Membangun Narasi (Bagian 1)
Oleh Afifah Afra
Ketika kita membuat cerpen, cerbung, novelet atau novel, sesungguhnya kita sedang membangun sebuah narasi. Narasi adalah cerita yang didasarkan pada sebuah urutan kejadian atau peristiwa, di mana peristiwa tersebut dialami oleh tokoh yang mengalami konflik tertentu. Urutan kejadian, tokoh dan konflik itu, menurut Marahaimin, membentuk satu kesatuan yang disebut plot atau alur.
Sedangkan menurut Novakovich, narasi yang seimbang adalah hasil interaksi antara setting dan tokoh yang membentuk plot (alur), atau dirumuskan:
PLOT = TOKOH + SETTING.
Namun yang harus dipahami adalah, narasi ditulis agar pembaca seperti mengalami sendiri kisah yang ditulis oleh penulis. Karena itu, untuk membuat sebuah narasi yang baik, kita harus benar-benar menggali unsur-unsur pembangun plot, yakni tokoh dan setting tersebut. Mari kita bahas satu per satu poin tersebut:
TOKOH
Kita mengenal tokoh antagonis dan protagonis. Pada cerita-cerita klasik, tokoh antagonis sering diidentikkan dengan kejahatan, sedangkan protagonis adalah si pahlawan pembela kejahatan. Akan tetapi, sebenarnya tak harus demikian. Antagonis adalah tokoh yang dimunculkan sebagai tokoh yang berkebalikan secara karakter dengan tokoh protagonis. Kemunculan dua jenis tokoh yang berbeda, memunculkan perbedaan karakter, yang ketika berinteraksi kemudian memunculkan konflik.
Konflik inilah yang akan membentuk plot. Agar plot menjadi semakin baik, maka karakter tokoh harus digali. Seunik mungkin. Sedetail mungkin. Semakin unik karakter tokoh yang dibangun, konflik yang muncul pun akan semakin unik.
Silahkan Anda bandingkan dua jenis karakter ini.
Tommy: Anak SMA, kaya, tampan, sombong
Delisa: Seorang gadis yang lahir dari keluarga broken home. Cantik, pintar, sempurna. Namun memiliki kepribadian ganda. Sering bergerak tanpa mampu mengendalikan diri. Sering tiba-tiba bangun di tengah malam, dan seakan-akan berubah menjadi orang lain.
Dari perbedaan kedetilan dua tokoh tersebut, kira-kira mana yang jika dikembangkan, akan mendapatkan konflik yang lebih baik?
BERSAMBUNG
Oleh Afifah Afra
Ketika kita membuat cerpen, cerbung, novelet atau novel, sesungguhnya kita sedang membangun sebuah narasi. Narasi adalah cerita yang didasarkan pada sebuah urutan kejadian atau peristiwa, di mana peristiwa tersebut dialami oleh tokoh yang mengalami konflik tertentu. Urutan kejadian, tokoh dan konflik itu, menurut Marahaimin, membentuk satu kesatuan yang disebut plot atau alur.
Sedangkan menurut Novakovich, narasi yang seimbang adalah hasil interaksi antara setting dan tokoh yang membentuk plot (alur), atau dirumuskan:
PLOT = TOKOH + SETTING.
Namun yang harus dipahami adalah, narasi ditulis agar pembaca seperti mengalami sendiri kisah yang ditulis oleh penulis. Karena itu, untuk membuat sebuah narasi yang baik, kita harus benar-benar menggali unsur-unsur pembangun plot, yakni tokoh dan setting tersebut. Mari kita bahas satu per satu poin tersebut:
TOKOH
Kita mengenal tokoh antagonis dan protagonis. Pada cerita-cerita klasik, tokoh antagonis sering diidentikkan dengan kejahatan, sedangkan protagonis adalah si pahlawan pembela kejahatan. Akan tetapi, sebenarnya tak harus demikian. Antagonis adalah tokoh yang dimunculkan sebagai tokoh yang berkebalikan secara karakter dengan tokoh protagonis. Kemunculan dua jenis tokoh yang berbeda, memunculkan perbedaan karakter, yang ketika berinteraksi kemudian memunculkan konflik.
