Nama:
Endang Eriana
UIN Alauddin
Makassar
Prodi : Tafsir Hadis
Angkatan 2012
Renungan
Malam
Di jendela kamarku
aku duduk termenung berkawan sepi, tak kuhiraukan angin malam yang menusuk tulangku.
Angin sepoi - sepoi yang bertiup lembut menyapu wajahku dan mempermainkan ujung
jilbabku. Semua itu tak kupedulikan. Mataku menerawang jauh menembus kegelapan.
Tak terasa air mataku menetes membasahi pipi, yah, aku menangis. Siapalah yang
tak menangis apabila mimpi yang seharusnya menjadi bunga, malah menjadi duri.
Mimpi yang membuat mataku tak bisa terpejam lagi, mimpi yang membuatku bermandikan
keringat. Kekhawatiran yang seketika menghinggapi hati.
Di dalam mimpi aku
melihat diriku tengah duduk di sisi ibu yang terbaring lemah. Sesekali batuk terlihat
begitu menyiksanya. Aku menangis sesunggukan, tenggorokanku bagai tersumbat
hingga tak mampu berkata-kata. Aku melihat lambaian tangannya yang menyuruhku
lebih mendekat lagi, ada sesuatu yang ingin dikatakannya.
“Nak! Sepertinya hidup Ibu
takkan lama lagi.” Bisiknya, begitu lemah hingga hampir tak terdengar.
“Bu’! Jangan berkata
seperti itu, aku yakin Ibu pasti sembuh. aku yakin itu... Bertahanlah Bu’!!.” Kataku dengan suara
serak sambil menangis menggenggam tangannya karena tak kuasa menahan haru.
“Bu’! Bertahanlah, jangan
tinggalkan aku”. Lanjutku, masih menggenggam tangannya semakin erat. “Bu’ aku
belum sempat membalas jasa-jasamu, belum sempat membahagiakanmu, jangan
tinggalkan aku ibu biarkan anakmu ini membalas jasamu!”
“Nak! Hidup dan mati
seseorang Allahlah yang mengaturnya, bukankah kamu mengetahui bahwa semua makhluk
ciptaan-Nya akan kembali kepada- Nya? Ibu mohon nak ikhlaskanlah kepergian Ibu!”
Tuturnya yang semakin lemah.
Aku
hanya bisa menangis mendengar penuturan ibu, sungguh akupun mengetahui hal itu
tapi aku belum siap kehilangan ibu, bagaimana nasib adik-adikku, mereka sudah
cukup kehilangan seorang ayah.
“Ikhlaskanlah kepergian
ibu, Nak, jagalah adik-adikmu, janganlah kamu sia-siakan mereka, rawatlah
mereka dengan baik, jadikanlah mereka anak yang soleh-solehah agar berguna bagi
agama dan orang lain, kamu mau kan nak?”
Aku hanya bisa menganggukkan
kepala karena tak kuasa menahan tangisku yang hampir meledak.
“Janji sama ibu ya nak?”
“Iya bu’,
saya berjanji.” Kataku untuk meyakinkan ibuku.
“Sekarang ibu sudah lega, sekarang ibu sudah bisa pergi
dengan tenang”
Laailaaha illallah laailaaha illallah laailaaha illallah
Ibupun menghembuskan nafas terakhir. “Ibu.... Ibuu.... Ibuuu......” Akupun
berteriak sejadi-jadinya.
“Ibuu, belum pernah aku melihat
senyum kebanggaan yang menghiasi bibirmu karena diriku, belum sempat aku
membalas tetesan air susumu yang mendarah daging di tubuhku”. Bisikku di
telinga ibu yang tak mungkin terdengar. “ Ibu, siapakah lagi yang akan membelai
lembut rambutku ketika hatiku dihujam kepedihan? Ketika tak ada lagi yang
memperdulikan diriku kecuali dirimu.
“ Ibu, maafkanlah anakmu yang durhaka
ini, anak yang selalu menyusahkanmu karena tingkahku. Ibuu terbanglah tinggi,
kepakkanlah sayapmu menuju taman surga yang penuh kedamaian, yang tak ada lagi
rasa sakit, yang ada hanya kedamaian dan ketentraman”. Setelah mengucap kata
tersebut kurasakan dunia begitu gelap hingga akhirnya aku tak merasakan
apa-apa.
***
Di saat itulah aku
terbangun dari mimpi, dan hatiku begitu lega mengetahui kenyataan bahwa itu
hanyalah sebuh mimpi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 wita, tapi aku masih
betah duduk di jendela ini karena mataku
belum mengantuk juga. Kuangkat wajahku memandang langit yang bertaburan
bintang, kerlap-kerlip penuh pesona bagai memperlihatkan keindahannya pada
penduduk bumi. Namun pemandangan yang indah itu tak jua mampu menghibur hatiku
yang gelisah.
Kuambil keputusan untuk menjadikan malam ini sebagai
malam renungan buatku. Kuputar memoriku mengenang masa lalu.
Saat itu aku masih duduk di kelas 5 sekolah dasar, tepatnya
hari Rabu, mata pelajaran menggambar di kelas. Aku tidak akan pernah lupa
bagaimana kakakku datang menjemputku di kelas dengan mata merah habis menangis.
