Thursday, February 7, 2013

CERPEN : Renungan Malam


Nama: Endang Eriana
UIN   Alauddin Makassar
Prodi : Tafsir Hadis
Angkatan  2012



Renungan Malam

Di jendela kamarku aku duduk termenung berkawan sepi, tak kuhiraukan angin malam yang menusuk tulangku. Angin sepoi - sepoi yang bertiup lembut menyapu wajahku dan mempermainkan ujung jilbabku. Semua itu tak kupedulikan. Mataku menerawang jauh menembus kegelapan. Tak terasa air mataku menetes membasahi pipi, yah, aku menangis. Siapalah yang tak menangis apabila mimpi yang seharusnya menjadi bunga, malah menjadi duri. Mimpi yang membuat mataku tak bisa terpejam lagi, mimpi yang membuatku bermandikan keringat. Kekhawatiran yang seketika menghinggapi hati.
Di dalam mimpi aku melihat diriku tengah duduk di sisi ibu yang terbaring lemah. Sesekali batuk terlihat begitu menyiksanya. Aku menangis sesunggukan, tenggorokanku bagai tersumbat hingga tak mampu berkata-kata. Aku melihat lambaian tangannya yang menyuruhku lebih mendekat lagi, ada sesuatu yang ingin dikatakannya.
“Nak! Sepertinya hidup Ibu takkan lama lagi.” Bisiknya, begitu lemah hingga hampir tak terdengar.
“Bu’! Jangan berkata seperti itu, aku yakin Ibu pasti sembuh. aku yakin itu... Bertahanlah Bu!!.” Kataku dengan suara serak sambil menangis menggenggam tangannya karena tak kuasa menahan haru.
“Bu’! Bertahanlah, jangan tinggalkan aku”. Lanjutku, masih menggenggam tangannya semakin erat. “Bu’ aku belum sempat membalas jasa-jasamu, belum sempat membahagiakanmu, jangan tinggalkan aku ibu biarkan anakmu ini membalas jasamu!”
“Nak! Hidup dan mati seseorang Allahlah yang mengaturnya, bukankah kamu mengetahui bahwa semua makhluk ciptaan-Nya akan kembali kepada- Nya? Ibu mohon nak ikhlaskanlah kepergian Ibu!” Tuturnya yang semakin lemah.
Aku hanya bisa menangis mendengar penuturan ibu, sungguh akupun mengetahui hal itu tapi aku belum siap kehilangan ibu, bagaimana nasib adik-adikku, mereka sudah cukup kehilangan seorang ayah.
“Ikhlaskanlah kepergian ibu, Nak, jagalah adik-adikmu, janganlah kamu sia-siakan mereka, rawatlah mereka dengan baik, jadikanlah mereka anak yang soleh-solehah agar berguna bagi agama dan orang lain, kamu mau kan nak?”
Aku hanya bisa menganggukkan kepala karena tak kuasa menahan tangisku yang hampir meledak.
“Janji sama ibu ya nak?”
            “Iya bu’, saya berjanji.” Kataku untuk meyakinkan ibuku.
            “Sekarang ibu sudah lega, sekarang ibu sudah bisa pergi dengan tenang”
            Laailaaha illallah laailaaha illallah laailaaha illallah
            Ibupun menghembuskan nafas terakhir. “Ibu.... Ibuu.... Ibuuu......” Akupun berteriak sejadi-jadinya.
            “Ibuu, belum pernah aku melihat senyum kebanggaan yang menghiasi bibirmu karena diriku, belum sempat aku membalas tetesan air susumu yang mendarah daging di tubuhku”. Bisikku di telinga ibu yang tak mungkin terdengar. “ Ibu, siapakah lagi yang akan membelai lembut rambutku ketika hatiku dihujam kepedihan? Ketika tak ada lagi yang memperdulikan diriku kecuali dirimu.
          “ Ibu, maafkanlah anakmu yang durhaka ini, anak yang selalu menyusahkanmu karena tingkahku. Ibuu terbanglah tinggi, kepakkanlah sayapmu menuju taman surga yang penuh kedamaian, yang tak ada lagi rasa sakit, yang ada hanya kedamaian dan ketentraman”. Setelah mengucap kata tersebut kurasakan dunia begitu gelap hingga akhirnya aku tak merasakan apa-apa.
                                                                        ***
            Di saat itulah aku terbangun dari mimpi, dan hatiku begitu lega mengetahui kenyataan bahwa itu hanyalah sebuh mimpi.
            Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 wita, tapi aku masih betah duduk  di jendela ini karena mataku belum mengantuk juga. Kuangkat wajahku memandang langit yang bertaburan bintang, kerlap-kerlip penuh pesona bagai memperlihatkan keindahannya pada penduduk bumi. Namun pemandangan yang indah itu tak jua mampu menghibur hatiku yang gelisah.
            Kuambil keputusan untuk menjadikan malam ini sebagai malam renungan buatku. Kuputar memoriku mengenang masa lalu.