Konflik inilah yang akan membentuk plot. Agar plot menjadi semakin baik, maka karakter tokoh harus digali. Seunik mungkin. Sedetail mungkin. Semakin unik karakter tokoh yang dibangun, konflik yang muncul pun akan semakin unik.
Silahkan Anda bandingkan dua jenis karakter ini.
Tommy: Anak SMA, kaya, tampan, sombong
Delisa: Seorang gadis yang lahir dari keluarga broken home. Cantik, pintar, sempurna. Namun memiliki kepribadian ganda. Sering bergerak tanpa mampu mengendalikan diri. Sering tiba-tiba bangun di tengah malam, dan seakan-akan berubah menjadi orang lain.
Dari perbedaan kedetilan dua tokoh tersebut, kira-kira mana yang jika dikembangkan, akan mendapatkan konflik yang lebih baik?
BERSAMBUNG
MEMBANGUN NARASI (Bag. 2)
Oleh Afifah Afra
__________________________________
Masih berbicara soal tokoh....
Dalam pembahasan di bagian 1, kita membandingkan 2 jenis karakter tokoh yang ingin kita bangun, yaitu:
Tommy: Anak SMA, kaya, tampan, sombong
Delisa: Seorang gadis yang lahir dari keluarga broken home. Cantik, pintar, sempurna. Namun memiliki kepribadian ganda. Sering bergerak tanpa mampu mengendalikan diri. Sering tiba-tiba bangun di tengah malam, dan seakan-akan berubah menjadi orang lain.
Dari kedetilan karakter, kita sudah bisa membayangkan, mana yang akan melahirkan konflik yang unik. Ya, tokoh Delisa, yang memang digambarkan dengan detil. Ketika tokoh Tommy kita angkat, kita akan menemukan banyak sekali kesamaan. Ada berapa juta remaja seperti Tommy? Di sekitar kita, mungkin di keluarga kita juga ada. Jadi, apa menariknya? Berbeda dengan saat seorang penulis fiksi mengangkat seorang tokoh yang memiliki kepribadian unik seperti Delisa.
Tokoh adalah 'bahan baku' dari sebuah narasi. Konflik muncul salah satunya karena adanya interaksi antara tokoh dengan tokoh. Semakin 'berbobotnya' bahan baku, akan cukup membantu terciptanya sebuah liukan cerita yang menarik.
Sayang sekali, banyak karya-karya fiksi kita yang menjadikan hal-hal yang melekat pada sosok si tokoh hanya sebagai tempelan belaka. Misalnya, saya pernah menyaksikan sebuah sinetron yang mengangkat tokoh dengan profesi lawyer/pengacara. Wah, keren tuh, pengacara, batin saya. Saya lantas terpikir pada salah satu fiksi favorit saya, yakni novel-novel tulisan John Grisham. Akan tetapi, nyaris dari semua episode yang terlewat, saya tak pernah mendapatkan si tokoh itu berjibaku dengan ke-pengacara-annya. Konflik yang muncul semata percintaan, sehingga menjadi tak penting, apakah tokoh tersebut berprofesi sebagai lawyer, dokter, pengusaha atau apapun. Saya juga sering melihat di sinema-sinema lokal, ada tokoh tergambarkan berdasi, bermobil, tapi tak tahu apa pekerjaannya.
Saya sering mengibaratkan tokoh yang tak tergali dengan baik potensi-potensi konliknya, sebagai SDM di sebuah kantor yang tak bekerja maksimal. Jika sebuah kantor memiliki karyawan yang tak menjalankan 'kewajibannya' dengan baik, apa yang akan terjadi dengan pencapaian target di kantor tersebut?
Karena itulah, saya cukup memahami, ketika seorang psikolog yang juga seorang sastrawan, mengatakan dalam sebuah forum bahwa dia lebih bangga menyebut diri sebagai sastrawan daripada psikolog. Katanya, "Sastrawan itu lebih psikolog daripada psikolog." Ya, karena menjadi seorang penulis fiksi, menuntut kita untuk menyelami karakter tokoh-tokoh kita dengan baik.
