MAKALAH DISKUSI
WAWASAN HADITS TENTANG KEPEMIMPINAN
MATA KULIAH IBADAH MU’AMALAH
DISUSUN OLEH
AHMAD HUMAID
JUMADIL MUSA
NASIHUDDIN
WILDA
RISKA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT. Karena
kita telah diberi curahan nikmat dan kasih saying yang berlimpah ruah. Tidak
lupa shalawat dan salam semoga tetap terlimpah curahkan kepada junjungan kita
Nabi Besar Muhammad SAW,keluarganya,sahabatnya,dan kita sebagai ummatnya.
Alhamdulillah akhirnya
kami berhasil menyelesaikan makalah hadits ibadah muamalah ini meskipun
terdapat banyak kendala namun hal itu menambah semangat kami untuk
menyelesaikannya.
Dalam makalah ini dijelaskan mengenai arti kepemimpinan,cara,dan contohnya.
Oleh karena itu, kami berharap makalah ini bisa menjadikan ilmu dan manfaat
bagi kita semua. Memang dalam penyusunan makalah ini belum sempurna masih
terdapat banyak kekurangan maka dari itu kami mohon maaf bila terdapat
kesalahan,semoga makalah ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan digunakan
di masa yang akan datang.
MAKASSAR 20-11-2012
PEMAKALAH
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………..........
Daftar Isi………………………………………………………………......
BAB I
Pendahuluhan…………………………………………………………….
A.Latar Belakang……………………………………………………….
B.Rumusan Masalah…………………..............................................
C.Tujuan…………………………………………………………….......
BAB II
Pembahasan………………………………………………………….......
I.Pengertian……………………………………………………………..
II.Dalil Tentang
Kepemimpinan………………………………………..
III.Tinjauan Umum Mengenai
Kepemimpinan…………………………
IV.Kepemimpinan Dalam Islam…………………………………............
Ø Hakekat kepemimpinan…………………………………………..
Ø Hukum dan tujuan menegakkan kepemimpinan………...........
Ø Kriteria pemimpin yang ideal dalam
islam………………..........
V.Prinsip-Perinsip Kepemimpinan Islam………………………………..
Ø Prinsip tauhid………………………………………………………
Ø Prinsip musyawarah………………………………………………
Ø Prinsip keadilan……………………………………………………
Ø Prinsip kebebasan………………………………………………...
VI.Contoh Kepemimpinan Dalam Islam…………………………………
1. Kepemimpinan rasulullah SAW…………………………………
2. Kepemimpinan al-khulafa’ al
rasyidin…………………………..
VII. Demokrasi Dan Islam………………………………………………..
BAB III
Penutup…………………………………………………………………..
Kesimpulan……………………………………………………………..
Daftar Pustaka…………………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam sejarah kehidupan manusia, telah muncul konsepsi tentang
kepemimpinan. Bagaimana Nabi Adam memimpin Hawa dan keturunannya di dunia
setelah diusir dari surga. Begitu juga sejak awal kemunculan Islam, Nabi
Muhammad selain sebagai seorang utusan Rasul yang menyampaikan
ajaran-ajaran agama tetapi juga seorang kepala Negara dan kepala rumah tangga.
Paling tidak dalam catatan-catatan sejarah kenabian yang terdokumentasikan
dalam Hadits-Hadits yang tetap terjaga dan masih bisa dikonsumsi sampai saat
ini, Nabi memberikan contoh bagaimana seorang pemimpin menyelesaikan
persoalan-persoalan pribadi maupun sosial kemasyarakatan berdasarkan musyawarah
untuk tercapainya kemaslahatan.
B.Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
·
Apa pengertian dari
kepemimpinan?
·
Bagaimana cara
memilih pemimpin?
·
Bagaimana cara
pengelolaan kepemimpinan?
·
Bagaimana contoh
perealisasiannya dalam islam?
C.Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
·
Mampu
menjelaskan hakekat dari kepemimpinan
·
Memahami cara
pemilihan pemimpin
·
Mampu menjelaskan
bagaimana cara pengelolaan kepemimpinan
·
Mampu memberikan
contoh mengenai kepemimpinan islam
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Pengertian
Kepemimpinan berasal dari akar kata “pimpin” kita
mengenal kata “pemimpin” dan “kepemimpinan”.Dalam Ensiklopedi Umum, halaman 549
kata “kepemimpinan” ditafsirkan sebagai hubungan yang erat antara seorang dan
sekelompok manusia karena adanya
kepentingan bersama; hubungan Itu ditandai oleh tingkahlaku yang tertuju dan
terbimbing dari manusla yang seorang itu. Manusiaatau orang ini biasanya
disebut yang memimpin atau pemimpin, sedangkankelompok manusia yang
mengikutinya disebut yang dipimpin[1].
Islam menetapkan tujuan dan tugas utama pemimpin adalah untuk
melaksanakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta melaksanakan
perintah-perintah-Nya. Ibnu Taimyah mengungkapkan bahwa kewajiban seorang
pemimpin yang telah ditunjuk dipandang dari segi agama dan dari segi ibadah
adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pendekatan diri kepada Allah adalah
dengan menaati peraturan-peraturan-Nya dan Rasul-Nya. Namun hal itu lebih
sering disalah gunakan oleh orang-orang yang ingin mencapai kedudukan dan harta.
II.
Dalil tentang
Kepemimpinan[2]
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ
رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ
فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي
مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ
Artinya :
Dari Ibn Umar r.a.
Sesungguhnya Rasulullah Saw. Berkata :”Kalian adalah pemimpin, yang akan
dimintai pertanggungjawaban. Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarganya, dan
akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin
dirumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
Pelayan adalah pemimpin dalam mengelolaharta tuannya, dan akan dimintai
pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Oleh karena itu kalian sebagai
pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.“
Hal yang paling
mendasar yang dapat diambil dari hadis diatas adalah bahwa dalam level apapun,
manusia adalah pemimpin termasuk bagi dirinya sendiri. Setiap perbuatan dan
tindakan memiliki resiko yang harus dipertanggungjawabkan.
Setiap orang adalah
pemimpin meskipun pada saat yang sama setiap orang membutuhkan pemimpin ketika
ia harus berhadapan untuk menciptakan solusi hidup di mana kemampuan, keahlian,
dan kekuatannya dibatasi oleh sekat yang ia ciptakan sendiri dalam posisinya
sebagai bagian dari komunitas.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ
إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ
وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ
اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ
مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى
حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ
خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Artinya :
Dari Abu Hurairah
ra., dari Nabi Saw., beliau bersabda : “Ada tujuh golongan yang akan mendapat
naungan Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu :
Pemimpin yang adil, Pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah Ta’ala,
Seseorang yang hatinya senantiasa digantungkan (dipertautkan)” dengan masjid,
Dua orang saling mencintai karena Allah, yang keduanya berkumpul dan berpisah
karena-Nya. Seorang laki-laki yang ketika diajak [dirayu] oleh seorang wanita
bangsawan yang cantik lalu ia menjawab :”Sesungguhnya saya takut kepada
Allah.”Seorang yang mengeluarkan sedekah sedang ia merahasiakanny,
sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan
kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di tempat yang sepi sampai
meneteskan air mata.”
Setiap orang berhak
mengeluarkan pendapatnya dan seorang pemimpin berkewajiban mendengarkan. Ia
wajib menjalankan hasil musyawarah. Setiap keputusan yang telah disepakati
bersama wajib dilaksanakan karena itu merupakan amanat yang dibebankan
kepadanya. Dalam hadits diatas diungkapkan keutamaan seorang pemimpin yang adil
sehingga mendapatkan posisi pertama orang yang mendapatkan naungan dari Allah
pada hari kiamat. Hal ini menunjukkan begitu beratnya menjadi seorang pemimpin
untuk selalu adil dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ قَالَ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ
وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا
سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Artinya :
Dari Ibn Umar ra.,
dari Nabi Saw., sesungguhnya bliau bersabda : “Seorang Muslim wajib mendengar
dan taat terhadap perintah yang disukai maupun tidak disukainya. Kecuali bila
diperintahkan mengerjakan kemaksiatan, maka ia tidak wajib mendengar dan taat”
Secara kontekstual
hadits diatas dapat diartikan dalam berbagai dimensi. Dalam sebuah komunitas,
masyarakat dan agama setiap manusia memiliki sistem yang mengatur mereka maka
wajar sebagai bagian dari sistem tersebut untuk mematuhi aturan-aturan yang
berlaku. Namun ketaatan tersebut tidak serta merta menjadi sikap yang selalu taklid
terhadap pemimpin. Dalam Islam diajarkan tidak diperbolehkan taat atau memetuhi
pemimpin kecuali dalam batas-batas yang telah dijelaskan Allah dalam al-Qur’an
dan Hadits bahwa tidak wajib memetuhi seorang pemimpin melainkan karena Allah.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا
تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ
إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ
عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ
وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
Artinya :
Dari Abdurrahman ibn
Smurah ra. Ia berkata : Rasulullah bersabda :”Wahai Abdurrahman Ibn sammurah,
janganlah kamu meminta jabatan. Apabila kamu diberi dan tidak memintanya, kamu
akan mendapat pertolongan Allah dalam melaksanakannya. Dan jika kau diberi
jabatan karena memintanya, jabatan itu diserahkan sepenuhnya. Apabila kamu
bersumpah terhadap satu perbuatan, kemudian kamu melihat ada perbuatan yang
lebih baik, maka kerjakanlah perbuatan yang lebih baik itu.“
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلَانِ مِنْ بَنِي عَمِّي فَقَالَ أَحَدُ
الرَّجُلَيْنِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمِّرْنَا عَلَى بَعْضِ مَا وَلَّاكَ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ وَقَالَ الْآخَرُ مِثْلَ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّا وَاللَّهِ لَا
نُوَلِّي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلَا أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ
Artinya:
Dari Abu Musa
al-Asy’ari ra., ia berkata: bersama dua orang saudara sepupu, saya mendatangi
Nabi Saw. kemudian salah satu diantara keduanya berkata: Wahai Rasulullah,
berilah kami jabatan pada sebagian dari yang telah Allah kuasakan terhadapmu.
Dan yang lain juga berkata begitu. Lalu beliau bersabda: Demi Allah, aku tidak
akan mengangkat pejabat karena memintanya, atau berambisi dengan jabatan itu.
Kepemimpinan adalah
sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang
untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi lingkungan
pekerjaannya, maupun bagi lingkungan sosial dan bahkan bagi negerinya.
Berdasarkan hadits diatas dapat dipahami bahwa yang menjadi penentu adalah
masyarakat atau komunitas, bukan sikap mengharapkan sebuah jabatan dengan
meminta. Dengan meminta maka jabatan tersebut bukan lagi sebuah pengembanan
amanat masyarakat atau komunitas yang dipimpin melainkan keinginan pribadi
dengan tujuan tertentu.
Kepemimpinan adalah
tanggung jawab yang dimulai dari dalam diri kita. Kepemimpinan menuntut suatu
transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Kepemimpinan sejati
dimulai dari dalam dan kemudian bergerak ke luar untuk bertanggungjawab kepada
yang dipimpin. Disinilah pentingnya karakter dan integritas seorang pemimpin
untuk menjadi pemimpin sejati dan diterima oleh masyarakat atau komunitas yang
dipimpinnya. Kembali betapa banyak kita saksikan para pemimpin yang mengaku
wakil rakyat ataupun pejabat publik, justru tidak memiliki integritas sama
sekali, karena apa yang diucapkan dan dijanjikan ketika kampanye dalam Pemilu
tidak sama dengan yang dilakukan ketika sudah duduk nyaman di kursinya. Wallahu
A’lam
III.
Tinjauan Umum
Mengenai Kepemimpinan
Secara etimologi
kepemimpinan berarti Khilafah, Imamah, Imaroh, yang mempunyai makna daya
memimpin atau kualitas seorang pemimpin atau tindakan dalam memimpin.
Sedangkan secara terminologinya adalah suatu kemampuan untuk
mengajak orang lain agar mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan.
Dengan kata lain, kepemimpinan adalah upaya untuk mentransformasi-kan semua
potensi yang terpendam menjadi kenyataan.
Tugas dan
tanggungjawab seorang pemimpin adalah menggerakkan dan mengarahkan, menuntun,
memberi mutivasi serta mendorong orang yang dipimpin untuk berbuat sesuatu guna
mencapai tujuan. Sedangkan tugas dan tanggungjawab yang dipimpin adalah
mengambil peran aktif dalam mensukseskan pekerjaan yang dibebankannya. tanpa
adanya kesatuan komando yang didasarkan atas satu perencanaan dan
kebijakan yang jelas, maka rasanya sulit diharapkan tujuan yang telah
ditetapkan akan tercapai dengan baik. Bahkan sebaliknya, yang terjadi adalah
kekacauan dalam pekerjaan. Inilah arti penting komitmen dan kesadaran bersama
untuk mentaati pemimpin dan peraturan yang telah ditetapkan.
IV.
Kepemimpinan dalam
Islam
Ø Hakekat Kepemimpinan
Dalam pandangan
Islam, kepemimpinan merupakan amanah dan tanggungjawab yang tidak
hanya dipertanggungjawabkan kepada anggota-anggota yang dipimpinnya, tetapi
juga akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Jadi, pertanggungjawaban
kepemimpinan dalam Islam tidak hanya bersifat horizontal-formal sesama
manusia, tetapi bersifat vertical-moral, yakni tanggungjawab kepada
Allah Swt di akhirat nanti. Seorang pemimpin akan dianggap lolos dari
tanggungjawab formal di hadapan orang-orang yang dipimpinnya, tetapi belum
tentu lolos ketika ia bertanggungjawab di hadapan Allah Swt. Kepemimpinan
sebenarnya bukan sesuatu yang mesti menyenangkan, tetapi merupakan
tanggungjawab sekaligus amanah yang amat berat yang harus diemban dengan
sebaik-baiknya. Allah Swt berfirman:
“Dan orang-orang yang memelihara amanah (yang
diembankannya) dan janji mereka, dan orang-orang yang memelihara sholatnya,
mereka itulah yang akan mewarisi surga firdaus, mereka akan kekal di dalamnya”
(QS.Al Mukminun 8-9)
Seorang pemimpin harus bersifat amanah, sebab
ia akan diserahi tanggungjawab. Jika pemimpin tidak mempunyai sifat amanah,
tentu yang terjadi adalah penyalahgunaan jabatan dan wewenang untuk hal-hal
yang tidak baik. Itulah mengapa nabi Muhammad SAW juga mengingatkan agar
menjaga amanah kepemimpinan, sebab hal itu akan dipertanggungjawabkan, baik
didunia maupun diakhirat. Nabi bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan
kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” (HR. Bukhori)
Nabi Muhammad Saw juga bersabda: “Apabila amanah disia-siakan maka
tunggulah saat kehancuran. Waktu itu ada seorang shahabat bertanya: apa
indikasi menyia-nyiakan amanah itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: apabila
suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat
kehancurannya” (HR. Bukhori)
Oleh karenanya, kepemimpinan mestinya tidak
dilihat sebagai fasilitas untuk menguasai, tetapi dimaknai sebagai sebuah
pengorbanan dan amanah yang harus diemban dengan sebaik-baiknya. Kepemimpinan
juga bukan kesewenang-wenangan untuk bertindak, tetapi kewenangan untuk melayani
dan mengayomi dan berbuat dengan seadil-adilnya. kepemimpinan adalah sebuah
keteladanan dan kepeloporan dalam bertindak. Kepemimpinan semacam ini akan
muncul jika dilandasi dengan semangat amanah, keikhlasan dan nilai-nilai
keadilan.
Ø Hukum dan Tujuan Menegakkan Kepemimpinan
Pemimpin yang ideal
merupakan dambaan bagi setiap orang, sebab pemimpin itulah yang akan
membawa maju-mundurnya suatu organisasi, lembaga, Negara dan bangsa. Oleh
karenanya, pemimpin mutlak dibutuhkan demi tercapainya kemaslahatan umat.
Tidaklah mengherankan jika ada seorang pemimpin yang kurang mampu, kurang ideal
misalnya cacat mental dan fisik, maka cenderung akan mengundang kontroversi,
apakah tetap akan dipertahankan atau di non aktifkan.
Imam Al-mawardi
dalam Al-ahkam Al sulthoniyah menyinggung mengenai hukum dan
tujuan menegakkan kepemimpinan. beliau mengatakan bahwa menegakkan
kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah sebuah keharusan dalam kehidupan
bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa keberadaan
pemimpin (imamah) sangat penting, artinya, antara lain karena imamah mempunyai
dua tujuan: pertama: Likhilafati an-Nubuwwah fi-Harosati ad-Din,
yakni sebagai pengganti misi kenabian untuk menjaga agama. Dan kedua:
Wa sissati ad-Dunnya, untuk memimpin atau mengatur urusan dunia. Dengan
kata lain bahwa tujuan suatu kepemimpinan adalah untuk menciptakan rasa aman,
keadilan, kemasylahatan, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mengayomi rakyat,
mengatur dan menyelesaikan problem-problem yang dihadapi masyarakat.
Dari sinilah para
ulama’ berpendapat bahwa menegakkan suatu kepemimpinan (Imamah) dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara adalah suatu keniscayaan (kewajiban). Sebab imamah
merupakan syarat bagi terciptanya suatu masyarakat yang adil dalam kemakmuran
dan makmur dalam keadilan serta terhindar dari kehancuran dalam kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itu, tampilnya seorang pemimpin yang ideal yang
menjadi harapan komponen masyarakat menjadi sangat urgen.
Ø Kriteria Pemimpin yang Ideal dalam Islam
Imam Al Mawardi
dalam Al-ahkam Al sulthoniyyah-Nya memberikan beberapa kriteria seorang
pemimpin yang ideal agar tampilnya pemimpin tersebut dapat mengantarkan suatu
Negara yang adil dan sejahtera seperti yang diharapkan.
Seorang pemimpin
harus mempunyai sifat adil (‘adalah)
Memiliki pengetahuan
untuk memanage persoalan-persoalan yang ada kaitannya dengan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Sehat panca indranya
seperti pendengaran, penglihatan dan lisannya. Sehingga seorang pemimpin bisa
secara langsung mengetahui persoalan-persoalan secara langsung bukan dari
informasi atau laporan orang lain yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
Sehat anggota badan
dari kekurangan. Sehingga memungkinkan seorang pemimpin untuk bergerak lebih
lincah dan cepat dalam menghadapi berbagai persoalan ditengah-tengah
masyarakat.
Seorang pemimpin
harus mempunyai misi dan visi yang jelas. bagaimana memimpin dan memanage suatu
Negara secara berstruktur, sehingga ada perioritas tertentu, mana yang perlu
ditangani terlebih dahulu dan mana yang dapat ditunda sementara.
Seorang pemimpin
harus mempunyai keberanian dan kekuatan. Dalam hal ini seorang pemimpin
harus mempunyai keberanian dan kekuatan dalam menegakkan hukum dan
keadilan.
Harus keturunan
Quraisy.
Namun menurut pandangan Ibnu Khaldun dalam Muqoddimah-Nya
bahwa, hadits “Al Aimmatu min Quraisyin” (HR. Ahmad dari Anas bin Malik)
tersebut dapat dipahami secara konstektual, bahwa hak pemimpin itu bukan pada
etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa Nabi
Muhammad Saw orang yang memenuhi persyaratan sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh
masyarakat adalah dari kaum Quraisy. Oleh karena itu, apabila pada suatu saat
ada orang yang bukan dari Quraisy tapi punya kemampuan dan kewibawaan, maka ia
dapat diangkat sebagai pemimpin termasuk kepala Negara.
V.
Prinsip-Prinsip
Kepemimpinan Islam
Sebagai agama
yang sesuai dengan fitrah manusia, Islam memberikan prinsip-prinsip dasar dan
tata nilai dalam mengelola organisasi atau pemerintahan. Al-qur’an dan
As-sunnah dalam permasalahan ini telah mengisyaratkan beberapa prinsip pokok
dan tata nilai yang berkaitan dengan kepemimpinan, kehidupan bermasyarakat,
berorganisasi, bernegara (baca: berpolitik) termasuk di dalamnya ada system
pemerintahan yang nota-benenya merupakan kontrak sosial. Prinsip-prinsip atau
nilai-nilai tersebut antara lain: prinsip Tauhid, As-syura
(bermusyawarah) Al-’adalah (berkeadilan) Hurriyah Ma’a Mas’uliyah
(kebebasan disertai tanggungjawab) Kepastian Hukum, Jaminan Haq al
Ibad (HAM) dan lain sebagainya.
·
Prinsip Tauhid
Prinsip tauhid
merupakan salah satu prinsip dasar dalam kepemimpinan Islam (baca: pemerintahan
Islam). Sebab perbedaan akidah yang fundamental dapat menjadi pemicu dan pemacu
kekacauan suatu umat. oleh sebab itu, Islam mengajak ke arah satu kesatuan
akidah di atas dasar yang dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat, yaitu
tauhid. Dalam alqur’an sendiri dapat ditemukan dalam surat An-nisa’ 48, Ali
imron 64 dan surat al Ikhlas.
·
Prinsip Musyawarah (Syuro)
Musyawarah berarti
mempunyai makna mengeluarkan atau mengajukan pendapat. Dalam menetapkan
keputusan yang berkaitan dengan kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat,
paling tidak mempunyai tiga cara: 1. keputusan yang ditetapkan oleh penguasa.
2. kepeutusan yang ditetapkan pandangan minoritas. 3. keputusan yang
ditetapkan oleh pandangan mayoritas, ini menjadi ciri umum dari demokrasi,
meski perlu diketahui bahwa “demokrasi tidak identik dengan syuro”
walaupun syuro dalam Islam membenarkan keputusan pendapat mayoritas, hal itu
tidak bersifat mutlak. Sebab keputusan pendapat mayoritas tidak boleh menindas
keputusan minoritas, melainkan tetap harus memberikan ruang gerak bagi mereka
yang minoritas.
Lebih dari itu, dalam Islam suara mayoritas
tidak boleh berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat. Dalam Al-quran
ada beberapa ayat yang berbicara tentang musyawarah. Pertama: musyawarah
dalam konteks pengambilan keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan
anak-anak, seperti menyapih anak. Hal ini sebagaimana terdapat pada surat
al-Baqarah ayat 233. “apabila suami-istri ingin menyapih anak mereka
(sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan musyawarah antar mereka, maka tidak
ada dosa atas keduanya” Kedua: musyawarah dalam konteks membicarakan
persoalan-persoalan tertentu dengan anggota masyarakat, termasuk di dalamnya
dalam hal berorganisasi. Hal ini sebagaimana terdapat pada surat Ali-imron ayat
158. “bermusyawarahlah kamu (Muhammad) dengan mereka dalam urusan tertentu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakkalah kepada Allah Swt.
Sesungguhnya Allah Swt mencintai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
meskipun terdapat beberapa Al-qur’an dan As-sunnah yang menerangkan
tentang musyawarah.
Hal ini bukan
berarti al-Qur’an telah menggambarkan system pemerintahan secara tegas dan
rinci , nampaknya hal ini memang disengaja oleh Allah untuk memberikan
kebebasan sekaligus medan kreatifitas berfikir hambanya untuk berijtihad
menemukan sistem pemerintahan yang sesuai dengan kondisi sosial-kultural.
Sangat mungkin ini salah satu sikap demokratis tuhan terhadap hamba-hambanya.
·
Prinsip Keadilan (Al-’adalah)
Dalam memanage
pemerintahan, keadilan menjadi suatau keniscayaan, sebab pemerintah dibentuk
antara lain agar tercipta masyarakat yang adil dan makmur. Tidaklah berlebihan
kiranya jika al- Mawardi dalam Al-ahkam Al-sulthoniyahnya memasukkan
syarat yang pertama seorang pemimpin negara adalah punya sifat adil. Dalam
al-Qur’an, kata al-’Adl dalam berbagai bentuknya terulang dua puluh delapan
kali. Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh ulama. pertama:
adil dalam arti sama. Artinya tidak menbeda-mbedakan satu sama lain.
Persamaan yang
dimaksud adalah persamaan hak. Ini dilakukan dalam memutuskan hukum.
Sebagaimana dalam al qur’an surat an-Nisa’ 58. “Apabila kamu memutuskan
suatu perkara di antara manusia maka hendaklah engkau memutuskan dengan adil”.
Kedua: adil dalam arti seimbang. Di sini keadilan identik dengan
kesesuaian. Dalam hal ini kesesuaian dan keseimbangan tidak mengharuskan
persamaan kadar yang besar dan kecilnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan
darinya. Ini sesuai dengan al-Qur’an dalam surat al infithar 6-7 dan al Mulk 3.
ketiga: adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan
memberikan hak-hak itu kepada pemiliknya. Keempat: keadilan yang
dinisbatkan kepada Allah Swt. Adil di sini berarti memelihara kewajaran atas
berlanjutnya eksistensi.
Dalam hal ini Allah
memiliki hak atas semuanya yang ada sedangkan semua yang ada, tidak memiliki
sesuatau di sisinya. Jadi, system pemerintahan Islam yang ideal adalah system
yang mencerminkan keadilan yang meliputi persamaan hak di depan umum,
keseimbangan (keproposionalan) dalam memanage kekayaan alam misalnya,
distribusi pembangunan, adanya balancing power antara pihak pemerintah dengan
rakyatnya.
·
Prinsip Kebebasan (al-Hurriyah)
Kebebasan dalam
pandangan al-Qur’an sangat dijunjung tinggi termasuk dalam menentukan pilihan
agama sekaligus. Namun demikian, kebebasan yang dituntut oleh Islam adalah
kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan di sini juga kebebasan yang dibatasi
oleh kebebasan orang lain. Dalam konteks kehidupan politik, setiap individu dan
bangsa mempunyai hak yang tak terpisahkan dari kebebasan dalam segala bentuk
fisik, budaya, ekonomi dan politik serta berjuang dengan segala cara asal
konstitusional untuk melawan atas semua bentuk pelanggaran.
Sedangkan George R
Terry (2006 : 124), mengemukakan 8 (delapan) ciri mengenai kepemimpinan dari
pemimpin yaitu :
(1) Energik, mempunyai kekuatan mental dan fisik;
(2) Stabilitas emosi, tidak boleh mempunyai prasangka jelek terhadap bawahannya, tidak cepat marah dan harus mempunyai kepercayaan diri yang cukup besar;
(3) Mempunyai pengetahuan tentang hubungan antara manusia;
(4) Motivasi pribadi, harus mempunyai keinginan untuk menjadi pemimpin dan dapat memotivasi diri sendiri;
(5) Kemampuan berkomunikasi, atau kecakapan dalam berkomunikasi dan atau bernegosiasi;
(6) Kemamapuan atau kecakapan dalam mengajar, menjelaskan, dan mengembangkan bawahan;
(7) Kemampuan sosial atau keahlian rasa sosial, agar dapat menjamin kepercayaan dan kesetiaan bawahannya, suka menolong, senang jika bawahannya maju, peramah, dan luwes dalam bergaul;
(8) Kemampuan teknik, atau kecakapan menganalisis, merencanakan, mengorganisasikan wewenang, mangambil keputusan dan mampu menyusun konsep.
(1) Energik, mempunyai kekuatan mental dan fisik;
(2) Stabilitas emosi, tidak boleh mempunyai prasangka jelek terhadap bawahannya, tidak cepat marah dan harus mempunyai kepercayaan diri yang cukup besar;
(3) Mempunyai pengetahuan tentang hubungan antara manusia;
(4) Motivasi pribadi, harus mempunyai keinginan untuk menjadi pemimpin dan dapat memotivasi diri sendiri;
(5) Kemampuan berkomunikasi, atau kecakapan dalam berkomunikasi dan atau bernegosiasi;
(6) Kemamapuan atau kecakapan dalam mengajar, menjelaskan, dan mengembangkan bawahan;
(7) Kemampuan sosial atau keahlian rasa sosial, agar dapat menjamin kepercayaan dan kesetiaan bawahannya, suka menolong, senang jika bawahannya maju, peramah, dan luwes dalam bergaul;
(8) Kemampuan teknik, atau kecakapan menganalisis, merencanakan, mengorganisasikan wewenang, mangambil keputusan dan mampu menyusun konsep.
VI.
Contoh Kepemimpinan
Dalam Islam[3]
1.
Kepemimpinan
Rasulullah SAW
Kepemimpinan
Rasulullah Saw tidak bisa terlepas dari kehadiran beliau yaitu sebagai pemimpin
spiritual dan pemimpin rakyat. Prinsip dasar dari kepemimpinan beliau adalah
keteladanan. Dalam memimpin beliau lebih mengutamakan Uswah Al- hasanah pemberian
contoh kepada para shahabatnya. Sebagaimana digambarkan dalam Al-qur’an: ”
Dan sesungguhnya engkau Muhammad benar-benar berada dalam akhlaq yang sangat
agung” (QS. Al-qolam 4).
Keteladanan Rasulullah Saw antara
lain tercermin dalam sifat-sifat beliau, Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathonah.
Inilah karakteristik kepemimpinan Rasulullah Saw:
1.
Shiddiq, artinya jujur, tulus. Kejujuran dan ketulusan
adalah kunci utama untuk membangun sebuah kepercayaan. Dapat dibayangkan jika
pemimpin sebuah organisasi, masyarakat atau Negara, tidak mempuyai kejujuran
tentu orang-orang yang dipimpin (baca: masyarakat) tidak akan punya
kepercayaan, jika demikian yang terjadi adalah krisis kepercayaan.
2.
Amanah, artinya dapat dipercaya. Amanah dalam pandangan
Islam ada dua yaitu: bersifat teosentris yaitu tanggungjawab kepada
Allah Swt, dan bersifat antroposentris yaitu yang terkait dengan kontak
sosial kemanusiaan.
3.
Tabligh, artinya menyampaikan apa yang seharusnya
disampaikan. Dalam hal ini adalah risalah Allah Swt. Betapapun beratnya resiko
yang akan dihadapi, risalah tersebut harus tetap disampaikan dengan
sebaik-baiknya.
4.
Fathonah, artinya cerdas. Kecerdasan Rasulullah Saw yang
dibingkai dengan kebijakan mampu menarik simpati masyarakat arab. dengan sifat
Fathonahnya, rmampu memanage konflik dan problem-problem yang dihadapi ummat pada
waktu itu. Suku Aus dan Khazraj yang tadinya suka berperang, dengan bimbingan
Rasulullah Saw mereka akhirnya menjadi kaum yang dapat hidup rukun.
Dalam
kepemimpinannya, Rasulullah Saw juga menggunakan pendekatan persuasif dan tidak
menggunakan dengan kekerasan atau represif. Hal ini antara lain tampak
dalam sikap nabi ketika mengahadapi seorang badui yang baru masuk Islam yang
belum mau meninggalkan kebiasaan jeleknya. Juga beliau dalam kepimpinannya
menerapkan gaya inklusif indikasinya beliau mau dikritik dan diberi saran oleh
para shahabatnya. Ini tampak ketika beliau memimpin perang badar. Beliau pada
waktu itu hendak menempatkan pasukannya pada posisi tertentu ekat dengan mata
air. Seorang shahabat anshor bernama Hubab bin Mundhir bertanya: ya Rasulullah,
apakah keputusan itu berdasarkan wahyu, Sehingga tidak dapat berubah atau hanya
pendapat engkau? Beliau menjawab ini adalah ijtihadku. Kata Hubab, wahai
utusan Allah, ini kurang tepat, Shahabat tersebut lalu mengusulkan agar beliau
menempatkan pasukannya lebih maju ke depan, yakni kemata air yang lebih dekat,
kita bawa tempat air lalu kita isi, kemudian mata air itu kita tutup dengan
pasir, agar musuh kita tidak bisa memperoleh air. Akhirnya beliau mengikuti
saran shahabat tersebut.
2.
Kepemimpinan Al-Khulafa’
Al Rasyidin
Sepeninggal Nabi,
kepemimpinan umat Islam digantikan oleh para penggantinya yang dikenal dengan
Al-Khulafa’ Al Rasyidin. Masa Al-Khulafa’ Al Rasyidin dapat dipetakan menjadi
empat, yaitu: Abu Bakar Assiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin
Abi Thalib. System pergantian kepemimpinan dari masing-masing khalifah tersebut
berbeda-beda. Sebab Rasulullah Saw tidak pernah berwasiat tentang sistem
pergantian kepemimpinan. Alqur’an juga tidak memberi petunjuk secara jelas
bagaimana system suksesi kepemimpinan dilakukan, kecuali hanya prinsip-prinsip
umum, yaitu agar umat Islam menentukan urusannya melalui musyawarah.
Nampaknya hal itu disengaja diserahkan kepada ummat Islam agar sesuai dengan
tuntutan kemaslahatan yang ada.
Abu Bakar
ash-Shiddiq sebagai Khalifah pertama setelah meninggalnya Rasulullah Saw (11-13
H atau 632-634 M) terpilih sebagai khalifah melalui musyawarah terbuka dibalai
pertemuan Bani Saidah yang dihadiri oleh lima tokoh perwakilan dari golongan
umat Islam, anshor dan muhajirin. Yaitu, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Abu
Ubaidah bin Jarrah, Basyir bin Sa’ad dan Asid bin Khudair.
Inilah salah satu embrio demokrasi dalam
sejarah kepemimpinan Islam. setelah berakhirnya masa kepemimpinan Abu Bakar
selama kurang lebih dua tahun, terpilihlah Umar bin Khattab (12-23H atau
634-644 M), namun terpilihnya Umar bin Khattab menjadi khalifah ini atas wasiat
Abu Bakar sebelum meninggal dunia. Ini beliau lakukan, karena beliau khawatir
dan trauma adanya perselisihan di antara umat Islam, sebagaimana yang terjadi
sepeninggal Rasulullah Saw.
Sepeninggal Umar bin
Khattab, maka estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh Usman bin Affan
(23-35 H atau 644-654 M). namun system pengangkatan Usman ini berbeda
dengan system pada masa Abu Bakar dan Umar. Usman diangkat menjadi khalifah
melalui “dewan formatur” yang terdiri dari lima orang yang ditunjuk oleh
Umar sebelum beliau meninggal dunia. Yaitu, Ali bin Abi Tholib, Usman bin
Affan, Saad bin Abi Waqqas, Zubair bin Awwam, Abdurrohman bin Auf dan Thalhah
bin Ubaidillah.
Setelah Usman bin
Affan menyelesaikan tugas kepemimpinannya, maka tongkat komando kepemimpinan
Islam dipegang oleh Ali bin Abi Tholib melalui pemilihan dan pertemuan terbuka.
VII.
Demokrasi dan Islam
Diantara kaidah penting dalam ajaran Islam yang mulia ini adalah,
menyerahkan urusan yang berhubungan dengan kemaslahatan umum, seperti masalah
politik dan kemasyarakatan, kepada para ulama, yaitu orang-orang yang memiliki
ilmu yang mendalam tentang agama. Adapun orang-orang bodoh maka tidak boleh
berbicara. Jika mereka berani berbicara dan berkomentar maka akan muncul
kerusakan-kerusakan dalam masyarakat.
Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan,
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ
الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ
يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا
بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah
tidak mengangkat ilmu dengan mengangkatnya dari hati para hamba, akan tetapi
Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama, sampai ketika Allah tidak
menyisakan seorang ‘alim pun maka manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai
pemimpin-pemimpin mereka. Maka orang-orang bodoh tersebut ditanya, lalu mereka
berfatwa tanpa ilmu, mereka pun sesat dan menyesatkan.” [HR. Al-Bukhari dan
Muslim dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyalllahu’anhuma]
Juga sabda Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam,
سيأتي على الناس سنوات خداعات يصدق فيها الكاذب و يكذب فيها الصادق و
يؤتمن فيها الخائن و يخون فيها الأمين و ينطق فيها الرويبضة قيل : و ما الرويبضة ؟
قال : الرجل التافه يتكلم في أمر العامة
“Akan datang kepada
manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya, dimana pendusta dipercaya dan orang
jujur didustakan, pengkhianat diberi amanah dan orang yang amanah dikhianati,
dan berbicara di zaman itu para Ruwaibidhoh.” Ditanyakan, siapakah Ruwaibidhoh
itu? Beliau bersabda, “Orang bodoh yang berbicara dalam masalah umum.” [HR.
Al-Hakim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Al-Jami’, no. 3650]
Demikianlah yang
terjadi beberapa pekan terakhir ini dalam menyikapi pemilihan pemimpin kafir
untuk salah satu propinsi. Sampai seorang oknum MUI angkat bicara,
“Jika memang sudah
teruji adil, maka boleh memilih pemimpin yang nonmuslim.”
Seorang mantan ketua
umum Muhammadiyah juga tidak mempermasalahkan isu SARA dalam pemilihan
pemimpin, dengan alasan si pemimpin tersebut tidak akan berlaku diskriminatif,
“Pemimpin di negeri
ini baik di tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten-kota, provinsi hingga
presiden tidak akan berani melakukan diskriminasi.”
Tak ketinggalan,
pemimpin sebuah partai “Islam” pun berkomentar,
“Isu SARA jelas
tidak berproduktif.”
Dan partai tersebut
bahkan telah membuktikan beberapa tahun lalu mendukung calon walikota
nonmuslim, walaupun tidak berhasil memenangkan pemilihan.
Sebagian orang pun
beralasan asal tidak korupsi dan alasan-alasan lainnya yang berhubungan dengan
masalah “perut” masyarakat yang harus dipenuhi maka tak masalah meskipun pemimpinnya
nonmuslim. Alasan lain kata mereka, isu SARA tidak mencerdaskan dan hanya
mengkotak-kotakan, maka yang mereka inginkan adalah tidak perlu membedakan
pemimpin muslim maupun nonmuslim.
Jadi, masih
pantaskah memilih pemimpin karena agamanya?
Jawabannya
tergantung dari sisi mana kita melihat, yaitu dari dua sisi:
Pertama: Dari sisi demokrasi, benar bahwa demokrasi tidak mengharamkan
pemimpin nonmuslim, asal dipilih oleh rakyat maka seorang pencuri, perampok,
pembunuh, pezina dan orang kafir sekalipun, ‘layak’ dijadikan pemimpin.
Demokrasi itu sendiri adalah ajaran impor dari negeri-negeri kafir yang di
negeri mereka sendiri pemimpin muslim hampir mustahil terpilih. Dan
membawa-bawa Islam dalam dunia demokrasi dianggap tidak produktif, tidak
mencerdaskan dan hanya mengkotak-kotakan, kecuali dengan memaksakan Islam harus
tunduk di bawah demokrasi.
Kedua: Dari sisi ajaran Islam, ajaran yang turun dari sang Pencipta,
Pemberi rizki, Yang Menghidupkan dan Mematikan manusia, yang lebih mengetahui
apa yang terbaik untuk mereka, maka hukum memilih pemimpin nonmuslim
(baca: kafir) adalah haram berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta
KESEPAKATAN seluruh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ
مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” [Al-Maidah: 51]
Ulama besar
Syafi’iyah, Al-Imam Al-Mufassir Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan makna ayat ini,
ينهى تعالى عباده المؤمنين عن موالاة اليهود والنصارى، الذين هم أعداء
الإسلام وأهله، قاتلهم الله، ثم أخبر أن بعضهم أولياء بعض، ثم تهدد وتوعد من
يتعاطى ذلك فقال: { وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ
اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ }
“Allah ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang
beriman dari bersikap loyal kepada Yahudi dan Nasrani, karena mereka itu adalah
musuh-musuh Islam dan kaum muslimin. Kemudian Allah ta’ala mengabarkan bahwa
sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Kemudian Allah ta’ala
mengingatkan dengan keras dan mengancam siapa yang loyal kepada mereka dengan
firman-Nya, ‘Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin,
maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang lalim’.” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/132]
Juga firman Allah
ta’ala,
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا
“Dan Allah
sekali-kali tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang
yang beriman.” [An-Nisa: 141]
Ulama besar
Syafi’iyah yang lain, Al-Imam Al-‘Allamah An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
قال القاضي عياض أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر وعلى أنه
لو طرأ عليه الكفر انعزل
“Berkata Al-Qodhi
‘Iyadh, Ulama telah SEPAKAT (ijma’) bahwa kepemimpinan tidak
sah bagi seorang kafir, dan jika seorang pemimpin muslim menjadi kafir
maka harus diselengserkan.” [Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin Al-Hajjaj,
12/229]
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata,
وأن يكون مسلما لأن الله تعالى يقول ولن يجعل الله للكافرين على
المؤمنين سبيلا والخلافة أعظم السبيل ولأمره تعالى بإصغار أهل الكتاب وأخذهم بأداء
الجزية وقتل من لم يكن من أهل الكتاب حتى يسلموا
“Syarat pemimpin
haruslah seorang muslim, karena Allah ta’ala berfirman, ‘Dan Allah
sekali-kali tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai
orang-orang yang beriman.’ [An-Nisa: 141] Dan kepemimpinan adalah
sebesar-besarnya jalan (untuk menguasai kaum muslimin). Dan (kepemimpinan kaum
muslimin bagi orang kafir tidak boleh) karena Allah ta’ala memerintahkan untuk
menghinakan Ahlul Kitab, memerintahkan mereka membayar jizyah dan memerangi
orang kafir selain Ahlul Kitab sampai mereka masuk Islam.” [Al-Fishol fil
Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 4/128]
Demikianlah perbedaan
dua sisi pandang dalam menyikapi pemilihan pemimpin nonmuslim, yang pertama
adalah produk manusia yang hanya berdasarkan hawa nafsu dan kemampuan akal yang
sangat terbatas, sedang yang kedua berasal dari sang Pencipta, Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Orang yang berakal tentu mengerti dari sisi
mana sebaiknya dia memandang.
Dan sang Pencipta,
Allah jalla wa ‘ala menegaskan,
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Kebenaran itu
adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang
ragu.” [Al-Baqorah: 147]
Allah ta’ala juga
mengingatkan,
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ
وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ
“Andaikan kebenaran
itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua
yang ada di dalamnya.” [Al-Mu'minun: 71]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan dua elemen yang saling berkaitan. Artinya,kepemimpinan (style of
the leader) merupakan cerminan dari
karakter/perilaku pemimpinnya (leader behavior). Perpaduan atau sintesis antara
“leader behavior dengan leader style” merupakan kunci keberhasilan pengelolaan
organisasi; atau dalam skala yang lebih luas adalah pengelolaan daerah atau
wilayah, dan bahkan Negara.
Banyak pakar manajemen yang mengemukakan pendapatnya tentang
kepemimpinan. Dalam hal ini dikemukakan George R. Terry (2006 : 495), sebagai
berikut: “Kepemimpinan adalah kegiatan-kegiatan untuk mempengaruhi orang orang
agar mau bekerja sama untuk mencapai tujuan kelompok secara sukarela.”
Dari defenisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam
kepemimpinan ada keterkaitan antara pemimpin dengan berbagai kegiatan yang
dihasilkan oleh pemimpin tersebut. Pemimpin adalah seseorang yang dapat
mempersatukan orang-orang dan dapat mengarahkannya sedemikian rupa untuk
mencapai tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh seorang
pemimpin, maka ia harus mempunyai kemampuan untuk mengatur lingkungan
kepemimpinannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mawardi, Imam. AL-AHKAM AS-SULTHANIYYAH. Cet. 4; Jakarta : DARUL FALAH 2006.
Asy-Syaikh
Abdurrahman bin hasan, Minhajus Sunnah. Cet. Pertama; Pustaka
Ar-Rayyan, Januari 2007.
Imam Nawawi,
Ringkasan Riyadhus Sholihin, Cet. 8, Pustaka Irsyad Baitus Salam, September
2006.
Al-Bayan, Shohih
Bukhari Muslim. Cet. 1; Penerbit : Jabal 2008.
Muhammad Fuad
Abdul Baqi, Al-Lu’lu wal Marjan. Cet. 1; PT. BINA ILMU SURABAYA 2003.
No comments:
Post a Comment