Tugas kelompok
MATA KULIAH ILMU HADIS
SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA RASULULLAH, SAHABAT, DAN TABIN
Oleh
Kelompok II
TAUFIK HIDAYAT
MUH ZAINAL
ASWAR
JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI UIN ALAUDDIN
MAKSSAR
2012.
KATA PENGANTAR
Dengan nama ALLAH
yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang, penulis memanjatkan puji syukur atas
kehadirat ALLAH SWT. Karena atas rahmat, dan hidayanyalah sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini. Begitupula shalawat serta salam senantiasa
tercurahkan kepada nabi Muhammad saw beserta sahabat, keluarga dan pengikutnya
yang setia hingga akhir zaman.
Dalam penyusunan
makalah ini penulis sedikit mengalami kesulitan dan rintangan, namun berkat
bantuan yang diberikan dari berbagai pihak, sehingga kesulitan-kesulitan
tersebut bisa teratasi dengan baik. Dengan demikian penulis lewat lembaran ini
hendak menyampaikan ucapan terimah kasih yang setinggi-tingginya kepada mereka,
teriring doa agar segenap bantuannya dalam urusan penyelesaian makalah ini,
sehingga bernilai ibadah disisi Allah swt.
Akhirnya penyusun
menyadari bahwa makalah ini bukanlah sebuah proses akhir dari segalanya,
melainkan langkah awal yang masih memerlukan banyak koreksi, olehnya itu kritik
dan saran sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Amin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Hadits Pada Masa Rasullullah
B. Sejarah Hadits Pada Masa Sahabat
C. Sejarah Hadits Pasa Masa Tabi’in
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Dafrar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam mengenal dua sumber primer dalam perundang-undangan. Pertama,
Al-Qur’an dan kedua al-Hadits. Terdapat perbedaan yang signifikan pada sistem
inventarisasi sumber tersebut. Al-Qur’an sejak awal diturunkan sudah ada
perintah pembukuannya secara resmi, sehingga terpelihara dari kemungkinan
pemalsuan. Berbeda dengan hadits, tak ada perlakuan khusus yang baku padanya,
sehingga pemeliharaannya lebih merupakan spontanitas dan inisiatif para
sahabat.
Hadits pada awalnya hanyalah sebuah literatur yang mencakup semua
ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Persetujuan Nabi yang tidak
diucapkan terhadap orang-orang pada zamannya, dan gambaran-gambaran tentang pribadi
Nabi. Mula-mula hadits dihafalkan dan secara lisan disampaikan secara
berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Setelah Nabi wafat pada tahun 10 H., islam merasakan kehilangan
yang sangat besar. Nabi Muhammad SAW. Yang dianggap sebagai yang memiliki
otaritas ajaran islam, dengan kematiannya umat merasakan otoritas. Hanya
Al-Qur’an satu-satunya sumber informasi yang tersedia untuk memecahkan berbagai
persoalan yang muncul di tengah-tengah umat islam yang masih muda itu,
wahyu-wahyu ilahi, meskipun sudah dicatat, belum disusun dengan baik, dan belum
dapat diperoleh atau tersedia secara materil ketika Nabi Muahammad SAW. wafat.
Wahyu-wahyu dalam Al-Qur’an yang sangat sedikit sekali mengandung petunjuk yang
praktis untuk dijadikan prinsip pembimbing yang umum dalam berbagai aktivitas. Khalifah-khalifah
awal membimbing kaum muslim dengan semangat Nabi, meskipun terkadang bersandar
pada penilaian pribadi mereka. Namun, setelah beberapa lama, ketika muncul
kesulitan-kesulitan yang tidak dapat lagi mereka pecahkan sendiri, mereka mulai
menjadikan sunnah, seperti yang merupakan kebiasaan perilaku Nabi sebagai acuan
dan contoh dalam memutuskan suatu masalah. Sunnah yang hanya terdapat dalam
hafalan-hafalan sahabat tersebut dijadikan sebagai bagian dari referensi penting
setelah Al-Qur’an. Bentuk-bentuk kumpulan hafalan inilah yang kemudian disebut
dengan hadits.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut, penulis merumuskan dua
rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimanakah
Sejarah hadis pada periode Rasulullah?
2. Bagaimanakah
Sejarah hadis pada periode Sahabat?
3. Bagaimanakah
Sejarah hadits pada periode Tabi’in?
C. Tujuan
dan Kegunaan
Dalam setiap penelitian apapun bentuknya senantiasa dibarengi
dengan tujuan tertentu, oleh karena itu sebagai kelengkapan penjelasan penulis
mengenai tujuan dan keguanaan penelitian yaitu untuk mengetahui Sejarah hadits.
Baik itu Sejarah hadits pada masa Rasullullah SAW., Sejarah hadits pada masa
Sahabat, dan Sejarah hadits pada masa Tabi’in.
Adapun kegunaan dari penelitan ini adalah diharapkan agar para
pelajar mampu mengkaji tentang periwayatan hadis, baik pada masa Rasulullah saw
maupun pada masa Sahabat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Periwayatan
Hadis Masa Nabi Muhammad SAW
Nabi dalam melaksanakan tugas sucinya yakni sebagai Rasul berdakwah,
menyampaikan dan mengajarkan risalah islamiyah kepada umatnya. Nabi sebagai
sumber hadis menjadi figur sentral yang mendapat perhatian para sahabat. Segala
aktifitas beliau seperti perkataan, perbuatan dan segala keputusan beliau
diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak menyaksikannya, karena
tidak seluruh sahabat dapat hadir di majelis Nabi dan tidak seluruhnya selalu
menemani beliau. Bagi mereka yang hadir dan mendapatkan hadits dari beliau
berkewajiban menyampaikan apa yang dilihat dan apa yang didengar dari
Rasulullah SAW. Baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits-Hadits dari Rasulullah.
Mereka sangat antusias dan patuh pada perintah-perintah Nabi SAW.
Hadis yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat.
Karena, para sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis Nabi
dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Hal ini terbukti dengan
beberapa pengakuan sahabat Nabi sendiri, misalnya sebagai berikut:
‘Umar bin al-Kaththab telah membagi tugas dengan tetangganya untuk
mencari berita yang berasal dari Nabi. Kata ‘Umar, bila, tetangganya hari ini
menemui Nabi, maka ‘Umar pada esok harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas
menemui Nabi dan memperoleh berita yang berasal atau berkenaan dengan Nabi,
maka dia segera menyampaikan berita itu kepada yang tidak bertugas. Dengan
demikian, para sahabat Nabi yang kebetulan sibuk tidak sempat menemui Nabi,
mereka tetap juga dapat memperoleh hadis dari sahabat yang sempat bertemu
dengan Nabi. Malik bin al-Huwayris menyatakan
ا تيت ا لنبي ص ف نفر من قؤ مي فا قمنا عند
ه عشر ين ليلة ؤ كا ن ر حيما ر فيق فلما ر ا ي شؤ قنا ا لي ا ها لينا قا ل : ا ر
جعؤ ا فكؤ نؤا فيهم ؤ علمؤ هم ؤ صلؤا فا ذاحضرت الصلا ة فليؤذن لكم احدكم ؤايؤمكم
اكبركم.(روه البخاي عن ما لك بن الحؤيرث)
Saya (Malik bin al-Huwayris) dalam satu
rombongan kaum saya datang kepada Nabi saw. Kami tinggal disisi beliau selama
dua puluh malam. Beliau adalah seorang penyayang dan akrab. Tatkala beliau
melihat kami telah merasa rindu kepada para keluarga kami, beliau bersabda;
“Kalian pulanglah, tinggallah bersama keluarga kalian, ajarlah mereka, dan
lakukan shalat bersama mereka.
Al-Bara’ bin ‘Azib al-Awsiy telah
menyatakan:
ليس كلنا كا ن يسمع حد يث ر سؤ ل الله ص ك
نت لنا ضيعه ؤ ا شغا ل ؤ لكن ا لنا س لم يكؤ نؤا يكذ
بؤ ن يؤ مءذ فيحد ث ا لشا هد ا لغا ءب
Tidaklah kami semua
(dapat langsung) mendengar hadis Rasulullah saw. (Kerena diantara) kami ada
yang tidak memiliki waktu, atau sangat sibuk. Akan tetapi ketika itu
orang-orang tidak ada yang berani melakukan kedustaan (terhadap hadis Nabi).
Orang-orang yang hadir (menyaksikan terjadinya hadis Nabi) memberitakan (hadis
itu) kepada orang-orang yang tidak hadir.
Pernyataan al-Bara’ ini memberi petunjuk: (1) Hadis yang diketahui
oleh sahabat tidaklah seluruhnya langsung diterima dari Nabi, melainkan ada
juga yang diterima melalui sahabat lain; (2) walaupun para sahabat banyak yang
sibuk, tetapi kesibukan itu tidak menghalangi kelancaran penyebaran hadis Nabi.
Para sahabat menerima hadits secara langsung dan tidak langsung.
Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. Memberi ceramah, pengajian,
khotbah atau penjelasan terhadap pertanyaan-pertanyaan para sahabat. Adapun
penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau
dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah
atau utusan daerah yang datang kepada Nabi.
Pada masa Nabi SAW. Kepandaian baca tulis dikalangan para sahabat
sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis
dikalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghafal, memahami,
memelihara, mematerikan dan memantapkan hadits dalam amalan sehari-hari, serta
mentabligkannya kepada orang lain.
Tidak ditulisnya hadits secara resmi pada masa Nabi, bukan berarti
tidak ada sahabat yang menulis hadits. Dalam sejarah penulisan hadits terdapat
nama-nama sahabat yang menulis hadits, diantaranya:
a. ‘Abdullah
ibn Amr ibn ‘Ash (w. 65 H/685 M), shahifahnya disebut Ash-Shadiqah.
b. Ali ibn
Abi Thalib (w.40 H/611 M), penulis hadits tentang hukum diyat, hukum keluarga,
dll
c. Anas bin
Malik
d. Sumrah
ibn Jundab (w.60 H/680 M)
e. Abdullah
ibn Abbas (w. 69 H/689 M)
f. Jabir ibn
‘Abdullah al-Anshari (w. 78 H/697 M)
g. Abdullah
ibn Abi Awfa’ (w.86 H)
Dalam menyampaikan hadits-haditsnya, Nabi menempuh beberapa cara,
yaitu :
Pertama, melalui majelis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian
yang diadakan oleh Nabi untuk membinah para jemaah, melalui majelis ini para
sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka
berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah jg menyampaikan haditsnya
melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut
disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika nabi
menyampaikan suatu hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja,
baik karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para
sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang saja.
Ketiga, untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keuarga
dan kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi
menyampaikan melalui istri-istrinya. Seperti kasus ketika Nabi menjelaskan
tentang seorang wanita yang bertanya kepada Nabi SAW. Tentang mandi wanita yang
telah suci dari haidnya. Nabi menyuruh wanita itu untuk mandi sebagaiman
mestinya, tetapi ia belum mengetahui bagaimana cara mandi sehingga Nabi
bersabda : “Ambillah seperca kain (yang telah diolesi dengan wangi-wangian)
dari kasturi, maka bersihkanlah dengannya”. Wanita itu bertanya lagi,
“bagaimana saya membersihkannya?” Nabi bersabda : “Bersihkanlah dengannya”.
Wanita tersebut masih bertanya lagi, “bagaimana (caranya)?” Nabi bersabda :
Subhanallah hendaklah kamu bersihkan”. Maka ‘Aisyah, istri Nabi berkata : “Wanita
itu saya tarik kearah saya dan saya katakan kepadanya, “Usapkanlah seperca kain
itu ke tempat bekas darah”. Pada hadits ini, Nabi dibantu oleh ‘Aisyah,
istrinya, untuk menjelaskan hal sensitif berkenaan dengan kewanitaan. Begitu
juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di atas,
karena segan bertanya kepada Rasul SAW. Sering kali mereka bertanya kapada
istri-istrinya.
Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika futuh
Mekkah dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah Haji pada tahun 10 H (631 M),
Nabi menyampaikan Khotbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum
muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan bidang
muamalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia.
Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya,
yaitu dengan jalan musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik
ibadah dan muamalah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi
menjelaskan hukumnya dan berita itu tersebar dikalangan umat islam. Misalnya
suatu ketika Nabi berjalan-jalan di pasar dan bertemu dengan seorang laki-laki
yang sedang membeli makanan (gandum), Nabi menyuruhnya memasukkan tangannya
kedalam gandum tersebut, dan ternyata di dalamnya basah, lalu Nabi bersabda :
ليس منا من غش
“Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu”.
Secara resmi memang Nabi melarang menulis hadits bagi umum karena
khawatir campur antara hadits dan Al-Qur’an. Jika prasarana yang sangat
sederhana Al-Qur’an dan Hadits ditulis diatasnya dalam bentuk satu catatan atau
satu lembar pelepah kurma, sulit untuk membedakan antara Al-Qur’an dan Hadits.
Banyak hadits yang melarang para sahabat untuk menulisnya, tetapi
banyak juga hadits yang perintah menulisnya. Diantara hadits yang melarang
penulisannya adalah sebagai berikut :
Diriwayatkan dari
Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW. Bersabda : “Janganlah engkau tulis
dari padaku, barang siapa yang menulis dari padaku selain Al-Qur’an maka
hapuslah. (HR. Muslim)
Sedang Hadits yang memperbolehkan penulisan sunnah juga banyak
sekali, diantaranya ialah :
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat
anshar menyaksikan hadits Rasulullah tetapi tidak hafal, kemudian bertanya
kepada Abu Hurairah maka ia memberitakannya. Kemudian ia mengadu kepada
Rasulullah SAW. Tentang hafalannya yang minim tersebut, maka Nabi bersabda :
عل حفظك بيمينكاستعن
Bantulah hafalanmu
dengan tanganmu (HR. At-Tirmidzi)
Dalam mencari solusi dua versi yang kontra di atas para ulama
berbeda pendapat. Diantaranya mereka berpendapat bahwa hadits yang melarang
penulisan di hapus (di-nasakh) dengan hadits yang membolehkannya. Lebih dari
itu al-Bukhari berpendapat hadits larangan penulisan yang diriwayatkan oleh Abu
Sa’id al-Khudri mauquf pada Abu Sa’id al-Khudri. Bahkan semua hadis larangan
penulisan berkualitas dha’if, kurang kuat dijadikan alasan. Dengan demikian
penulisan hadits tetap diperbolehkan bahkan diperintahkan dalam rangka
memelihara sunnah sebagai sumber syari’ah islamiyah sampai sekarang dan
kesimpulan inilah yang disepakati para ulama.
Disamping itu, ketika Nabi SAW. Menyelenggarakan dakwah dan
pembinaan umat, beliau sering mengirimkan surat-surat seruan pemberitahuan,
antara lain kepada para pejabat di daerah dan surat tentang seruan dakwah
islamiyah kepada para raja dan kabilah, baik di timur, utara dan barat,
surat-surat tersebut merupakan koleksi hadits-hadits juga. Hal ini sekaligus
membuktikan bahwa pada masa Nabi SAW. Telah dilakukan penulisan hadits
dikalangan sahabat.
B. Periwayatan
Hadis pada Masa Sahabat
Setelah Nabi wafat (11 H = 632 M), sahabat tidak dapat lagi
mendengar sabda-sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan dan hal ihwal Nabi
secara langsung. Kepada umatnya beliau juga meninggalkan dua pegangan sebagai
dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan Hadits (as-Sunnah) yang harus
dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
kendali kepemimpinan ummat
islam berada ditangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima
kepemimpinan itu adalah Abu Bakar al-Shiddiq (wafat 13 H = 634 M), kemudian
disusul oleh ‘Umar bin al-Khaththab (wafat 23 H = 644 M), ‘Usman bin ‘Affan
(wafat 35 H = 656 M), dan ‘Aliy bin Abiy Thalib (wafat 40 H = 661 M), keempat
khalifa ini dalam sejarah dikenal denga sebutan al-Khulafa’ al-Rasyidin dan periodenya
biasa disebut dengan Zaman Sahabat Besar.
Periwayatan hadits pada masa sahabat terutama masa al-Khulafa’
al-Rasyidun sejak tahun 11 H sampai 40 H, belum begitu berkembang. Pada satu
sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran
Al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadits tersebut. Masa ini
disebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan (al-tatsabbut wa
al-‘iqlah min al-riwayah). Pada sisi lain, meskipun perhatian sahabat terpusat
pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak memegang
hadits sebagaimana halnya yang mereka diterima secara utuh ketika Nabi masih
hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits
itu.
Berikut ini dikemukakan sikap al- Khulafa’ al-Rasyidin tentang
periwayatan hadis Nabi.
Ø Abu Bakar
al-Shiddiq
Menurut muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H = 1347 M), Abu
Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya
dalam periwayatan hadis. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman
Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada
seorang nenek menghadap kepada Khalifa Abu Bakar, memintah hak waris dari harta
yang ditinggal oleh cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa dia tidak melihat
petunjuk Quran dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada
nenek. Abu Bakar lalu bertanya kepada
para sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa nabi
telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian.
Kasus diatas memberikan petunjuk, bahwa Abu Bakar ternyata tidak
bersegara menerima riwayat hadis, sebelum meneliti periwayatannya. Dalam
melakukan penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat hadis untuk
menghadirkan saksi.
Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis, maka
dapat dimaklumi bila jumlah hadis yang diriwayatkan relatif tidak
banyak.Padahal dia seorang sahabat yang telah bergaul lama dengan dan sangat
akarab dengan Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah sampai Nabi
wafat. Dalam pada itu harus pula dinyatakan, bahwa sebab lain sehingga Abu
Bakar hanya sedikit meriwayatkan hadis karena: (a) dia selalu dalam keadaan
sibuk ketika menjabat Khalifah; (b) kebutuhan akan hadis tidak sebanyak pada
zaman sesudahnya; (c) jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi
sangat singkat.
Ø Umar bin
al-Khaththab
‘Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini
terlihat, misalny, ketika ‘Umar mendengar hadis yang disampaikan kepada Ubay
bin Ka’ab. ‘Umar barulah bersedia menerima riwayat hadis dai Ubay, setelah para
sahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula hadis
Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya ‘Umar berkata
kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya
berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi.
Kabajikan ‘Umar melarang para sahabat Nabi memperbanyak periwayatan
hadis, sesungguhnya tidaklah berarti bahwa ‘Umar sama sekali melarang para
sahabat meriwayatkan hadis. Laranga ‘Umar tampaknya tidak tertuju kepada
periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan: (a) Agar masyarakat lebih
berhati-hati dalam periwayatan hadis; dan (b) agar perhatian masyarakat terhadap
Quran tidak terganggu.
Sebagian ahli hadits mengemukakan bahwa Abu Bakar dan ‘Umar
menggariskan bahwa hadits dapat diterima apabila diserta saksi atau
setidak-tidaknya periwayat berani bersumpah. Pendapat ini menurut al-Siba’i,
sampai wafatnya ‘Umar juga menerima beberapa hadits meskipun hanya diriwayatkan
oleh seorang periwayat hadits. Untuk masalah tertentu sering kali ‘Umar juga
menerima periwayatan tanpa saksi dari orang tertentu, seperti hadits-hadits
dari ‘Aisyah. Manurut al-Siba’i, sampai wafatnya ‘Umar hadits belum banyak yang
tersebar dan masih dalam keadaan terjaga di hati para sahabat. Baru pada masa
‘Utsman ibn ‘Affan, periwayatan hadits diperlonggar.
Ø Usman bin
‘Affan
Secara umum,kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh
berbedah dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua Khalifa pendahulunya. Hanya
saja, langkah ‘Usman tidaklah setegas langkah ‘Umar bin al-Khaththab.
Dalam suatu kesempatan khutbah, ‘Usman memintah kepada para sahabat
agat tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah mendengar hadis
itu pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar. Pernyataan ‘Usman ini menunjukkan pengakuan
‘Usman atas hati-hati kedua Khalifah pendahulunya. Sikap hati-hati itu ingin
dilanjutkan pada zaman kekhalifahannya.
Dengan demikian, para sahabat Nabi
sangat kritis dan hati-hati dalam periwayatan hadits. Tradisi kritis
dikalangan sahabat menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang kebenaran
dalam periwayatan hadits : pertama, para sahabat, sebagaimana dirintis
oleh al-Khulafa’ al-Rasyidun, bersikap cermat dan berhati-hati dalam menerima
suatu riwayat. Ini dikarenakan meriwayatkan hadits Nabi merupakan hal penting,
sebagai wujud kewajiban taat kepadanya. Berhubung tidak setiap periwayat
menerima riwayat langsung dari Nabi, maka dibutuhkan perantara antara periwayat
setelah sahabat, bahkan antara sahabat sendiri dengan Rasulullah SAW. Karena
tidak dimungkinkan pertemuan langsung dengannya. Kedua, para sahabat
melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi riwayat itu
sendiri. Ketiga, para sahabat sebagaimana dipelopori oleh Abu Bakar,
mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadits. Keempat, para
sahabat, sebagaimana dipelopori ‘Ali bin ‘Abi Thalib, meminta sumpah dari
periwayat hadits. Kelima, para sahabat menerima riwayat dari satu orang
yang terpercaya. Keenam, diantara para sahabat terjadi penerimaan dan
periwayatan hadits tanpa pengecekan terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau
perkataan orang lain dikarenakan mereka memiliki agama yang kuat sehingga tidak
mungkin pendusta.
Sahabat ‘Umar bin al-Khathab juga pernah ingin mencoba menghimpun
hadits tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan beliau
berkata :
“sesungguhnya aku
punya hasrat menulis sunnah, aku telah menyebutkan suatu kaum sebelum kalian
yang menulis beberapa buku kemudian mereka sibuk dengannya dan meninggalkan
kitab Allah SWT. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan mencampur adukkan kitab
Allah dengan sesuatu yang lain selamanya”.
Kekhawatiran ‘Umar bin al-Khathab dalam pembukuan hadits adalah tasyabbuh
atau menyerupai dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani yang meninggalkan
kitab Allah dan menggantikannya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi
para Nabi mereka di dalam kitab Tuhan mereka. ‘Umar khawatir umat islam
meninggalkan Al-Qur’an dan hanya membaca hadits. Jadi Abu Bakar dan ‘Umar tidak
berarti melarang pengkodifikasian hadits tetapi melihat kondisi pada masanya
belum memungkinkan untuk itu.
Dalam praktiknya, ada dua cara sahabat meriwayatkan suatu hadits,
yaitu :
1. Dengan
lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW. Yang mereka
hafal benar lafazh dari Nabi.
2. Dengan
maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafazh
asli dari Nabi SAW.
Pada masa ‘Ali r.a., timbul perpecahan dikalangan umat islam akibat
konflik politik antara pendukung ‘Ali dengan Mu’awiyah. Umat islam terpecah
menjadi tiga golongan :
1. Syi’ah,
pendukung setia terhadap ‘Ali, diantara mereka fanatik dan terjadi pengkultusan
terhadap ‘Ali.
2. Khawarij,
golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian (tahkim) dua kelompok
yang bertikai. Kelompok ini semula menjadi pendukung ‘Ali tetapi kemudian
mereka keluar karena tidak menyetuji perdamaian.
3. Jumhur
Muslimin, diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan ‘Ali, ada yang
mendukung pemerintahan Mu’awiyah dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan
diri dalam kancah konflik.
C. Periwayatan
Hadits Pada Masa Tabi’in
Sebagaimana para sahabat, para tabi’in juga cukup berhati-hati
dalam periwayatan hadits. Hanya saja, beban mereka tidak terlalu berat jika
dibandingkan dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini, Al-Qur’an sudah
dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan mereka. Selain
itu, pada masa akhir periode al-Khulafa’ al-Rasyidun (masa khalifah ‘Utsman bin
‘Affan) para sahabat ahli hadits telah menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan
islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabi’in untuk mempelajari
hadits-hadits dari mereka. Kondisi ini juga berimplikasi pada tersebarnya
hadits keberbagai wilayah islam. Oleh sebab itu, masa ini dikenal dengan masa
menyebarnya periwayatan hadits (‘ashr intisyar al-riwayah), yaitu masa di mana
hadits tidak lagi hanya terpusat di Madinah tetapi sudah diriwayatkan
diberbagai daerah dengan para sahabat sebagai tokoh-tokohnya.
Pada masa ini daerah kekuasaan islam semakin luas. Banyak sahabat
ataupun tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai,
disamping banyak pula yang masih tinggal di Madinah dan Mekah. Para sahabat
pindah ke daerah baru disertai dengan membawa perbendaharaan hadits yang ada
pada mereka, sehingga hadits-hadits tersebar diberbagai daerah. Kemudian
bermunculan sentra-sentra hadits sebagaimana dikemukakan Muhammad Abu Zahw,
yaitu :
1. Madinah,
dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Aisyah, Abu Hurairah, Ibn ‘Umar, Abu
Sa’id al-Khudri, dll. Tokoh dari kalangan tabi’in : Sa’id ibn Musayyib, ‘Umar
ibn Zubair, Nafi’ Maula ibn ‘Umar, dll.
2. Mekah,
dengan tokoh hadits dari kalangan sahabat : Ibn ‘Abbas, ‘Abdullah ibn Sa’id,
dll. Dari kalangan tabi’in, tokohnya antara lain : Mujahid ibn Jabr, ‘Ikramah
Mawla ibn ‘Abbas, ‘Atha ibn Abi Rabah, dll.
3. Kufah,
dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Abdullah ibn Mas’ud, Sa’id ibn Abi
Waqqas, dan Salman al-Farisi. Tokoh dari kalangan tabi’in : Masruq ibn
al-Ajda’, Syuraikh ibn al-Haris, dll.
4. Syam,
dengan tokoh dari kalangan sahabat : Mu’adz ibn Jabal, Abu al-Darda’, ‘Ubadah
ibn Shamit, dll. Tokoh dari kalangan tabi’in : Abu Idris, Qabishah ibn Zuaib,
dan Makhul ibn Abi Muslim.
5. Mesir,
dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Abdullah ibn Amr al-Ash, ‘Uqbah ibn Amir,
dll. Tokoh dari kalangan tabi’in : Yazid ibn Abi Hubaib, Abu Bashrah
al-Ghifari, dll.
Hadits-hadits yang diterima oleh para tabi’in ini ada yang dalam
bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada pula yang harus dihafal,
disamping dalam bentuk-bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah
para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling
melengkapi, sehingga tidak ada satu hadits pun yang tercecer atau terlupakan.
Sungguhpun demikian, pada masa pasca-sahabat ini muncul kekeliruan periwayatan
hadits ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi pada masa Nabi SAW. Ada beberapa cara yang ditempuh oleh
Rasulullah SAW. Dalam menyampaikan suatu hadits yaitu :
1. Melalui
majelis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh
Nabi untuk membina para jemaah.
2. Dalam suatu
kesempatan Rasulullah juga biasa menyampaikan haditsnya kebeberapa sahabat yang
sempat hadir dan bertemu pada beliau, yang kemudian hadits yang didapat itu
kemudian sahabat menyampaikannya lagi kepada sahabat lain yang belum sempat
atau yang pada saat itu tidak hadir dihadapan Rasulullah.
3. Untuk
hal-hal yang sensitif, seperti hal-hal yang berkaitan dengan soal keluarga dan
biologis, dan yang terutama soal yang menyangkut hubungan suami istri,
Rasulullah menyampaikanlmelalui istri-istrinya, jadi pada hal-hal yang sensitif
Nabi SAW. Dibantu untuk menyelesaikan masalah tersebut oleh istri-istri beliau.
4. Melalui
hadits yang telah Rasulullah sampaikan kepada para sahabat, sehingga
hadits-hadits tersebut cepat tersebar di kalang masyarakat pada saat itu.
B. Saran
Diakhir tulisan ini penulis
ingin menyampaikan beberapa saran kepada pembaca:
1. Dalam memahami Islam
hendaknya kita bersifat inklusif terhadap beberapa hasanah pemikiran tentang
segala hal. Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab berbagai
tuntunan perubahan zaman.
2. Hendaknya setiap orang tetap
bersifat terbuka terhadap berbagai pendekatan dan system pendidikan yang ada.
Karena hal itu akan menambah kekayaan khasanah intelektual dan wawasan
kependidikan bagi semua.
3. Semoga hasil penelitian ini
bermanfaat bagi segenap pembaca terutama kepada penulis atau penyusun sendiri.
Amin yaa Rabbal Alamiin.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment