Mata Kuliah: Ilmu Fiqhi
Dosen: Nur Asia Hamzah, Lc., MA
Prodi: Ilmu Hadis
JUAL BELI
OLEH:
KELOMPOK I
MUHAMMAD ZAINAL
(3070112022)
Zulkhulafair (30700112029)
NURUL FIRMAN(3070112004)
IDHAM (3070112027)
JURUSAN TAFSIR HADIS
PRODI ILMU HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR 2013
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala
puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena dengan izin dan
ridha-NYA penulis dapat merampungkan tulisan ini.
Selanjutnya
shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang telah
menata cara hidup bermasyarakat berdasarkan ajaran agama yang benar
Dalam makalah ini, kami akan
membahas tentang Etika dan tata Cara Jual-beli Dalam Islam. Semoga saja dengan
adanya makalah ini dapat menambah wawasan kita tentang Etika dalam Jual-beli
sehingga, pemahaman agama,pengendalian diri, pengalaman akhlaqul-karimah dan
pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah hendaknya dikuasai sehingga menyatu
dalam diri pelaku (pelaksana) muamalah itu.
Kami menyadari di dalam pembuatan
makalah ini, masih terdapat banyak kesalahan. Maka dari itu kami sangat
mengharapkan saran serta kritik dari pembaca.
Makassar,
17 Mei 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
pengantar................................................................................................... i
Daftar
isi............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A.
Latar belakang........................................................................................ 1
B.
Rumusan masalah................................................................................ 1
C.
Tujuan Penulisan.................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 2
A. Pengertian Jual-Beli dan Hukumnya................................................. 2
B.
Rukun Dan Syarat Jual-Beli................................................................ 4
C. Bentuk-Bentuk Jual-Beli...................................................................... 8
D. Jenis-Jenis Jual-Beli Yang Dilarang.................................................. 17
E. Hikma Jual-Beli...................................................................................... 27
BAB III PENUTUP............................................................................................. 29
A.
Kesimpulan............................................................................................. 29
DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................................... 30
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam
memang menghalalkan usaha perdagangan, perniagaan dan atau jual beli. Namun
tentu saja untuk orang yang menjalankan usaha perdagangan secara Islam,
dituntut menggunakan tata cara khusus, ada aturan mainnya yang mengatur
bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di bidang perdagangan agar
mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan akhirat.
Aturan
main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai etika yang harus dilakukan oleh
para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan dengan
menggunakan dan mematuhi etika perdagangan Islam tersebut, suatu usaha
perdagangan dan seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu
mendapat berkah Allah SWT di dunia dan di akhirat. Etika perdagangan Islam
menjamin, baik pedagang maupun pembeli, masing-masing akan saling mendapat
keuntungan
B.
Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada hal tersebut, maka penulis
akan menyajikan beberapa rumusan masalah antara lain :
a. Apakah pengertian jual beli dan Hukumnya?
b. Apakah rukun dan syarat jual beli ?
c. Menjelaskan bagaimana tata cara dan ahlak
dalam jual beli !
C.
Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas, maka adapun tujuan penulisan antara
lain :
a. Untuk mengetahui pengertian jual beli dan
hukumnya.
b. Untuk mengetahui rukun dan syarat
jual-beli.
c. Dan bagaimana akhlak kita dalam
menjalankan jual beli
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Jual-beli dan Hukumnya
Secara
etimologi ( bahasa) jual-beli (البيع) bermakna : مَقَا بَلَةُ شَسئ بشئ artinya,
menukar sesuatu dengan sesuatu , atau بل السلعة
بلتقدمتا ) menukar barang dengan uang )[1] .
Secara terminology, terdapat
beberapa definisi,diantaranya :
Oleh ulama Hanafiah didefinisikan dengan :
مُبَا دَ لَةُ مَا
لٍ بِمَا لٍ عَلَى وَ جهِ مَخصُو صٍ
Saling menukarkan harta dengan harta melalui
cara tertentu, atau
مُبَا دَ لَةُ شَئٍ
مَر غُو بٍ فِيهِ عَلَي وَ جهٍ
مُفِيدٍ مَحصُو صٍ
Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan
yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
Unsur-unsur definisi yang
dikemukakan Ulama Hanafiah tersebut adalah bahwa yang dimaksud dengan cara yang
khusus adalah ijab dan Kabul atau juga biasa melalui saling memberikan barang
dan menetapkan harga antara penjual dan pembeli. Selain itu harta yang
diperjualbelikan itu harus bermanfaat bagi manusia, seperti menjual bangkai
minuman keras dan darah tidak dibenarkan.
Dalam
definisi di atas ditekankan kepada “Hak milik dan pemilikan”, sebab ada
tukar-menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki seperti sewa-menyewa.
Kemudian dalam kaitannya dengan harta terdapat pula perbedaan pendapat antara
Mazhab Hanafi dan jumhur Ulama.
Menurut
jumhur Ulama yang dimaksud harta adalah materi dan manfaat. Oleh sebab itu,
manfaat dari suatu benda boleh diperjualbelikan. Sedangkan Ulama Mazhab Hanafi
berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan harta (Al- maal) adalah sesuatu yang
mempunyai nilai. Oleh sebab itu manfaat dan hak-hak, tidak dapat dijadikan
objek jual-beli.
Pada
masyarakat primitif, jual-beli biasanya dilakukan dengan tukar-menukar barang
(harta), tidak dengan uang seperti yang berlaku dalam masyarakat pada umumnya.
Mereka umpamanya, menukarkan rotan (hasil hutan) dengan pakaian,garam,dan
sebagainya yang menjdi keperluan pokok mereka sehari-hari. Mereka belum
menggunakan alat tukar seperti uang. Namun, pada saat ini orang yang tinggal di
pedalaman, sudah mengenal mata uang sebagai alat tukar.