(BERSAMBUNG)
Oleh Afifah Afra
__________________________________
Masih berbicara soal tokoh....
Dalam pembahasan di bagian 1, kita membandingkan 2 jenis karakter tokoh yang ingin kita bangun, yaitu:
Tommy: Anak SMA, kaya, tampan, sombong
Delisa: Seorang gadis yang lahir dari keluarga broken home. Cantik, pintar, sempurna. Namun memiliki kepribadian ganda. Sering bergerak tanpa mampu mengendalikan diri. Sering tiba-tiba bangun di tengah malam, dan seakan-akan berubah menjadi orang lain.
Dari kedetilan karakter, kita sudah bisa membayangkan, mana yang akan melahirkan konflik yang unik. Ya, tokoh Delisa, yang memang digambarkan dengan detil. Ketika tokoh Tommy kita angkat, kita akan menemukan banyak sekali kesamaan. Ada berapa juta remaja seperti Tommy? Di sekitar kita, mungkin di keluarga kita juga ada. Jadi, apa menariknya? Berbeda dengan saat seorang penulis fiksi mengangkat seorang tokoh yang memiliki kepribadian unik seperti Delisa.
Tokoh adalah 'bahan baku' dari sebuah narasi. Konflik muncul salah satunya karena adanya interaksi antara tokoh dengan tokoh. Semakin 'berbobotnya' bahan baku, akan cukup membantu terciptanya sebuah liukan cerita yang menarik.
Sayang sekali, banyak karya-karya fiksi kita yang menjadikan hal-hal yang melekat pada sosok si tokoh hanya sebagai tempelan belaka. Misalnya, saya pernah menyaksikan sebuah sinetron yang mengangkat tokoh dengan profesi lawyer/pengacara. Wah, keren tuh, pengacara, batin saya. Saya lantas terpikir pada salah satu fiksi favorit saya, yakni novel-novel tulisan John Grisham. Akan tetapi, nyaris dari semua episode yang terlewat, saya tak pernah mendapatkan si tokoh itu berjibaku dengan ke-pengacara-annya. Konflik yang muncul semata percintaan, sehingga menjadi tak penting, apakah tokoh tersebut berprofesi sebagai lawyer, dokter, pengusaha atau apapun. Saya juga sering melihat di sinema-sinema lokal, ada tokoh tergambarkan berdasi, bermobil, tapi tak tahu apa pekerjaannya.
Saya sering mengibaratkan tokoh yang tak tergali dengan baik potensi-potensi konliknya, sebagai SDM di sebuah kantor yang tak bekerja maksimal. Jika sebuah kantor memiliki karyawan yang tak menjalankan 'kewajibannya' dengan baik, apa yang akan terjadi dengan pencapaian target di kantor tersebut?
Karena itulah, saya cukup memahami, ketika seorang psikolog yang juga seorang sastrawan, mengatakan dalam sebuah forum bahwa dia lebih bangga menyebut diri sebagai sastrawan daripada psikolog. Katanya, "Sastrawan itu lebih psikolog daripada psikolog." Ya, karena menjadi seorang penulis fiksi, menuntut kita untuk menyelami karakter tokoh-tokoh kita dengan baik.
(BERSAMBUNG)
MEMBANGUN NARASI (Bag. 3)
Oleh Afifah Afra
TEKNIK PENOKOHAN
Andre memang cute. Orangnya juga sangat baik, santun, ramah, penuh kasih sayang dan rajin menolong. Pantas semua orang tergila-gila padanya.
…..
Kita sangat sering melihat jenis pelukisan karakter tokoh semacam itu pada karya-karya fiksi yang kita baca. Teknik penokohan semacam itu, sering disebut sebagai teknik naratif. Penulis menggambarkan secara langsung lewat uraian, alias penjelasan secara langsung.
Akan tetapi, penokohan tak selalu harus dijelaskan secara naratif. Bahkan, pola-pola naratif ini seringkali menjebak kita pada kebosanan. Pola penokohan secara naratif biasanya akan membuat sebuah cerita cenderung bersifat talk. Feel biasanya sulit terbangun jika apa yang kita jelaskan hanya sebatas talk bukan show (kapan-kapan kita akan bahas tentang kaidah talk vs show dalam menulis cerita).
Penokohan bisa dilakukan secara dramatik, yakni penggambaran secara tidak langsung. Penulis tidak secara eksplisit menjelaskan si A ini karakternya bla-bla-bla, si B bla-bla-bla dan sebagainya. Teknik penokohan secara dramatik bisa kita lakukan antara lain melalui percakapan. Misalnya, kita menggambarkan sosok yang tegas. Tentu perkataan-perkataan dia harus menggambarkan hal semacam itu. Perkataan yang tegas dan lugas. Misal, “Ikut saya! Anda saya hukum. Anda tak perlu berkelit. Tak ada waktu untuk bicara.”
Pikiran, perasaan atau prinsip si tokoh, juga bisa menjadi salah satu cara penggambaran karakter. Coba, bisakah Anda menebak bagaimana karakter tokoh ‘aku’ ini?
Aku menatap tumpukan uang yang masih berbau AC di depanku dengan gemetar. Betulkah uang ini untukku? Sebanyak ini? Tetapi, ini uang tak halal. Mendadak ada yang bersuara dalam jiwaku. Keras. Zaman seperti ini masih memegang teguh idealisme? Kuno! Sudahlah, tak usah berpura-pura sok suci.
Kita juga bisa menggambarkan karakter tokoh secara tak langsung melalui respon si tokoh terhadap sesuatu, tingkah laku bahkan juga fisik, asal daerah, bahkan juga cara berpakaian si tokoh.
Teknik penggambaran karakter secara tak langsung ini sangat efektif, karena akan menggiring si pembaca untuk ikut menafsirkan dan merasakan, serta menilai bahkan juga ikut merasakan emosi terhadap karakter si tokoh.
BERSAMBUNG
Oleh Afifah Afra
TEKNIK PENOKOHAN
Andre memang cute. Orangnya juga sangat baik, santun, ramah, penuh kasih sayang dan rajin menolong. Pantas semua orang tergila-gila padanya.
…..
Kita sangat sering melihat jenis pelukisan karakter tokoh semacam itu pada karya-karya fiksi yang kita baca. Teknik penokohan semacam itu, sering disebut sebagai teknik naratif. Penulis menggambarkan secara langsung lewat uraian, alias penjelasan secara langsung.
Akan tetapi, penokohan tak selalu harus dijelaskan secara naratif. Bahkan, pola-pola naratif ini seringkali menjebak kita pada kebosanan. Pola penokohan secara naratif biasanya akan membuat sebuah cerita cenderung bersifat talk. Feel biasanya sulit terbangun jika apa yang kita jelaskan hanya sebatas talk bukan show (kapan-kapan kita akan bahas tentang kaidah talk vs show dalam menulis cerita).
Penokohan bisa dilakukan secara dramatik, yakni penggambaran secara tidak langsung. Penulis tidak secara eksplisit menjelaskan si A ini karakternya bla-bla-bla, si B bla-bla-bla dan sebagainya. Teknik penokohan secara dramatik bisa kita lakukan antara lain melalui percakapan. Misalnya, kita menggambarkan sosok yang tegas. Tentu perkataan-perkataan dia harus menggambarkan hal semacam itu. Perkataan yang tegas dan lugas. Misal, “Ikut saya! Anda saya hukum. Anda tak perlu berkelit. Tak ada waktu untuk bicara.”
Pikiran, perasaan atau prinsip si tokoh, juga bisa menjadi salah satu cara penggambaran karakter. Coba, bisakah Anda menebak bagaimana karakter tokoh ‘aku’ ini?
Aku menatap tumpukan uang yang masih berbau AC di depanku dengan gemetar. Betulkah uang ini untukku? Sebanyak ini? Tetapi, ini uang tak halal. Mendadak ada yang bersuara dalam jiwaku. Keras. Zaman seperti ini masih memegang teguh idealisme? Kuno! Sudahlah, tak usah berpura-pura sok suci.
Kita juga bisa menggambarkan karakter tokoh secara tak langsung melalui respon si tokoh terhadap sesuatu, tingkah laku bahkan juga fisik, asal daerah, bahkan juga cara berpakaian si tokoh.