            Saat itu aku masih duduk di kelas 5 sekolah dasar, tepatnya hari Rabu, mata pelajaran menggambar di kelas. Aku tidak akan pernah lupa bagaimana kakakku datang menjemputku di kelas dengan mata merah habis menangis. Saat itu aku tidak mengerti apa sebenarnya yang terjadi? Aku melihat guruku pun ikut menangis saat kakakku meminta izin untuk membawaku pulang. Sebenarnya apa yang terjadi??? Aku hanya menurut saat dibawa pulang dengan seribu tanda tanya di kepalaku.
            Saat aku sampai di rumah di situlah keherananku semakin bertambah, karena banyak orang yang berkumpul di rumahku. Aku berlari masuk ke rumah, di ruang tamu aku melihat ibuku duduk bersimpuh bercucuran air mata di dekat seseorang yang berbaring kaku yang dibungkus kain kafan, aku takut mendekat, aku  takut menerka-nerka. Hingga ibu memanggilku sambil menangis,
            “Nak! Mendekatlah, tidak maukah kamu melihat wajah ayahmu untuk yang terakhir kalinya? Mendekatlah jangan takut! Panggil ibuku dengan suara serak.
            Aku mendekati ayah, kubuka kain kafan yang menutupi wajahnya. Kudapati wajah yang selama ini mencari nafkah, yang selalu menungguku di tangga dengan kayu di tangannya saat pulang dari bermain di sungai, begitu pucat pasih, kaku dan dingin. Aku tak bisa menahan  air mataku, “Ayaaah bangun ayah, jangan tinggalkan Afifah... Ayah janji akan membelikan Afifah boneka... bangun ayah banguuun, Afifah janji tidak akan bermain di sungai lagi.” Tangisku meronta-ronta. Ibupun memelukku dengan sangat erat, untuk menenangkanku.
                                                                       ***
           Setelah kematian ayah adalah masa-masa yang sangat sulit bagi kami sekeluarga. Kami adalah keluarga besar, uang pensiunan ayah tidak cukup untuk membiayai kami semua. Terkadang kami hanya bisa makan nasi dengan garam, walaupun seperti itu kami dapat menerimanya dengan lapang dada.
            Di saat itulah seorang wanita yang tegar penuh kelembutan, wanita yang kuat dan perkasa, bangkit menaungi kami anak-anaknya. Dia bangkit sebagai seorang ibu sekaligus ayah bagi kami. Dia bekerja keras mencari nafkah, demi melihat kami makan dengan lauk yang baik, demi melihat kami terus sekolah.
            Saat hari masih pagi buta, dia berangkat ke pasar untuk berdagang, tak dia hiraukan terik matahari yang membakar kulitnya, tak dia pedulikan dinginnya hujan yang menembus kulitnya, yang di pikirannya hanyalah bagaimana supaya dia bisa mendapatkan uang demi mengabulkan keinginan kami, sungguh dia adalah wanita perkasa.
***
            Kulihat jam tanganku, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 wita. Tiba-tiba aku ingat sesuatu, kuperiksa kelender hpku. Hari ini tanggal 30 Desember, berarti hari ini adalah hari ulang tahun ibu. Ingin rasanya saat ini juga aku menelpon ibuku, untuk sekedar mengatakan “Ibu terima kasih atas segalanya,  sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa membalas jasa-jasamu, kau kan selalu ada di dalam hatiku, selamat hari ulang tahun ibu.”
            Tapi ini sudah larut malam, aku pasti mengganggu tidurnya. Biarlah saya menundanya hingga besok pagi. Tiba-tiba aku mendengar ketukan di pintu, sambil memanggil-manggil namaku, “Afifah... Bangun Fifah... Salat tahajjud.” Teriaknya seraya terus menggedor-gedor pintu. Ternyata ka’ Zhefirah, kakak yang tinggal di kamar sebelah, memang setiap sepertiga malam dia selalu membangunkanku untuk salat tahajjud, darinyalah aku banyak belajar tentang makna hidup ini.
            “Iya ka’...Fifah sudah bangun.” Jawabku dengan cepat.
            “Bergegaslah ambil air wudu’, nanti tidur lagi.” Lanjutnya.
            “Iya ka’.”
                        Akupun beranjak ke kamar mandi untuk berwudu’. Aku begitu segar setelah air wudu’ membasahi wajahku. Kemudian aku salat tahajjud dengan khusyu’, menghadapkan wajah ini kepada sang ilahi, bersujud memohon rahmat dan ampunannya dari segala dosa-dosa yang telah lalu. Tak lupa pula kupanjatkan doa untuk ayah dan ibuku agar  mereka senantiasa berada dalam ampunan-Nya. Tak terasa setelah aku bermunajat kepada-Nya, aku tertidur di atas sejadah. Di dalam tidurku, aku bermimpi melihat ayah begitu bahagia, senyum senatiasa terpancar di bibirnya berada di taman surga. Di tempat lain aku melihat ibuku duduk di taman dunia yang begitu indah, ketenangan dan ketentraman begitu jelas terpancar dari raut wajahnya. Tanpa kusadari aku tersenyum dalam tidurku.

***


2 comments: