Dosen pembimbing : Abd.Fattah,S.Th.i,M.Th.i
Mata Kuliah
: Ilmu Hadits
SYARAT-SYARAT PERIWAYAT HADITS DAN
PROSES TRANSFORMASI
DISUSUN OLEH KELOMPOK VIII :
v HASVIRAH HASYIM NUR
v NUR ZAKIYYAH BAKTI
v MUSDALIFAH
STATE ISLAMIC UNIVERSITY
OF ALAUDDIN MAKASSAR
2012/2013
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan kami rahmat dan kemampuan yang memadai, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini .
Shalawat serta salam, kami haturkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw yang telah memperjuangkan agama islam,
sehingga kita masih dapat berada pada jalan islam hingga saat ini.
Hadits bukanlah hal yang mudah untuk
dipelajari, namun hal tersebut bukanlah alasan yang dapat menghalangi kita
mempelajari hadits. Oleh karna itu, penulis menyajikan makalah yang membahas
tentang hadits, terkhususnya pada masalah syarat-syarat periwayat hadits dan
proses transformasinya. Penulis sangat berharap, tulisan ini dapat membantu
pembaca untuk memahami hadits. Dengan do’a penuh cinta, penulis mepersembahkan
makalah ini kepada pembaca, semoga saja dapat menjadi pedoman.
Demikian
dari penulis,wassalam.
Makassar
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Rumusan
masalah………………………………..…………………………………………….…..1
BAB II PEMBAHASAN
A. Syarat-syarat Periwayat
Yang Tsiqah
B. Tahammul Wa Al-Ada’
Hadits Serta Lambang-Lambang Shighat Yang Digunakan
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Kritik dan saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam menyampaikan suatu
hadits,kebanyakan orang tidak peduli terhadap yang meriwayatkannya. Yang mereka
lihat hanyalah isinya.sedangkan diketahui,bahwa untuk mencapai isi dari suatu
hadits,maka dibutuhkan adanya perawi. Adanya perawi,belum bisa menjamin bahwa
hadits tersebut kualitasnya shahih atau tidak. Maka dibutuhkan pengetahuan yang
mengantarkan kita mengetahui kondisi perawi tersebut. Maka,diperlukan bagi kita
mengetahui syarat-syarat perawi yang tsiqah. Tidaklah menyampaikan hadits
tersebut kepada khalayak,tanpa mengetahui kondisi hadits tersebut.
Berbicara tentang hadits, maka tidak
ada salahnya kita memandang kebelakang. Melihat keadaan dan cara seorang murid
mengambil hadits dari seorang guru.
B. Rumusan masalah
Dalam pembahasan makalah ini, kami merumuskan dua aspek pokok pertanyaan
:
A. Apa saja yang
termasuk syarat-syarat perawi yang tsiqah ?
B. Apa yang
dimaksud dengan tahammul wa ‘ada hadits, dan apa saja lambang-lambang shighat
yang digunakan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Syarat-syarat Periwayat Yang Tsiqah
Raawi menurut bahasa berasal dari kata riwaayah
yang merupakan bentuk mashdar dari
kata kerja rawaa-yarwii,yang berarti”memindahkan atau meriwayatkan”.
Bentuk plural dari kata raawii adalah ruwaat. Jadi raawii
adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang
pernah didengarnya dan diterimanya dari seseorang.
Secara
defenisi,kata riwaayah adalah kegiatan penerimaan atau penyampaian
hadits, serta penyandaran hadits itu kepada rangkaian dari periwayatnya dalam
bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadits dari seorang periwayat
, tetapi dia tidak menyampaikan hadits itu kepada orang lain,maka dia tidak
dapat disebut sebagai seorang yang telah melakukan periwayatn hadits. Demikian
pula halnya dengan orang menyampaikan hadits yang diterimanya kepada orang
lain,tetapi ketika ia menyampaikan hadits itu, ia tidak menyebutkan rangkaian
para perawinya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang
telah melakukan periwayatan hadits.
Salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi dapat atau tidak diterimanya suatu hadits ialah
kualitas raawii. Tinggi rendahnya sifat adil dan dabith para perawi menyebabkan
kuat lemahnya martabat suatu hadits. Perbedaan cara para perawi menerim
hadits dari guru mereka masing-masing
mengakibatkan munculnnya perbedaan lafadz-lafadz yang dipakai dalam periwayatan
hadits. Karna perbedaan lafadz yang dipakai dalam pennyampaian hadits menyebabkan
perbedaan nilai (kualitas) dari suatu hadits.
Sehubungan
dengan itu, penelitian dibidang raawii sangat penting dalam upaya menentukan
kualitas suatu hadits. Suatu berita dianggap kuat keasliannya kalau pembawa
berita memiliki persyaratan kejujuran dan kemampuan yang dapat dipertanggung
jawabkan. Karena perawi harus mendapat sorotan tajam sehingga lahirlah sebuah
cabang ilmu hadits yang terkenal,yaitu ilmu jarh wa al ta’dil. Untuk melihat
sejauh mana kualitas seorang perawi dapat dilihat melalui jarh dan ta’dil.
Adapun
beberapa persyaratan tertentu bagi seorang perawi dalam upaya meriwayatkan
hadits,yaitu diantaranya:
1. Baligh,artinya
cukup umur ketika ia meriwayatkan hadits,meskipun ia masih kecil waktu menerima
hadits itu.
2. Muslim,yaitu
beragama islam waktu menyampaikan hadits.
3. Adaalah,yaitu
seorang muslim baligh daan berakal yang tidak mengerjakan dosa besar dan dosa
kecil .
4. Dabith,artinya
tepat mengungkap apa yang didengarnya dan dihafalnya dengan baik,sehingga
ketika dibutuhkan,ia dapat mengeluarkan atau menyebutkan kembali
5. Tidak
syadz,artinya hadits yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadits yang
lebih kuat atau dengan al Qur’an.
Dari syarat-syart tersebut
diatas,ada dua hal yang mendapat penekanan lebih yaitu keadilan dan kedabithan
perawi. Untuk mengetahui keadilan seorang perawi,harus melihat kepada tiga hal
berikut:
1. Popularitas dan
keutamaan perawi dikalangan ulama’ hadits .
2. Penilaian
kritikus periwayat hadits .
3. Penerapan kaidah
jarh wa al ta’dil.
Sedangkan penellitian tentang
kedhabith-an perawi didasarkan pada:
1. Kesaksian ulama’ hadits.
2. Kesesuaian
uraian riwayatnya dengan riwayat yang lain dan riwayat yang disampaikan oleh
perawi yang telah dikenal kedhabith-an nya.
3. Sekiranya pernah
terjadi kekeliruan,maka kekeliruan yang dilakukan oleh perawi itu tidaklah
sering-sering.
Dengan demikian,yang memegang peranan
penting dalam penetapan keadilan dan kedhabithan perawi ialah kesaksian ulama
ahli kritik perawi hadits. Kritikus rawi hanya yang memenuhi syarat-syarat saja
yang dapat dipertimbangakan keritikannya dalam menetapkan kualitas raawii
tersebut.
Adapun syarat-syarat yang harus
dipenuhhi oleh seorang kritikus diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Yang berkenaan
dengan sifat pribadi.
a. Bersifat adil
dalam pengertian ilmu hadits dan sifat adil nya itu tetap terpelihara ketika
melakukan penilaian terhadap raawii hadits.
b. Tidak bersikap
fanatic terhadap aliran yang dianutnya.
c. Tidak bermusuhan
dengan raawii yang berbeda aliran dengannya.
2. Yang berkenaan
dengan penguasaan pengetahuan,yakni memiliki pengetahuan yang luas dan
mendalam,khususnya yang berkenaan dengan:
a. Ajaran islam
b. Bahasa arab
c. Hadits dan ilmu
hadits
d. Pribadi perawi
yang dikritknya
e. Adat istiadat
(al’urf)
f.
Sebab-sebab keutamaan dan ketercelaan raawii
Dengan demikian jelaslah bagaimana pentingnya penelitian rawi
dalam menentukan kualitas hadits. Adanya berbagai macam persyaratan pada raawii
akanmembawa berbagai macam pengaruh terhadap kualitas hadits.
Ulama
hadits dari kalangan mutaqaddimin (ulama hadits sampai abad ke-3 H ).
Mengemukakan persyarata-persyaratan yang tertuju pada kualitas dan kapasitas
perawi sebagai berikut:
1. Tidak boleh
diterima suatu riwayat hadits ,kecuali yang berasal dari orang-orang yang
tsiqah.
2. Orang yang
akanmeriwayatkan hadits itu sangat memperhatikan ibadah shalatnya,perilaku dan
keadaan dirinya. Apabila shalat,perilaku dan keadaan orang itu tidak
baik,riwayat jadits nya tidak diterima.
3. Tidak boleh
diterima riwayat hadits dari orang yang suka berdusta,mengikuti hawa nafsunya
dan tidak mengerti hadits yang diriwayatkannya.
4. Tidak boleh
diterima riwayat hadits dari orang yang ditolak kesaksiannya.
Sedangkan kualitas perawi terbagi kedalam Sembilan tingkatan
yaitu:
1. Perawi yang
mencapai derajat yang paling tinggi baik mengenai keadilan maupun mengenai
kedabithannya.
2. Perawi yang
mencapai derajat keadilan yang paling tinggi dan derajat kedhabith-an yang
menengah.
3. Perawi yang
mencapai derajat keadilan yang paling tinggi dan derajat kedabhit-an yang
paling rendah.
4. Perawi yang
derajat keadilan yang menengah dan derajat kedabhit-an yang paling tinggi.
5. Perawi yang
mencapai derajat menengah dalam keduanya.
6. Perawi yang
mencapai derajat keadilan yang menengah dan derajat kedabhith-an yang paling
rendah
7. Perawi yang
mencapai derajat keadilan yang paling rendah dan derajat kedabith-an yang
paling tinggi.
8. Perawi yang
mencapai derajat keadilan yang paling rendah dan derajat kedhabith-an yang
menengah.
9. Perawi yang
mencapai derajat keadilan yang paling rendah dalam hal keduannya.
Klasifikasi tersebut menunjukkan
bahwa kualitas perawi merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam menetapkan
kualitas suatu hadits .
B. Tahammul Wa Al-Ada’ Hadits Serta Lambang-Lambang Shighat Yang Digunakan
Yang dimaksud dengan tahaammul
adalah menerima hadits dari seorang yang meriwayatkan hadits. Sedangkan adaa’
adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadits.
1. Kelayakan
Tahammul wa al-ada’
a. Kelayakan
Tahammul
Sebagian besar ahli cenderung
memperbolehkan kegiatan mendengar hadits yang dilakukan oleh anak kecil,yakni
anak anak yang belum mencapai usia taklif. Sedangkan sebagian mereka tidak
memperbolehkannya. Yang benar adalah pendapat mayoritas ulama itu. Karena
sahabat,taabi’in dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat sahabat yang
masih berusian anak-anak,seperti Hasan Husain.Abd.Allah ibn al-zubair,dan
lain-lain tanpa memilah-milah antara riwayat yang mereka terima sebelum dan
sesudah usia baaligh.
Mereka yang memperbolehkan
kegiatan mendengar hadits yang dilakukan oleh anak kecil berbeda pendapat
tentang batas usianya. Kaena hal itu tergantung pada masalah tamyiiz dari anak
kecil tersebut. Dan tamyiiz ini jelas berbeda-beda antara masing-masing anak
kecil. Namun demikian,mereka memberikan keterangan bersamaan dengan pendapat
mereka. Banyak diantara mereka yang telah berusaha keras untuk menjelaskannya.
b. Kelayakan Ada’
Mayoritas muhadditsin,ushuliyyin
dan fuqahaa sependapat bahwa orang yang riwayatnya bisa dijadikan hujjah–baik
laki-laki maupun perempuan-harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:
•
Islam. Tidaklah bisa diterima riwayat dari orang kafir,berdasarkan
kesepakatan ulama,baik diketahui bahwa agamanya tida memperbolehkan dusta
ataupun tidak.
•
Baliigh.ini merupakan usian takliif. Karena itu
riwayat anak yang berada di bawah usia takliiftidak bisa diterima,sebagai
implementasi atas sabda Rasulullah saw.
رفع القلم عن ثلاثة
عن المجنون المغلوب على عقله حتى يبرا وعن الناءم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم
“terangkat pena dari tiga orang : dari orang gila sampai
sembuh,dari orang yang tidur sampai terbngun,dari anak kecil sampai mimpi
basah”.
•
Sifat adil. Adil merupakan sifat yang tertanam dalam
jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara diri.
•
Dhabth. Artinya,keterjagaan seorang perawi pada saat
menerima hadits,memahaminya ketika mendengarnya,dan menghafalnya sejak menerima
hadits sampai menyampaikannya kepada orang lain.
2. Metode Tahammul
dan Ada’ al-hadits
a) Metode Tahammul
Al-Haddits
Dalam melakukan tahammul al-hadits
ada delapan cara atau metode,diantaranya adalah sebagai berikut:
▪ sima’(mendengar),yaitu
seorang guru membaca hadits baik dari hapalan ataupun dari kitabnya,sementara hadirin
mendengarnya.
▪ qira’ah ‘ala
al-syaikh (membaca didepan guru).
▪ ijaazah,
sertifikasi atau rekomendasi
▪ al-munaawalah.maksudnya,seorang
ahli hadits memberikan sebuah hadits,beberapa hadits atau sebuah kitab kepada
muridnya agar sang murid meriwayatknnya darinya.
▪ al-mukaatabah.maksudnya,seorang
guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulias sebagian
haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang berada
ditempat lain lalu guru itu mengirimkan kepada sang murid yang dapat dipercaya.
Mukatabah terdiri atas dua bagian :
Pertama,disertai dengan
ijaazah.
Kedua,tanpa disertai
denngan ijaazah.
▪ I’laam aal-syaikh.
Maksudnya,seorang syekh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadiits tertentu
atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah
didengarnya atau diambilnya dari seeorang .
▪ al-washiyyah.
Maksudnya, seorang guru berwasiat sebelum bepergian jauh atau sebelum
meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan kepada seseorang untuk meriwayatkan
darinya.
▪ al-wijadah.
Yaitu,ilmu yang diambil ataau didapat dari shahiifah tnapa aada proses
pendengar,mendapatkan ijaazah ataupun proses munaawalah.
b) Metode ada’
al-hadits
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
setiap bentuk tahammul memilki padanan dengan bentuk ada’. Karena apa yang
diterima oleh seseorang pada suatu waktu akan diberikannya pada waktu yang
lain. Bahkan tahammul itu juga hasil dari ada’ sebelumnya,dan seterusnya. Pada
waktu menyampaikan riwayat, para ulama sangat antusias menjelaskan metode
tahaammul yang dipergunakannya.
Bahkan mereka sangat ketat,karena
metode tahaammul yang telah dijelaskan,secara ilmiah memiliki tingkat akurasi
yang berbeda-beda. Para ulama amper sepakat antara wajibnya membedakan antara
tahammulnya dengan sima’ dan qira’ah dengan menggunakan cara lain. Karena
metode sima’ dan qira’ah,berstatus penerimaan secara langsung,berbeda dengan
cara-cara lain.
Adapun jenis-jenis tsiqah al-ada’ dan
tingkatannya adalah sebagai berikut:
1. Jika hadits itu
diterima dengan jalan mendengar pada saat seorang syekh membaca,maka shighat
riwayatnya adalah dengan menggunakan salah satu shiigah di bawah ini:
a.
Haddatsanaa (حدثنا) (telah menceritakan kepada
kami),haddatsani(حدثني)
(telah menceritakan kepadaku)
b.
Sami’na(سمعنا)(kami mendengar), sami’tu (سمعت) (saya mendengar)
c.
Anba’anaa(انبا نا)(telah memberitakan kepada kami),
anba’anii (انبا ني)(telah
meberitakan kepadaku)
d.
Akhbaranaa(اخبرنا)(telah memberitakan kepada kami),
akhbaranii(اخبرنى)(telah
memberitakan kepadaku).
2.
Jika diterima dengan jalan membaca,dia sendiri atau
orang lain,padahal syekh mendengar shighat-nya boleh dipilih diantara
shighat-shighat di bawah ini:
a.
قرات على فلا ن: saya telah membaca pada fulan
b.
قرء على فلان: dibacakan kepada fulan dan saya mendengarnya
c.
:حدثني بقراءة عليهTelah meceritakan kepadaku bacaannya
d.
حدثني قراءة عليه وانا اسمع:
telah menceritakan
bacaannya dan saya mendengar.
e.
اخبرني بقراءة عليه:
telah diberitakan
kepadaku bacaannya.
f.
اخبرني قراءة عليه:
telah mengkhabarkan
kepadaku bacaannya dan saya mendengarnya.
g.
اخبرني بقراءة عليه:
telah mengkhabarkan
bacaannya kepadaku.
h.
:اخبرنى قراءة عليه وانا اسمعTelah mengkhabarkan bacaannya kepadaku dan saya
mendengarnya.
3.
Kalau dengan jalan ijaazah maka shighat riwayatnya
dapat dilakukan dengan salah satu shighat di bawah ini:
a.
حدثني اجازة: telah menceritakan kepadaku melalui ijaazah.
b.
اخبرني اجازة: telah menceritakan kepadaku melalui ijaazah.
c.
انباني اجازة: telah member tahu kepadaku.
4.
Kalau dengan jalan munaawalah, shighat riwayatnya
adalah sebagai berikut:
a.
حدثني مناولة: telah menceritakan kepadaku dengan munaawalah.
b.
اخبرني مناولة: telah mengkhavarkan kepadaku dengan cara munaawalah.
5.
Kalau riwayat itu dengan jalan khitabah,shighatnya
adalah sebagai berikut:
a.
حدثني خطابة: telah men-ceritakan kepadaku dengan khitaabah.
b.
اخبرني خطابة: telah mengkhabarkan kepadaku dengan khitaabah.
6.
Kalau riwayat itu dengan jalan i’lam al-syaikh, maka
shighatnya adalah sebagai berikut:
a.
حدثني اعلاما: telah menceritakan kepadaku dengan pemberitahuan.
b.
اخبرني اعلا ما: telah mengkhabarkan kepadaku melalui cara pemberitahuan.
7.
Kalau hadiits
itu diterima dengan jalan wasiat,maka shighat riwayatnya adalah sebagai
berikut:
a.
حدثني وصية: telah menceritakan kepadaku dengan wasiat.
b.
اخبرني وصية: telah mengkhabarkan kepadaku dengan cara wasiat.
8.
Kalau dengan jalan wijaadah,maka shighat-nya seperti
dibawah ini:
a.
وجد ت بخط فلان قا ل اخبرني:
saya mendapati melalui
tulisan fulan yang berkata bahwa ia mengkhabarkan kepadaku.
b.
وجد بخطاب ذكر انه لفلان قال اخبرني:
ia mendapat tulisan dan
ia menyebutkan bahwa untuk fulan ia berkata ia mengkhabarkan kepadaku.
c.
وجدت بخط قيل انه لفلان قال اخبرني:
saya mendapatkan
tulisan,dikatakan untuk fulan,ia berkata, iaa mengkhabarkan kepadaku.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menyelesaikan makalah ini,
maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa untuk mencapai periwayat yang
tsiqah, maka dibutuhkan syarat-syarat yang dapat menunjang ke-tsiqahan-nya itu,
seperti baligh,muslim,’adaalah ,dhabith dan tidak syaadz. Dan, juga perlu
dipertegas bahwa yang dimaksud dengan tahammul adalah mengambil hadits dari
seorang guru dengan cara-cara tertentu,sedangkan ada’ adalah
kegiatanmeriwayatkan dan menyampaikan hadiits.
B. Kritik dan saran
Kami menyusun makalah ini dengan penuh
kehati-hatian,dengan penuh harapan agar sekiranya pembaca dapat mudah
memahami,dan menerima pemaparan ataupun penjelasan kami. Namun sejauh mana kami
melangkah dan menatap dalam pembuatan makalah ini,mungkin ada konsep-konsep
ataupun pemaparan kami yang masih kurang difahami,atau perlu diperbaiki,maka dari
itu,kami selaku manusia yang menyadari diri bahwa tidak ada sesuatupun yang
sempurna,dengan penuh kerendahan hati,kami meminta kepada pembaca
sekalian,sekiranya ada tanggapan ataupun saran untuk kami,demi mewujudkan
adanya makalah kami yang lebih baik dihari selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Bin Shalih,Musthalah
Hadits,Penerbit: Media Hidayah,t.th.
Nur Sulaiman Muhammad,Antologi Ilmu Hadits,Ciputat:GP
Press,2009.
No comments:
Post a Comment