Saat itu aku tidak mengerti apa sebenarnya yang terjadi? Aku melihat guruku pun
ikut menangis saat kakakku meminta izin untuk membawaku pulang. Sebenarnya apa
yang terjadi??? Aku hanya menurut saat dibawa pulang dengan seribu tanda tanya
di kepalaku.
Saat aku sampai di rumah di situlah keherananku semakin
bertambah, karena banyak orang yang berkumpul di rumahku. Aku berlari masuk ke
rumah, di ruang tamu aku melihat ibuku duduk bersimpuh bercucuran air mata di
dekat seseorang yang berbaring kaku yang dibungkus kain kafan, aku takut
mendekat, aku takut menerka-nerka.
Hingga ibu memanggilku sambil menangis,
“Nak! Mendekatlah, tidak maukah kamu melihat wajah ayahmu
untuk yang terakhir kalinya? Mendekatlah jangan takut! Panggil ibuku dengan
suara serak.
Aku mendekati ayah, kubuka kain kafan yang menutupi
wajahnya. Kudapati wajah yang selama ini mencari nafkah, yang selalu menungguku
di tangga dengan kayu di tangannya saat pulang dari bermain di sungai, begitu
pucat pasih, kaku dan dingin. Aku tak bisa menahan air mataku, “Ayaaah bangun ayah, jangan
tinggalkan Afifah... Ayah
janji akan membelikan Afifah boneka... bangun ayah banguuun, Afifah
janji tidak akan bermain di sungai lagi.” Tangisku meronta-ronta. Ibupun
memelukku dengan sangat erat, untuk menenangkanku.
***
Setelah kematian
ayah adalah masa-masa yang sangat sulit bagi kami sekeluarga. Kami adalah
keluarga besar, uang pensiunan ayah tidak cukup untuk membiayai kami semua.
Terkadang kami hanya bisa makan nasi dengan garam, walaupun seperti itu kami
dapat menerimanya dengan lapang dada.
Di saat itulah seorang wanita yang tegar penuh
kelembutan, wanita yang kuat dan perkasa, bangkit menaungi kami anak-anaknya.
Dia bangkit sebagai seorang ibu sekaligus ayah bagi kami. Dia bekerja keras
mencari nafkah, demi melihat kami makan dengan lauk yang baik, demi melihat
kami terus sekolah.
Saat hari masih pagi buta, dia berangkat ke pasar untuk
berdagang, tak dia hiraukan terik matahari yang membakar kulitnya, tak dia pedulikan
dinginnya hujan yang menembus kulitnya, yang di pikirannya hanyalah bagaimana
supaya dia bisa mendapatkan uang demi mengabulkan keinginan kami, sungguh dia
adalah wanita perkasa.
***
Kulihat jam tanganku, ternyata waktu sudah menunjukkan
pukul 03.00 wita. Tiba-tiba aku ingat sesuatu, kuperiksa kelender hpku. Hari
ini tanggal 30
Desember, berarti hari ini adalah hari ulang
tahun ibu.
Ingin rasanya saat ini juga aku menelpon ibuku, untuk sekedar mengatakan “Ibu
terima kasih atas segalanya, sampai
kapanpun aku tidak akan pernah bisa membalas jasa-jasamu, kau kan selalu ada di
dalam hatiku, selamat hari ulang tahun ibu.”
Tapi ini sudah larut malam, aku pasti mengganggu
tidurnya. Biarlah saya menundanya hingga besok pagi. Tiba-tiba aku mendengar
ketukan di pintu, sambil memanggil-manggil namaku, “Afifah... Bangun Fifah... Salat tahajjud.”
Teriaknya seraya terus menggedor-gedor pintu. Ternyata ka’ Zhefirah, kakak yang
tinggal di kamar sebelah, memang setiap sepertiga malam dia selalu
membangunkanku untuk salat tahajjud, darinyalah aku banyak belajar tentang
makna hidup ini.
“Iya ka’...Fifah sudah bangun.” Jawabku dengan cepat.
“Bergegaslah ambil air wudu’, nanti tidur lagi.”
Lanjutnya.
“Iya ka’.”
Akupun
beranjak ke kamar mandi untuk berwudu’. Aku begitu segar setelah air wudu’ membasahi
wajahku. Kemudian aku salat tahajjud dengan khusyu’, menghadapkan wajah ini
kepada sang ilahi, bersujud memohon rahmat dan ampunannya dari segala dosa-dosa
yang telah lalu. Tak lupa pula kupanjatkan doa untuk ayah dan ibuku agar mereka senantiasa berada dalam ampunan-Nya.
Tak terasa setelah aku bermunajat kepada-Nya, aku tertidur di atas sejadah.
Di dalam tidurku, aku bermimpi melihat ayah begitu bahagia, senyum senatiasa
terpancar di bibirnya berada di taman surga. Di tempat lain aku melihat ibuku
duduk di taman dunia yang begitu indah, ketenangan dan ketentraman begitu jelas
terpancar dari raut wajahnya. Tanpa kusadari aku tersenyum dalam tidurku.
***
cerpennya bagus.....
ReplyDeleteiya.. calon penulis terkenal..
ReplyDelete