Teknik penggambaran karakter secara tak langsung ini sangat efektif, karena akan menggiring si pembaca untuk ikut menafsirkan dan merasakan, serta menilai bahkan juga ikut merasakan emosi terhadap karakter si tokoh.
BERSAMBUNG
MEMBANGUN NARASI (BAG 4.)
Oleh Afifah Afra
_______________________________
LATAR
Baik, kemarin saya sudah sedikit membahas soal penokohan. Iya, cuma ‘sedikit’, soalnya jika ingin lebih detilnya, sebaiknya Anda langsung bergabung di FLP terdekat, ops!
Biar sedikit ‘nyambung’, kembali saya ingatkan tentang rumus alur versi Novakovich ya. Kata beliau, Alur = Tokoh + Setting. Jika kemarin sudah membahas tentang tokoh, sekarang saya akan bahas soal setting. Kenapa di subjudul saya sebuat LATAR?
Masalahnya Sahabat, ternyata setelah saya klik di KBBI Online, kata SETTING belum masuk. Jika kita konsekuen dengan bahasa Indonesia, mari kita gunakan saja kata LATAR, okay? Jika kemarin saya masih menggunakan setting, kan jelas alasannya, saya baru-baru saja mengecek di KBBI Online, hehe.
Si tokoh, baik protagonis maupun antagonis, tentu mendiami sebuah tempat, waktu, kondisi sosial budaya dan berbagai varian latar lainnya. Itulah yang sering disebut sebagai LATAR. Dalam KBBI, Latar dimaknai sebagai keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Beberapa tokoh, misalnya Kenney (1966) menjelaskan bahwa latar adalah elemen fiksi yang menunjukkan di mana dan kapan terjadi peristiwa.
Sebagaimana kita tahu, pada sebuah latar, pasti terdapat dinamika yang beraneka ragam. Kultur yang ada, kondisi alam, berjalannya waktu, dan semua varian latar itu menciptakan ‘konsekuensi-konsekuensi’ tersendiri bagi tokoh yang mendiaminya. Bahkan, bisa jadi latar itu ternyata berpengaruh besar terhadap ‘kehidupan’ si tokoh.
Oleh karenanya, latar menyumbang ‘bahan baku’ dalam penyusunan alur secara signifikan. Interaksi antar tokoh dengan setting, akan menghidupkan konflik. Bahkan, dalam beberapa cerita, ada para penulis yang dengan ‘berani’ membuat konflik, benar-benar tokoh vs setting belaka. Tak ada tokoh vs tokoh. Yang paling terkenal adalah Cast Away, film yang dibintangi oleh Tom Hanks. Film ini menceritakan seorang karyawan yang terdampar di pulau yang sepi setelah melakukan penerbangan di Pasifik bagian selatan. Berbagai konflik ‘melawan’ setting, dihadapi seorang diri. Sebagaimana tokoh, kedetailan alur juga akan ‘memperindah’ dan dalam kasus tertentu, menjadi punggung dari alur itu sendiri.
Penggarapan alur yang baik, akan berefek pada kualitas konflik. Karena konflik adalah intisari dari sebuah cerita, berarti hal itu juga akan memberi sumbangan besar terhadap kualitas cerita itu sendiri. Maka, tak heran jika untuk mendapatkan latar yang benar-benar kuat, beberapa penulis melakukan riset secara kuat. Salah satu contoh penulis yang risetnya kuat adalah Camilla Gibs. Untuk membuat novel Sweetness in The Belly, Camilla Gibs yang juga P.Hd ilmu sosiologi dari Harvard University, selama 2 tahun menetap di Ethiopia, tinggal bersama Kaum Sufi Harary, yang memang menjadi latar dari novel tersebut.
Jadi, Anda bisa bayangkan, bagaimana kualitas sebuah novel yang risetnya hanya sekadar googling, apalagi kopi paste di Wikipedia. Mungkin untuk bisa total melakukan riset, kita akan kesulitan jika mengikuti apa yang telah dilakukan Gibs. Melakukan studi pustaka dengan memadai, mencari buku-buku yang benar-benar bagus, membaca secara mendalam, wawancara dengan para ahli, akan membantu kita mendapatkan serangkaian latar yang ‘membumi.’
