Monday, February 18, 2013

PERTEMUAN YANG SINGKAT




Oleh Ziend Afif
Alumni SMK FARMASI YAMASI Makassar



PERTEMUAN YANG SINGKAT
Aku menulis ini untuk mengenang seorang yang menjadi temanku tak lebih dari 3 hari. 3 hari yang  singkat tapi akan terasa hangat hingga Tuhan menakdirkanku untuk melupakannya. Kami berpisah bukan karena saling benci, juga bukan karena aku atau dia pergi keluar kota ataupun keluar negeri seperti cerita teenlit. Tapi, karena sebuah takdir.
Awal pertemuanku dengannya adalah di sini. Di rumah sakit tempatku bekerja sekarang ini.  Saat itu, usiaku masih 15 tahun. Aku baru pindah dari kota besar ke kampung halaman ayahku. Kami pindah karena kota kecil ini adalah kota yang sangat tenang, udara segar masih terhirup, sawah dan perkebunan lebih mendominan dari pabrik dan kendaraan bermotor. Tempat yang cocok untuk jantung lemahku.
Dokter menyarankan kepindahan ini agar jantungku bisa lebih siap untuk dioperasi. Tempat yang menjadi tempat tinggalku di kota ini adalah rumah sakit. Ya, rumah sakit yang begitu tenang, yang membuatku merasa jauh dari kehidupan. Membuatku berfikir, aku hidup dalam kematian.
Aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Duduk sambil mengetikkan beberapa kata untuk kurangkai menjadi sebuah puisi. Saat tengah asyik mengarang sebuah puisi kesedihan, dia datang. Dia berdiri di pintu kamarku yang terbuka sambil memegang sebuah buku kecil. Aku menatapnya dingin, tapi ia malah membalas dengan senyuman. Ada getaran halus yang melintas di dadaku saat melihat senyumnya. Aku mau, aku ingin memiliki senyum seperti itu. Tapi aku tak sanggup untuk menarik ujung bibirku, rasanya sangat berat.
Aku menundukkan kepala, semakin aku melihatnya semakin sakit rasanya tidak bisa melakukan sesuatu yang sangat mudah itu, tersenyum.
Sebuah tangan meraih daguku. Aku mendongak. Wajah putih bersih menyambutku, matanya menatap mataku tajam, beberapa helai rambutnya jatuh menyentuh pipiku.
“hei, kenapa menangis hah? Aku jelek kayak hantu ya?!”  katanya kasar membuatku ketakutan, tanganku berusaha meraih apa saja untuk kulemparkan padanya. Dan berhasil. Sebuah apel anna besar mendarat di dahinya. Ia menjauh dariku, meringis kesakitan di pojok ruangan.
“ Aduh, kamu gila ya? Sakit tahu!” ia menunjukiku dengan marah.
“ Maaf.” Ucapku lirih. Hanya kata itu yang bisa kukatakan. Suasana jadi hening. Ia menatapku heran. Dan tiba-tiba saja ia mendekat duduk di sampingku. Sebuah jitakan halus mendarat di kepalaku.
“kita tidak boleh menangis. Kita itu harus kuat. Memangnya kamu masih berapa tahun?” tanyanya.
“ 15”
“Wah, kamu lebih tua tiga tahun dari aku? Padahal cengeng begitu.”
Itulah awal percakapan kami. Percakapan antara anak 13 tahun yang ceria dan anak 15 tahun yang dipenuhi aura kesedihan. Aku baru berfikir, itu adalah awal perkenalan  yang paling aneh karena kami hanya saling mengenal usia. Hari itu, ia juga menceritakan tentang banyak hal. Tentang tokoh komik kesukaannya, tentang seorang kakaknya yang meninggal karena penyakit jantung yang sama denganku, tentang ibunya yang galak tapi cantik, dan tentang hobinya bermain sepak bola. Tapi aku tak kenal namanya.
 Aneh bukan? Aku baru mengetahui namanya di pertemuan kami yang ke dua. Dia kembali datang menjengukku. Ia bilang, hari itu ia bolos les bahasa inggris karena baru ingat kalau ia juga belum mengetahui namaku.
“ nama itu sangat penting. Sepenting desahan nafas yang Tuhan berikan”
Aku tidak mengerti maksudnya. Tapi ia tidak mau menjelaskannya padaku. Seharian ia berada di kamarku. Kami berbicara tentang banyak hal yang tak pernah ku lihat. Tentang kembang api, roller coester, bum-bum car, out bound akhir semester dan banyak lagi permainan yang membangkitkan adrenalin. Caranya bercerita membuatku merasakan semua permainan itu. Tapi tetap saja itu hanya fotamorgana.  Kukatakan padanya bahwa aku ingin sekali merasakan satu saja diantara permainan yang ia ceritakan.
“ Aku janji akan menemanimu melakukan hal-hal yang lebih menyenangkan dan sangat menegangkan dari itu semua. Asal kamu janji satu hal!”
“Janji apa?”
“ Kamu harrus sehat wal afiat setelah operasi besok”
Aku termenung. Aku sendiri juga berharap bisa sehat sepertimu dan anak-anak yang sehat lainnya. Tapi, penyakitku, vonis kematian dokter membuatku merasa tak memiliki semangat, hak hidup.
Janji jari kelingking mengakhiri pertemuan kami karena kakaknya sudah datang menjemputnya. Tanpa ku sadari, aku tak ingin ia pulang. Aku merasa ingin melihat kembang api malam itu juga bersamanya. Tapi aku hanya bisa melihat punggungnya melewati pintu kamar.
Ke esokan harinya, entah mengapa dadaku terasa sangat sakit. Sepertinya ada tulang-tulang yang menusuk di bagian kiri. Ibu menjerit panic melihatku menahan rasa sakit. Ia berlari keluar sambil menangis. Ku pejamkan mata. Apa vonis kematian yang di sembunyikan ibu dan dokter adalah hari ini. Mengapa sesakit ini? Tapi tiba-tiba aku merasakan hembusan angin yang menyejukkan. Apa aku sudah mati?
Kuberanikan diri untuk membuka mata. Kudapati wajah putih bersih dengan senyum yang sangat manis.
“ Tenanglah! Kehidupan itu rahasia Tuhan. Berjuang ya! Ini game petualangan mencari harta karun. Setelah sehat , kita main, aku tunggu di luar ya! Smangat!” Ia menyerahkan sebuah CD game, lalu berbalik.
“ Kamu dari mana? Bajumu kotor sekali”. Tanyaku heran. Ia berhenti melangkah lalu menatapku lembut.
“ Tadi jatoh, habis, pengen cepat-cepat ketemu kamu”. ia nyengir. Wajahnya memerah malu. “sudah ya, smangat!” lanjutnya sambil mengangkat dua kepalan tangan, lalu keluar dan menutup pintu.
Ku buka mata perlahan-lahan. Kepalaku terasa agak sakit. Ibu tersenyum, tapi air mata mengalir deras di pipinya.
“ Anakku…” ucapnya lalu memelukku. Pelan.
“ Aw, sakit ma”.
“Maaf sayang, mama sayang kamu”.
 Tak kupedulikan ucapannya. Mataku menerawang, mencari seseorang. Tapi tak ada seorangpun di ruangan ini kecuali ibu dan seorang suster.
“Haus”. Ucapku. Dan segera kudapatkan segelas ais dari ibu.
 Sebulan berlalu, kondisi jantungku mulai membaik. Tapi aku merasa kesepian. Kutanyakan pada ibu tentang keberadaan temanku. Dan akhirnya, Ibu mengatakan sesuatu yang tak pernah ku harap untuk masuk ke telingaku. Ia kecelakaan dan meninggal di tempat saat saya menjalani operasi mendadak hari itu. Aku sangat sedih, dan benar-benar ketakutan. Aku berusaha menolak kenyataan itu, tapi apa daya? Semuanya tlah berlalu. Aku yang divonis tak memiliki banyak waktu lagi dengan persentasi keselamatan operasi 35% ternyata didahului oleh seorang yang sehat.
Oleh Zaen Afif
Alumni SMK FARMASI YAMASI Makassar

No comments:

Post a Comment