Tukar-
menukar barang seperti yang berlaku pada zaman primitive, pada zaman modern ini
pun kenyataannya dilakukan oleh suatu Negara dengan Negara lain, yaitu dengan
system barter ( يَدَ ةُالمُقَا (.
Umpamanya, gandum atau beras dari luar negeri
ditukar dengan kopi atau lada dari Indonesia dalam yang sangat besar[2].
Hukumnya
Jual-beli sebagai sarana
tolong-menolong antara sesama manusia mempunyai landasan yang amat kuat dalam
islam.
Dalam al-Quran Allah berfirman:
Padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan yang riba (Al-Baqarah : 275)
Para ulama fiqih mengambil kesimpulan
bahwa jual-beli itu hukumnya mubah ( boleh ), sebagaimana yang sudah diketahui
dalam islam. Namun, menurut imam Asy-Syatibi ( ahli fiqih Mazhab Imam Maliki ),
hukumnya bias berubah menjadi wajib ketika dalam keadaan tertentu atau dalam
keadaan terpaksa. Misalnya, seseorang wajib membeli sesuatu untuk sekedar
menyelamatkan jiwa dari kebinasaan dan kehancuran, dan haram tidak membeli
sesuatu yang dapat menyelamatkan jiwa disaat darurat.
Terkadang jual-beli itu hukumnya mandub ( sunnah ),
misalnya seseorang bersumpah akan menjual barang yang tidak membahayakan bila
dijual. Dalam keadaan demikian dia disunnahkan melaksanakan sumpahnya.
Kadang-kadang juga hukumnya makruh, seperti menjual barang yang dimakruhkan
menjualnya. Dan terkadang juga hukumnya haram, seperi menjual barang yang haram
dijual.
B.
Rukun
dan Syarat Jual-beli
“Rukun” dalam jual beli
adalah sesuatu yang menjadi “gantungan” adanya perkara lain, meskipun sesuatu
itu tidak termasuk didalamnya. Rukun (unsur) adalah sesuatu yang hakiki, yang
pada asalnya adalah masuk ke dalam sesuatu. Asal dari bai’ adalah sighat.
Apabila tiada shighat, tentu kedua orang yang mengadakan akad tidak disebut bai’
(penjual) dan musytari (pembeli).
Rukun jual beli ada enam, yaitu:
a. Shighat (ucapan akad).
b. ‘Aqid (orang yang melakukan akad).
c. Ma’qud alaih (barang yang diadakan).
Ketiga rukun tersebut, masing-masing dibagi
menjadi dua, sehingga menjadi enam, yaitu:
a. Shighat, yaitu:
1) Ijab
2) Qabul
b. ‘Aqid, yaitu:
1) Penjual
dan
2) Pembeli
c. Ma’qud alaihi, yaitu:
1) Uang
(alat / harga untuk membeli
2) Barang
yang dijual
a)
Rukun
Pertama: Shighat
Shighat dalam jual beli adalah segala sesuatu yang menunjukkan
adanya kerelaan dari dua belah pihak; penjual dan pembeli. Shighat terdiri dari
dua perkara, yaitu:
1)
Perkataan dan apa
yang dapat menggantikannya, seperti seorang utusan atau sebuah surat. Apabila
seseorang mengirim surat kepada orang yang lain
Dan dia berkat dalam
suratnya: “Sesungguhnya saya jual rumahku kepadamu dengan harga sekian” , atau
dia mengutus seorang utusan kepada temannya, kemudian temannya menerima jual
beli ini dalam majelis, maka sahlah akad tersebut. Tidak diampuni baginya
berpisah kecuali sesuatu yang di ampuni dalam ucapan ketika hadirnya barang
yang dijual.
2)
Serah terima, yaitu
menerima dan menyerahkan dengan tanpa disertai sesuatu perkataanpun. Misalnya,
seseorang membeli sesuatu barang yang harganya sudah dimaklumi, kemudian ia
menerimanya dari penjual dan menyerahkan harganya kepadanya, maka dia sudah
dinyatakan memiliki barang tersebut lantaran telah menerimanya. Sama halnya
barang yang dijual itu sedikit (biaya kecil) seperti roti, telur dan yang
sejenis yang ia (dibelinya dengan sendiri-sendiri), maupun berupa batang yang
banyak (besar) seperti baju yang berharga.
Adapun perkataan adalah sesuatu lafal yang menunjukkan
(mengandung) arti menjadikan sesuatu sebagai miliknya dan memiliki. Misalnya
perkataan: (saya menjual) dan (saya membeli). Perkatan yang diucapakan penjual
dinamai ijab, dan ucapan pembeli disebut qabul mendahului ijab,
misalnya pembeli berkata: “Juallah barang ini kepadaku dengan harga sekian”.
Pelaksanaan ijab dan qabul harus memenuhi beberapa syarat,
antara lain:
a.
Hendaknya ijab
sesuai dengan qabul, baik dalam harga yang ditetapakn,sifat,mata
uang,maupun batas waktu.
b.
Ijab dan
qabul diucapkan penjual dan pembeli dalam satu majlis. Apabila dari salah
satu mereka (penjual) berkata: “Saya jual kepadamu ini barang dengan harga
seribu” , kemudian mereka (penjual dan pembeli) berpisah sebelum yang lain
(pembeli) menerimanya, maka akad jual belinya tidak sah.
c.
Antara ijab dan qabul
harus bersambung: tidak terpisah oleh sesuatu yang menunjukkan berpaling dari akad jual beli. Adapun jika ada pemisah
yang sebentar; yang sekiranya tidak memalingkan dari jalannya ijab dan qabul
menurut adat istiadat, maka hal tersebut tidaklah membahayakan.
b)
Rukun
kedua : ‘Aqaid.
‘
Aqid, yaitu orang yang melakukan akad, baik penjual maupun pembeli. Ada beberapa
syarat menyangkut ‘aqaid, antara
lain:
1.
Hendaknya penjual dan
pembeli tamyiz, sehingga tidak sah jual belinya anak-anak yang belum tamyiz,demikian
pula jual belinya orang gila. Anak-anak yang sudah tamyiz dan orang idiot,
yaitu sudah mengerti jual beli dan akibatnya, dapat menangkap maksud dari
pembicaraan orang yang berakal penuh serta dapat menjawabnya dengan baik, maka
akad jual mereka maka akad beli mereka sah, tetapi tidak dapat dilaksanakan
kecuali ada izin khusus dari walinya. Apabila seorang anak yang sudah tamyiz
membeli suatu barang yang sudah mendapat izin dari walinya, maka jual beli
tersebut sah dan harus dilaksanakan. Walinya tidak punya hak untuk menolaknya.
2.
Hendaknya si ‘aqid
itu orang yang sudah pandai (rasyidan), yaitu orang yang mengerti
tentang ketentuan hitungan. Ini adalah syarat sahnya jual beli. Maka tidak sah
jual belinya anak kecil, baik yang sudah tamyiz maupun yang belum; tidak
sah pula jual belinya orang gila, orang idiot (ma’tuh) dan pemboros luar
biasa, hingga tidak dapat memegang uang dan tidak mengenal hitung (safih).
3.
Hendaknya si ‘aqid
dalam keadaan tidak di paksa (mukhtar). Tidak sah jual belinya orang yang
dipaksa, karena firman Allah swt. Dalam Q.S. An-Nisa’ (4):29
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ [4]
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Dan sabda Rasulullah saw :
اِ نَّمَا البَيعُ
عَن تَرَ ا ضٍ (رواه ابن حبا ن)
Artinya:
Bahwasanya
jual beli itu sah atas dasar kerelaan (suka sama suka). (HR. Ibnu Hibbaan)
c)
Rukun ketiga : Ma’qud Alaih
Ma’qud Alaih
(yang diakadkan), baik menyangkut benda
yang dijual maupun alat untuk membelinya (uang), harus memenuhi bebrapa syarat,
antara lain:
1. Suci. Tidak sah ma’qud alaih berupa barang najis, baik benda yang
dijual maupun alat untuk membeli (uang).
Apabila orang menjual benda najis atau yang kena najis yang tak dapat
disucikan, maka tidak sah jual belinya. Demikian juga tidak sah alat membeli (uang)
yang najis atau terkena najis yang tak dapat disucikan.
2. Dapat diambil manfaatnya dan dibenarkan
oleh syarah.tidak sah memperjual belikan binatang, misalnya serangga yang tidak
ada manfaatnya.
3. Pada saat akad jual beli benda yang
dijual adalah milik si penjual, sehingga tidak sah memperjual belikan barang
yang bukan miliknya. Kecuali akad salam (pesanan) sah karena memperjualbelikan
barang yang akan dimiliki kemudian.
4. Dapat diserahterimakan. Tidak sah
memperjualbelikan barang yang dighasab, karena meskipun barang yang dighasab
itu miliknya, namun ia tidak dapat menyerahkan lantaran masih di tangan orang
yang ghasab. Kecuali apabila si pembeli mampu mengambil secara paksa
dari orang yang ghasab. Tidak sah juga bila barang yang digashab
itu dijual oleh si ghasib (orang yang ghasab), karena barang itu
bukan miliknya. Memperjualbelikan barang
yang dighasab telah ditafsil dalam beberapa mazhab.
5. Benda yang dijual dapat diketahui dan
uangnya juga telah diketahui, sehingga terhindar dari persengketaan. Memperjualbelikan
benda yang tidak terang; tidak dapat diketahui dengan jelas keadaannya yang
menimbulkan percekcokan adalah tidak sah.
6. Akad jual beli itu tidak dibatasi
waktunya. Misalnya, si penjual berkata kepada si pembeli: “Aku jual kepadamu
unta ini selama satu tahun dengan harga sekian[5].
C.
Bentuk-Bentuk Jual Beli
1. Murabaha
Secara
bahasa murabahah berasal dari kata Ar-Ribhu yang berarti النَّمَاءُ
(an-namaa’) yang berarti tumbuh dan berkembang, atau murabahah
juga berarti Al-Irbaah, karena salah satu dari dua orang yang
bertransaksi memberikan keuntungan kepada yang lainnya (Ibnu Al-Mandzur., hal.
443.).
Sedangkan
secara istilah, Bai'ul murabahah (murabahah) adalah:
D.
بَيْعٌ بِمِثلِ الثمَنِ الأوَّلِ مَعَ
زِيَادَةِ رِبْحٍ مَعلُوْمٍ
Yaitu jual
beli dengan harga awal disertai dengan tambahan keuntungan (Azzuhaili, 1997.,
hal. 3765). Definisi ini adalah definisi yang disepakati oleh para ahli fiqh,
walaupun ungkapan yang digunakan berbeda-beda. (Asshawy, 1990., hal.198.)
a) Bila seorang penjual mengatakan:
“Saya jual dengan harga beli saya atau dengan harga perolehan saya disertai
dengan keuntungan sekian”.
b) Bila seorang penjual mengatakan:
“Saya jual dengan biaya-biaya yang telah saya keluarkan disertai dengan
keuntungan sekian”
c) Bila seorang penjual mengatakan:
“Saya jual dengan ra’sul maal (harga pokok) disertai dengan keuntungan
sekian”
Para ulama berbeda pendapat tentang lafazd
ketiga ini, apakah ia sama dengan ungkapan yang pertama atau kedua?.
Menurut
As-Shawy (1990., hal.199.), ungkapan tersebut tergantung pada al-‘urf
(kebiasaan suatu tempat), bila kebiasaan dalam perdagangan ditempat itu
menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan harga pokok adalah harga beli saja dan
tidak termasuk biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut
maka ungkapan ketiga ini masuk kategori ungkapan yang pertama. Adapun bila
kebiasaan menunjukkan bahwa harga pokok adalah harga beli ditambah dengan
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperolehnya maka ia masuk kategori
ungkapan yang kedua (As-Shawy, 1990., hal. 199-200.).