BERSAMBUNG
Oleh Afifah Afra
_______________________________
LATAR
Baik, kemarin saya sudah sedikit membahas soal penokohan. Iya, cuma ‘sedikit’, soalnya jika ingin lebih detilnya, sebaiknya Anda langsung bergabung di FLP terdekat, ops!
Biar sedikit ‘nyambung’, kembali saya ingatkan tentang rumus alur versi Novakovich ya. Kata beliau, Alur = Tokoh + Setting. Jika kemarin sudah membahas tentang tokoh, sekarang saya akan bahas soal setting. Kenapa di subjudul saya sebuat LATAR?
Masalahnya Sahabat, ternyata setelah saya klik di KBBI Online, kata SETTING belum masuk. Jika kita konsekuen dengan bahasa Indonesia, mari kita gunakan saja kata LATAR, okay? Jika kemarin saya masih menggunakan setting, kan jelas alasannya, saya baru-baru saja mengecek di KBBI Online, hehe.
Si tokoh, baik protagonis maupun antagonis, tentu mendiami sebuah tempat, waktu, kondisi sosial budaya dan berbagai varian latar lainnya. Itulah yang sering disebut sebagai LATAR. Dalam KBBI, Latar dimaknai sebagai keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Beberapa tokoh, misalnya Kenney (1966) menjelaskan bahwa latar adalah elemen fiksi yang menunjukkan di mana dan kapan terjadi peristiwa.
Sebagaimana kita tahu, pada sebuah latar, pasti terdapat dinamika yang beraneka ragam. Kultur yang ada, kondisi alam, berjalannya waktu, dan semua varian latar itu menciptakan ‘konsekuensi-konsekuensi’ tersendiri bagi tokoh yang mendiaminya. Bahkan, bisa jadi latar itu ternyata berpengaruh besar terhadap ‘kehidupan’ si tokoh.
Oleh karenanya, latar menyumbang ‘bahan baku’ dalam penyusunan alur secara signifikan. Interaksi antar tokoh dengan setting, akan menghidupkan konflik. Bahkan, dalam beberapa cerita, ada para penulis yang dengan ‘berani’ membuat konflik, benar-benar tokoh vs setting belaka. Tak ada tokoh vs tokoh. Yang paling terkenal adalah Cast Away, film yang dibintangi oleh Tom Hanks. Film ini menceritakan seorang karyawan yang terdampar di pulau yang sepi setelah melakukan penerbangan di Pasifik bagian selatan. Berbagai konflik ‘melawan’ setting, dihadapi seorang diri. Sebagaimana tokoh, kedetailan alur juga akan ‘memperindah’ dan dalam kasus tertentu, menjadi punggung dari alur itu sendiri.
Penggarapan alur yang baik, akan berefek pada kualitas konflik. Karena konflik adalah intisari dari sebuah cerita, berarti hal itu juga akan memberi sumbangan besar terhadap kualitas cerita itu sendiri. Maka, tak heran jika untuk mendapatkan latar yang benar-benar kuat, beberapa penulis melakukan riset secara kuat. Salah satu contoh penulis yang risetnya kuat adalah Camilla Gibs. Untuk membuat novel Sweetness in The Belly, Camilla Gibs yang juga P.Hd ilmu sosiologi dari Harvard University, selama 2 tahun menetap di Ethiopia, tinggal bersama Kaum Sufi Harary, yang memang menjadi latar dari novel tersebut.
Jadi, Anda bisa bayangkan, bagaimana kualitas sebuah novel yang risetnya hanya sekadar googling, apalagi kopi paste di Wikipedia. Mungkin untuk bisa total melakukan riset, kita akan kesulitan jika mengikuti apa yang telah dilakukan Gibs. Melakukan studi pustaka dengan memadai, mencari buku-buku yang benar-benar bagus, membaca secara mendalam, wawancara dengan para ahli, akan membantu kita mendapatkan serangkaian latar yang ‘membumi.’
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment