌ اِ لاَّ بَيَّنَهُ لَهُ ( رواه ابن ما جه)
“Sesama muslim bersaudara, tidak halal (boleh) bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim yang lain, padahal pada barang itu terdapat cacat (‘aib). “ (HR. Ibnu Majah)
Seorang muslim yang benar, tidak boleh menyembunyikan ‘aib yang ada pada barang yang akan dijualnya. Pihak pembelipun harus cermat memilih barang yang akan dibelinya.

4)    Khiyar Ru’yah (خِيَا رُ الرُ ؤ يَةِ)
Khiyar ru’yah adalah ada hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual-beli yang ia lakukan terhadap suatu obyek yang belum ia lihat pada saat akad berlangsung.
Jumhur Ulama (Hanafiah, Malkiyah, Hanabilah, dan Zahariyah), menyatakan, bahwa khiyar ru’yah disyari’atkan dalam islam, sebagaiman Sabda Rasulullah SAW:
مَن اشَرَ ى شَيعًا لَم يَرَهُ فَهُوَ بِا الخِيَا رِ اِ ذَ رَاه (ر واهالدارقطن)
“Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu. “ (HR. Daru-Qutnhi)
Pembeli dapat menentukan sikapnya pada saat telah melihat barang itu, apakah ia langsungkanakad itu atau tidak (batil).
Tujuan khiyar ini adalah agar jual beli tesebut tidak merugikan salah satu pihak, dan unsur-unsur keadilan serta kerelaan benar-benar tercipta dalam suatu akad (transaksi) jual-beli[17].

E.   Hikmah Jual Beli
Dari uraian makalah diatas  dapat disimpulkan:
1.    Allah swt mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan kepada hamba-hambaNYa, karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama manusia masih hidup. Tidak seorang pun dapat memnuhi hajatnya sendiri, karena itu manusia dituntut untuk berhubungan antara satu sama lainnya. Dalam hubungan ini, tidak ada satu halpun yang lebih sempurna daripada saling tukar seseorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna bagi orang lain sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
2.    Kehidupan menjadi terjamin dan tertib karena masing-masing bangkit untuk menghasilkan sesuatu yang menjadi sarana hidup.
3.    Masing-masing pihak merasa puas. Penjual melepas barang dagangannya dengan ikhlas dan menerima uang, sedangkan pembeli menerima barang dagangan dengan puas pula. Dengan demikian, jual beli juga mampu mendorong untuk saling bantu antara keduanya dalam kebutuhan sehari-hari.
jual beli juga dapat menjauhkan sesorang dari memakan atau memiliki barang yang haram atau dengan cara bathil. Alla swt. Berfirman dalam Q.S. An-Nisa (4):29
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu[18].




BAB III
PENUTUP
A.   KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1.    Oleh ulama Hanafiah jual-beli didefinisikan dengan Saling menukarkan harta dengan harta melalui cara tertentu, atau Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
2.    Rukun jual beli ada enam, yaitu:Shighat (ucapan akad),‘Aqid (orang yang melakukan akad),Ma’qud alaih (barang yang diadakan).Ketiga rukun tersebut, masing-masing dibagi menjadi dua, sehingga menjadi enam, yaitu:Shighat,(Ijab, Qabul)‘Aqid, (Penjual dan Pembeli)Ma’qud alaihi, (Uang dan Barang yang dijual)
3.    Jenis-jenis jual beli yang  dilarang di antaranya : Menjual diatas jualan saudaranya, Jual beli najesy, Talaqqil jalab atau talaqqi rukban, Jual beli pada Azan kedua Hari Jum’at, menimbun barang, dan jual beli dengan cara penipuan
4.    Hak khiyar terbagi menjadi beberapa bagian masing-masing diantaranya khiyar majlis, khiyar ‘aibi, khiyar ru’yah,khiyar syarath



DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Minhajuddin, MA. Hikmah & Filsafat Fikih Mu’amalah Dalam Islam
M.ali hasan, Berbagai macam Transaksi dalam islam (fiqhi Muamalat)
 Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40: 118-119
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemaahannya, Juz I (Cet. VIII; Bandung: Diponegoro, 2008), h.
 Hadist-hadist imam Muslim no. 1515).





[1] Hikmah dan Filsafat Fiqhi Muamalah Dalam islam Hal. 99 (Prof. Dr. H. Minhajuddin, MA)
[2] Berbagai Macam Transaksi dalam Islam Hal.113 (M. ALI HASAN)
[3] Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemaahannya, Juz I (Cet. VIII; Bandung: Diponegoro, 2008), h.

[4] Al-Hikmah: Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemaahannya, Juz I (Cet. VIII; Bandung: Diponegoro, 2008), h. 7.

[5] Hikmah & filsafat FIKIH MU’AMALAH DALAM ISLAM Hal.(110-115)
[6] No. 2139
[7] no. 2160 dan Muslim no. 1515).

[8] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40: 118-119.

[9] (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40: 119).
[10] No. 1519).

[11] No. 2166).

[12] No. 1519).
[13] [1475] Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at, Maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya.


[14] no. 1605).
[15] no. 102).
[16] 2: 326. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1058).
[17] Berbagai Macam Transaksi dalam Islam Hal.113 (M. ALI HASAN)
[18] Q.S. An-Nisa (4):29 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemaahannya, Juz I (Cet. VIII; Bandung: Diponegoro, 2008), h. 7.



 




No comments:

Post a Comment