Gambaran
transaksi jual beli murabahah ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ulama
Malikiyah, adalah jual beli dimana pemilik barang menyebutkan harga beli
barang tersebut, kemudian ia mengambil keuntungan dari pembeli baik secara
sekaligus dengan mengatakan, saya membelinya dengan harga sepuluh dinar dan
anda berikan keuntungan kepadaku sebesar satu dinar atau dua dinar",
atau merincinya dengan mengatakan, anda berikan keuntungan sebesar satu dirham
per satu dinarnya. Atau bisa juga ditentukan dengan ukuran tertentu maupun
dengan menggunakan porsentase (Ibnu Jazy, hal. 263.).
Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan
mengatakan, pemindahan sesuatu yang dimiliki dengan akad awal dan harga awal
disertai tambahan keuntungan.
Menurut Ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah, murabahah
adalah jual beli dengan harga pokok atau harga perolehan penjual ditambah keuntungan
satu dirham pada setiap sepuluh dinar atau semisalnya, dengan
syarat kedua belah pihak yang bertransaksi mengetahui harga pokok.
Disamping jual beli murabahah,
dalam fiqh al-muamalah ada empat jenis jual beli lainnya (Az Zuhaily,
hal.3766), yaitu:
1. Jual beli al-musawamah
(ba'iu al musawamah), yaitu menjual dengan harga berapapun tanpa melihat
kepada harga pokok atau harga perolehan saat pembelian awal. Jual beli ini yang
biasa dilakukan.
2. Jual beli at-tauliyah (bai'u
at tauliyah), yaitu menjual dengan harga pokok atau harga perolehan tanpa
tambahan keuntungan.
3. Jual beli isytiraak (bai'u
al isytiraak), sama dengan jual beli at-tauliyah, perbedaannya
adalah menjual sebagian obyek jual beli dengan sebagian harga.
4. Jual beli al-wadhi'ah (bai'u
al wadhi'ah) yaitu menjual sama dengan harga pokok atau harga perolehan,
dengan mengurangi atau memberikan potongan harga.
2. Assalam
Diantara bukti kesempurnaan agama
Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan
suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai
pada saat akad dilaksanakan. Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini
kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau ghoror
dan untung-untungan (spekulasi).
Bai’ salam adalah akad jual beli
dimana barang yang diperjualbelikan masih belum ada dan akan diserahkan secara
tangguh sementara pembayarannya dilakukan secara tunai di muka. Namun
spesifikasi dan harga barang pesanan harus telah disepakati di awal akad.
Akad salam adalah akad yang sering
digunakan oleh perbankan syari’ah dalam bentuk pertukaran jual beli. Akad ini
terjadi ketika bank melakukan pembiayaan kepada sebuah perusahaan manufaktur,
petani , atau produsen barang lainnya. Biasanya pembiayaan ini dibatasi jangka
waktu yang relative pendek. Bank akan bertindak sebagai pembeli dan produsen
sebagai pembeli.
Dalam hal ini bank biasanya akan
menjualnya lagi kepada pembeli kedua dengan akad salam. Maka dalam
praktiknya pembeli (nasabah) akan mengajukan spesifikasi barang yang diinginkan
kepada bank. Kemudian bank akan memesan kan barang tersebut kepada produsen
dalam bentuk pembiayaan. Maka disini kita kenal istilah Salam Paralel antara
pembeli kedua, bank, dan produsen.
Akad salam menguntungkan kedua belah
pihak yang melakukan transaksi, dan sangat jauh dari praktek riba. Pembeli
(biasanya) mendapatkan keuntungan berupa:
1. Jaminan untuk mendapatkan barang
sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
2. Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang
lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada
barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
1. Penjual mendapatkan modal untuk
menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan
dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama
belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk
menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada
kewajiban apapun.
2. Penjual memiliki keleluasaan dalam
memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi
dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
●Landasan Syari’ah
Akad bai’ salam diperbolehkan
dalam akad jual beli. Berikut penulis paparkan dalil-dalil (landasan
syari’ah)yang terdapat dalam Al-Quran, Sunnah, dan pendapat ulama.
a. Dalam surat Al-Baqarah ayat 282
Allah telah menjelaskan tata cara mu’amalah dalam hutang piutang.
Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar……
Dari ayat ini dapat kita pahami
bahwa Allah telah membolehkan melakukan akad jual beli secara tempo. Maka
hendaknya melakukan pencatatan untuk menghindari perselisihan di kemudian hari.
Mujahid dan Ibnu Abbas berkata, ayat
ini diturunkan oleh Allah untuk memberikan legalisasi akad salam yang dilakukan
secara tempo, Allah telah memberikan izin dan menghalalkannya, kemudian Ibnu
Abbas membacakan ayat tersebut (Ibnu Katsir, jilid I, hal. 500)
b. Barang siapa melakukan salam,
hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas,
untuk jangka waktu yang diketahui” Hadits riwayat Imam BUkhari dari Ibnu Abbas
merupakan dalil yang secara sharih menjelaskan tentng keabsahan jual beli
salam.
Berdasrkan atas ketentuan dalam
hadits ini, dalam praktik jual bei salam harus ditentukan spesifikasi barang
secara jelas, baik dari sisi kualitas, kuantitas, ataupun waktu penyerahannya,
sehingga tidak terjadi perselisihan.
c.
Sahabat Ibnu Abbas r.a berkata:
Saya bersaksi bahwa jual-beli As Salaf yang terjamin hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan Allah dalam Al Qur'an, Allah Ta'ala berfirman (artinya): "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya." (Riwayat As Syafi'i, At Thobary, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Al Hakim dan Al Baihaqy, dan dishohihkan oleh Al Albany)
d. Kesepakatan ulama (ijma) akan
diperbolehkannya jual beli salam dikutip dari pernyataan Ibnu Munzir yang
mengatakan bahwa, semua ahli ilmu telah sepakat bahwa jual beli salam
diperbolehkan. (Zuhaili, 1989, hal. 568)
●Rukun dan Syarat jual beli Salam
Walau demikian, sebagaimana dapat
dipahami dari hadits di atas, jual-beli salam memiliki beberapa ketentuan
(persyaratan) yang harus diindahkan. Persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan
untuk mewujudkan maksud dan hikmah dari disyari'atkannya salam, serta
menjauhkan akad salam dari unsur riba dan ghoror (untung-untungan/spekulasi)
yang dapat merugikan salah satu pihak. Dalam jual beli salam, terdapat rukun
yang harus dipenuhi, yaitu:
a.
Pembeli (muslam)
b. Penjual (muslam ilaih)
c.
Modal / uang (ra’sul maal)
Modal
mempunyai syarat tertentu pula, yaitu:
-
Jelas spesifikasinya, baik jenis,
kualitas, dan jumlahnya.
-
Harus diserahkan saat terjadinya
akad.
d. Barang (muslam fiih).
Barang yang menjadi obyek transaksi
harus telah terspesifikasi secara jelas dan dapat diakui sebagai hutang. Sedangkan
syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:
a.
Pembayaran dilakukan dimuka (kontan)
b. Dilakukan pada barang-barang yang
memiliki criteria jelas
c.
Penyebutan criteria barang dilakukan
saat akad dilangsungkan
d. Penentuan tempo penyerahan barang
pesanan
e. Barang pesanan tersedia pada saat
jatuh tempo
f. Barang Pesanan Adalah Barang yang
Pengadaannya Dijamin Pengusaha
3.
Istishna’
Istishna’ adalah jual beli
dimana barang yang diperjualbelikan masih belum ada dan akan diserahkan secara
tangguh sementara pembayarannya dilakukan secara angsuran. Namun spesifikasi
dan harga barang pesanan harus telah disepakati di awal akad.
Akad Istishna' ialah akad yang
terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang
atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang
sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara
keduanya. (Badai'i As shanaai'i oleh Al Kasaani 5/2 & Al Bahrur
Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185)
2) Hukum akad Istishna’
Ulama' fiqih sejak dahulu telah
berbeda pendapat dalam permasalahan ini ke dalam dua pendapat:
Pendapat pertama: Istishna' ialah akad yang tidak benar alias batil dalam syari'at islam. Pendapat ini dianut oleh para pengikut mazhab Hambali dan Zufar salah seorang tokoh mazhab Hanafi.
Pendapat pertama: Istishna' ialah akad yang tidak benar alias batil dalam syari'at islam. Pendapat ini dianut oleh para pengikut mazhab Hambali dan Zufar salah seorang tokoh mazhab Hanafi.
Ulama' mazhab Hambali melarang akad
ini berdalilkan dengan Hadits Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu:
"Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, An Nasa'i, At Tirmizy, Ibnu Majah, As Syafi'i, Ibnul Jarud, Ad Daraquthny, Al Baihaqy 8/519 dan Ibnu Hazem)
Pada akad istishna' pihak ke-2 yaitu produsen telah menjual barang yang belum ia miliki kepada pihak pertama, tanpa mengindahkan persyaratan akad salam. Dengan demikian, akad ini tercakup oleh larangan dalam hadits di atas. (Al Furu' oleh Ibnu Muflih 14/18 & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185.)
Sebagaimana mereka juga beralasan: Hakikat istishna' ialah menyewa jasa produsen agar ia mengolah barang miliknya dengan upah yang disepakati. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114)
Pendapat kedua: Istishna' adalah salah satu bentuk akad salam, dengan demikian akad ini boleh dijalankan bila memenuhi berbagai persyaratan akad salam. Dan bila tidak memenuhi persyaratan salam, maka tidak dibenarkan alias batil. Ini adalah pendapat yang dianut dalam mazhab Maliki & Syafi'i.
Ulama' yang berfatwa dengan pendapat kedua ini berdalilkan dengan dalil-dalil yang berkaitan dengan akad salam. Bila demikian adanya, berdasarkan pendapat ke dua ini, maka dapat disimpulkan bahwa bila pihak 1 (pemesan) tidak mendatangkan bahan baku, maka berbagai persyaratan salam harus dipenuhi.
Akan tetapi bila pihak 1 (pemesan) mendatangkan bahan baku, maka yang terjadi adalah jual/sewa jasa dan bukan salam, maka berbagai persyaratan pada akad sewa jasa harus dipenuhi, diantaranya yang berkaitan dengan tempo pengerjaan, dan jumlah upah.
Pendapat ketiga: Istishna' adalah akad yang benar dan halal, ini adalah pendapat kebanyakan ulama' penganut mazhab Hanafi dan kebanyakan ulama' ahli fiqih zaman sekarang. (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/138, Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114, & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185, Suq Al Auraaq Al Maaliyah Baina As Sayari'ah Al Islamiyyah wa An Nuzhum Al Wad'iyyah oleh Dr Khursyid Asyraf Iqbal 448
D. Jenis-jenis Jual
Beli Yang Dilarang
Rasulullah saw. Melarang
sejumlah jual beli, karena didalamnya terdapat gharar yang membuat
manusia memakan harta orang lain dengan batil dan didalamnya terdapat unsur
penipuan yang menimbulkan dengki, konflik, dan permusuhan di antara kaum
muslimin.
1. Menjual di atas jualan saudaranya
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَبِعِ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ
يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ
“Janganlah
seseorang menjual di atas jualan saudaranya. Janganlah pula seseorang khitbah
(melamar) di atas khitbah saudaranya kecuali jika ia mendapat izin akan hal itu”
(HR. Muslim no. 1412)
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَبِيعُ
بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ
“Janganlah
seseorang di antara kalian menjual di atas jualan saudaranya” (HR.
Bukhari[6])
2.
Jual beli najesy
Yang dimaksud
adalah seseorang sengaja membuat harga barang naik padahal ia tidak bermaksud
membeli dan dia mendorong yang lain untuk membelinya, akhirnya pun membeli atau
ia memuji barang yang dijual sehingga orang lain membeli padahal tidak sesuai
kenyataan.
Dalil
terlarangnya jual beli semacam ini disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
يَبْتَاعُ الْمَرْءُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ ، وَلاَ تَنَاجَشُوا ، وَلاَ يَبِعْ
حَاضِرٌ لِبَادٍ
“Janganlah
seseorang menjual di atas jualan saudaranya, janganlah melakukan najesy dan
janganlah orang kota menjadi calo untuk menjualkan barang orang desa”
(HR. Bukhari[7])
Najesy
berdasarkan hadits di atas dihukumi haram, demikian pendapat jumhur. Namun
jumhur (mayoritas) ulama memandang bahwa jual beli najesy tetap sah karena
najesy dilakukan oleh orang yang ingin menaikkan harga barang –namun tidak
bermaksud untuk membeli- sehingga tidak mempengaruhi rusaknya akad[8].
Ulama Hambali
berpendapat bahwa jika dalam jual beli najesy terdapat ghoban (beda harga yang
amat jauh dengan harga normal), maka pembeli punya hak khiyar (pilihan) untuk
membatalkan jual beli[9].
Sedangkan jual
beli pada sistem lelang (dikenal dengan istilah “muzayadah”), itu dibolehkan.
Jual beli lelang setiap yang menawar ingin membeli, beda halnya dengan najesy
yang cenderung merugikan pihak lain karena tidak punya niatan untuk membeli.
3. Talaqqil
jalab atau talaqqi rukban
Yang dimaksud dengan jalab adalah barang yang diimpor dari tempat
lain. Sedangkan rukban yang dimaksud adalah pedagang dengan menaiki tunggangan.
Adapun yang dimaksud talaqqil jalab atau talaqqi rukban adalah
sebagian pedagang menyongsong kedatangan barang dari tempat lain dari orang
yang ingin berjualan di negerinya, lalu ia menawarkan harga yang lebih rendah
atau jauh dari harga di pasar sehingga barang para pedagang luar itu dibeli
sebelum masuk ke pasar dan sebelum mereka mengetahui harga sebenarnya.
Jual beli seperti ini diharamkan menurut jumhur (mayoritas ulama)
karena adanya pengelabuan.
Dari Abu Hurairah,
ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُتَلَقَّى
الْجَلَبُ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari talaqqil jalab” (HR. Muslim[10])
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata,
كُنَّا نَتَلَقَّى الرُّكْبَانَ فَنَشْتَرِى مِنْهُمُ الطَّعَامَ ،
فَنَهَانَا النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى يُبْلَغَ
بِهِ سُوقُ الطَّعَامِ
“Dulu kami pernah
menyambut para pedagang dari luar, lalu kami membeli makanan milik mereka. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas melarang kami untuk melakukan jual beli
semacam itu dan membiarkan mereka sampai di pasar makanan dan berjualan di sana”
(HR. Bukhari[11])
Jika orang luar yang
diberi barangnya sebelum masuk pasar dan ia ketahui bahwasanya ia menderita
kerugian besar karena harga yang ditawarkan jauh dengan harga normal jika ia
berjualan di pasar itu sendiri, maka ia punya hak khiyar untuk membatalkan jual
beli (Lihat Syarh ‘Umdatul Fiqh, 2: 805). Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَلَقَّوُا الْجَلَبَ.فَمَنْ تَلَقَّاهُ فَاشْتَرَى مِنْهُ
فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ
“Janganlah
menyambut para pedagang luar. Barangsiapa yang menyambutnya lalu membeli barang
darinya lantas pedagang luar tersebut masuk pasar (dan tahu ia tertipu dengan
penawaran harga yang terlalu rendah), maka ia punya hak khiyar (pilihan untuk
membatalkan jual beli)” (HR. Muslim[12])
Jika jual beli
semacam ini tidak mengandung dhoror (bahaya) atau tidak ada tindak penipuan
atau pengelabuan, maka jual beli tersebut sah-sah saja. Karena hukum itu
berkisar antara ada atau tidak adanya ‘illah (sebab pelarangan).
4.
Jual beli pada Azan kedua Hari Jum’at.
Seorang muslim tidak boleh menjual sesuatu atau membeli sesuatu
jika azan kedua shalat jum’at telah dikumandangkan dan khatib telah naik
mimbar, karena Allah swt. Berfirman dalam Q.S.Al-Jum’ah (62) : 9
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÏqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqt ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) Ìø.Ï «!$# (#râsur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºs ×öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ
Hai orang-orang beriman,
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475][13].
yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
5.
Menimbun Barang
Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ
"Tidak boleh
menimbun barang, jika tidak, maka ia termasuk orang yang berdosa" (HR.
Muslim[14])
Imam Nawawi berkata,
"Hikmah terlarangnya menimbun barang karena dapat menimbulkan mudhorot
bagi khalayak ramai." (Syarh Shahih Muslim, 11: 43). Artinya di sini jika
menimbun barang tidak menyulitkan orang lain maka tidak ada masalah. Seperti misalnya
kita membeli hasil panen di saat harga murah. Lalu kita simpan kemudian kita
menjualnya lagi beberapa bulan berikutnya ketika harga menarik, maka seperti
ini tidak ada masalah karena jual beli memang wajar seperti itu. Jadi, larangan
memonopoli atau yang disebut ihtikar, maksudnya ialah membeli barang
dengan tujuan untuk mempengaruhi pergerakan pasar. Dengan demikian ia membeli
barang dalam jumlah besar, sehingga mengakibatkan stok barang di pasaran
menipis atau langka. Akibatnya masyarakat terpaksa memperebutkan barang
tersebut dengan cara menaikkan penawaran atau terpaksa membeli dengan harga
tersebut karena butuh.
Al Qodhi Iyadh rahimahullah
berkata, "Alasan larangan penimbunan adalah untuk menghindarkan segala hal
yang menyusahkan umat Islam secara luas. Segala hal yang menyusahkan mereka
wajib dicegah. Dengan demikian, bila pembelian suatu barang di suatu negeri
menyebabkan harga barang menjadi mahal dan menyusahkan masyarakat luas, maka
itu wajib dicegah, demi menjaga kepentingan umat Islam. Pendek kata, kaedah
'menghindarkan segala hal yang menyusahkan' adalah pedoman dalam masalah
penimbunan barang." (Ikmalul Mu'lim, 5: 161).
Adapun jika menimbun
barang sebagai stok untuk beberapa bulan ke depan seperti yang dilakukan oleh
beberapa pihak grosir, maka itu dibolehkan jika tidak memudhorotkan orang
banyak (Shahih Fiqh Sunnah, 4: 395).
6.
Jual beli dengan penipuan atau pengelabuan
Dari Abu Hurairah,
ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ
طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ. قَالَ أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ
الطَّعَامِ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى كَىْ يَرَاهُ »
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau
memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang
basah, maka pun beliau bertanya, "Apa ini wahai pemilik makanan?"
Sang pemiliknya menjawab, "Makanan tersebut terkena air hujan wahai
Rasulullah." Beliau bersabda, "Mengapa kamu tidak meletakkannya di
bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu
maka dia bukan dari golongan kami." (HR. Muslim[15])
Jika dikatakan tidak termasuk golongan kami, maka itu menunjukkan perbuatan
tersebut termasuk dosa besar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي
النَّارِ.
“Barangsiapa yang
menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan,
tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban[16])
Jual beli yang
mengandung penipuan ini di antaranya adalah jual beli najesy yang sudah dibahas
di atas. Contoh bentuk jual beli ini adalah jual beli yang dilakukan dengan
mendiskripsikan barang melalui gambar, audio atau tulisan dan digambarkan
seolah-olah barang tersebut memiliki harga yang tinggi dan menarik, padahal ini
hanyalah trik untuk mengelabui pembeli. Termasuk pula adalah jual beli dengan
menyembunyikan ‘aib barang dan mengatakan barang tersebut bagus dan masih baru,
padahal sudah rusak dan sudah sering jatuh berulang kali. Intinya, setiap
tindak penipuan dalam jual beli menjadi terlarang.
7.Hak khiyar (ا لخِيَا ر)
Untuk menjaga jangan
sampai terjadi perselisihan antara pembeli dengan penjual, maka syari’at islam
memberikan hak khiyar, yaitu hak memilih untuk melangsungkan atau tidak jual
beli tersebut, karena ada suatu hal bagi kedua bela pihak. Hak khiyar itu dapat
di bagi menjadfi beberapa bagian:
a.) Khiyar Majlis (خِيا رُ المَجلسِ)
Khiyar majlis ialah
kedua belah pihak yang melakukan akad mempunyai hak pilih untuk meneruskan atau
membatalkan akad jual-beli selama masih berada dalam satu majlis (tempat) atau
took, seperti jual-beli atau sewa menyewa, sebagaimana sabda rasulullah SAW:
اِ ذَا تَبَا يَعَ الرُّ جُلاِ نِ فَلِكُلِّ وَا حِدٍ مِنهُمَا
بِلخِيَا رِ مَ لَم يَتَفَرَّ قا.......(رواه البخا ري و مسلم)
“Apabila dua orang melakukan akad jual-beli,
maka masing-masing pihak mempunyai hak pilih, selama keduanya belum berpisah
badan….(HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut ulama Mazhab syafi’I dan Hambali, masing-masing pihak
berhak mempunyai khiyar selama masih berada dalam satu majlis, sekalipun sudah
terjadi ijab dan Kabul. Berbeda dengan Mazhab dan Maliki, bahwa suatu akad
telah dipandang sempurna, apabila telah terjadi ijab dan Kabul. Ijab dan kabul
itu terjadi setelah ada kesepakatan dan saling suka sama suka (lihat Surat
An-Nisa’:29 dan Surat Al-maidah:1 yang telah disebutkan terdahulu).
b.) Khiyar Syarath ( الشَر طِخِيا رُ)
Khiyar Syarath ialah yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang
berakad atau keduanya , apakah meneruskan atau membatalkan akad itu selama
dalam teggang waktu yang disepakati bersama. Umpamanya , pembeli mengatakan:
“saya akan membeli barang anda ini dengan ketentuan diberi tenggang waktu
selama tiga hari “. Sesudah tiga hari tidak ada berita, berarti akad itu batal.
pada ulama fikih sependapat mengatakan, bahwa khiyar syarat ini di perboleh
kan untuk menjaga (memelihara) hak pembeli dari unsur penipuan yang mungkin
terjadi dari pihak penjual.
c.) Khiyar ‘Aib (خِيَا رُ
العَيبِ)
Khiyar ‘aib ialah ada hak pilih dari kedua belah pihak yang
melakukan akad, apabila terdapat suatu cacat pada benda yang diperjualbelikan
dan cacat itutidak diketahui pemiliknya pada saat akad berlangsung. Umpamanya ,
sesorang membeli telur ayam beberapa kilo. Setelah dipecahkan ada yang busuk
atau sudah menjadi anak. Dalam kasus seperti ini, ada hak khiyar bagi pembeli,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
المُسلِمُ اَ خُو المُسلِمِ لاَ يَحِلُّ لِمسلِمِ بَا عَ مِن اَ خِيهِ
بَيعًا وَ فِيهِ عَيبٌ اِ لاَّ بَيَّنَهُ لَهُ ( رواه ابن ما جه)
“Sesama muslim bersaudara,
tidak halal (boleh) bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim yang
lain, padahal pada barang itu terdapat cacat (‘aib). “ (HR. Ibnu Majah)
Seorang muslim yang
benar, tidak boleh menyembunyikan ‘aib yang ada pada barang yang akan
dijualnya. Pihak pembelipun harus cermat memilih barang yang akan dibelinya.
d.) Khiyar
Ru’yah (خِيَا رُ الرُ ؤ يَةِ)
Khiyar ru’yah adalah
ada hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual-beli yang
ia lakukan terhadap suatu obyek yang belum ia lihat pada saat akad berlangsung.
Jumhur Ulama
(Hanafiah, Malkiyah, Hanabilah, dan Zahariyah), menyatakan, bahwa khiyar
ru’yah disyari’atkan dalam islam, sebagaiman Sabda Rasulullah SAW:
مَن اشَرَ ى شَيعًا لَم يَرَهُ فَهُوَ بِا الخِيَا رِ اِ ذَ رَاه (ر واهالدارقطن)
“Siapa
yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah
melihat barang itu. “ (HR. Daru-Qutnhi)
Pembeli dapat
menentukan sikapnya pada saat telah melihat barang itu, apakah ia
langsungkanakad itu atau tidak (batil).
Tujuan khiyar ini
adalah agar jual beli tesebut tidak merugikan salah satu pihak, dan unsur-unsur
keadilan serta kerelaan benar-benar tercipta dalam suatu akad (transaksi)
jual-beli[17].
E. Hikmah Jual Beli
Dari uraian makalah
diatas dapat disimpulkan:
1. Allah swt mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan
keleluasaan kepada hamba-hambaNYa, karena semua manusia secara pribadi mempunyai
kebutuhan berupa sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan seperti ini tak pernah
putus selama manusia masih hidup. Tidak seorang pun dapat memnuhi hajatnya
sendiri, karena itu manusia dituntut untuk berhubungan antara satu sama
lainnya. Dalam hubungan ini, tidak ada satu halpun yang lebih sempurna daripada
saling tukar seseorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia
memperoleh sesuatu yang berguna bagi orang lain sesuai dengan kebutuhan
masing-masing.
2. Kehidupan menjadi terjamin dan tertib karena masing-masing bangkit
untuk menghasilkan sesuatu yang menjadi sarana hidup.
3. Masing-masing pihak merasa puas. Penjual melepas barang dagangannya
dengan ikhlas dan menerima uang, sedangkan pembeli menerima barang dagangan
dengan puas pula. Dengan demikian, jual beli juga mampu mendorong untuk saling
bantu antara keduanya dalam kebutuhan sehari-hari.
jual beli juga dapat menjauhkan sesorang dari
memakan atau memiliki barang yang haram atau dengan cara bathil. Alla swt.
Berfirman dalam Q.S. An-Nisa (4):29
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu[18]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1.
Oleh ulama Hanafiah
jual-beli didefinisikan dengan Saling menukarkan harta dengan harta melalui
cara tertentu, atau Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan
melalui cara tertentu yang bermanfaat.
2.
Rukun jual beli ada
enam, yaitu:Shighat (ucapan akad),‘Aqid (orang yang melakukan
akad),Ma’qud alaih (barang yang diadakan).Ketiga rukun tersebut, masing-masing
dibagi menjadi dua, sehingga menjadi enam, yaitu:Shighat,(Ijab, Qabul)‘Aqid,
(Penjual dan Pembeli)Ma’qud alaihi, (Uang dan Barang yang dijual)
3.
Jenis-jenis jual beli yang dilarang di antaranya : Menjual diatas jualan
saudaranya, Jual beli najesy, Talaqqil jalab atau talaqqi rukban, Jual beli pada Azan kedua Hari Jum’at, menimbun barang, dan jual
beli dengan cara penipuan
4.
Hak khiyar terbagi
menjadi beberapa bagian masing-masing diantaranya khiyar majlis, khiyar ‘aibi,
khiyar ru’yah,khiyar syarath
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H.
Minhajuddin, MA. Hikmah & Filsafat Fikih Mu’amalah Dalam Islam
M.ali hasan, Berbagai
macam Transaksi dalam islam (fiqhi Muamalat)
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40: 118-119
Departemen Agama, al-Qur’an dan
Terjemaahannya, Juz I (Cet. VIII; Bandung: Diponegoro, 2008), h.
Hadist-hadist imam Muslim no. 1515).
[1]
Hikmah dan Filsafat Fiqhi Muamalah Dalam islam Hal. 99 (Prof. Dr. H.
Minhajuddin, MA)
[2]
Berbagai Macam Transaksi dalam Islam Hal.113 (M. ALI HASAN)
[3]
Departemen Agama, al-Qur’an dan
Terjemaahannya, Juz I (Cet. VIII; Bandung: Diponegoro, 2008), h.
[4] Al-Hikmah: Departemen Agama, al-Qur’an dan
Terjemaahannya, Juz I (Cet. VIII; Bandung: Diponegoro, 2008), h. 7.
[5]
Hikmah & filsafat FIKIH MU’AMALAH DALAM ISLAM Hal.(110-115)
[6] No. 2139
[10] No. 1519).
[11] No. 2166).
[12] No. 1519).
[13]
[1475] Maksudnya: apabila imam telah naik
mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at, Maka kaum muslimin wajib
bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya.
[14] no. 1605).
[15] no. 102).
[16] 2: 326. Hadits ini shahih
sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1058).
[17]
Berbagai Macam Transaksi dalam Islam Hal.113 (M. ALI HASAN)
[18] Q.S. An-Nisa (4):29 Departemen Agama, al-Qur’an dan
Terjemaahannya, Juz I (Cet. VIII; Bandung: Diponegoro, 2008), h. 7.
No comments:
Post a Comment