Oleh Ziend Afif
Alumni SMK FARMASI YAMASI Makassar
PERTEMUAN YANG SINGKAT
Aku menulis ini untuk mengenang seorang yang menjadi temanku
tak lebih dari 3 hari. 3 hari yang
singkat tapi akan terasa hangat hingga Tuhan menakdirkanku untuk
melupakannya. Kami berpisah bukan karena saling benci, juga bukan karena aku
atau dia pergi keluar kota ataupun keluar negeri seperti cerita teenlit. Tapi,
karena sebuah takdir.
Awal pertemuanku dengannya adalah di sini. Di rumah sakit
tempatku bekerja sekarang ini. Saat itu,
usiaku masih 15 tahun. Aku baru pindah dari kota besar ke kampung halaman
ayahku. Kami pindah karena kota kecil ini adalah kota yang sangat tenang, udara
segar masih terhirup, sawah dan perkebunan lebih mendominan dari pabrik dan
kendaraan bermotor. Tempat yang cocok untuk jantung lemahku.
Dokter menyarankan kepindahan ini agar jantungku bisa lebih
siap untuk dioperasi. Tempat yang menjadi tempat tinggalku di kota ini adalah
rumah sakit. Ya, rumah sakit yang begitu tenang, yang membuatku merasa jauh
dari kehidupan. Membuatku berfikir, aku hidup dalam kematian.
Aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Duduk sambil
mengetikkan beberapa kata untuk kurangkai menjadi sebuah puisi. Saat tengah
asyik mengarang sebuah puisi kesedihan, dia datang. Dia berdiri di pintu
kamarku yang terbuka sambil memegang sebuah buku kecil. Aku menatapnya dingin,
tapi ia malah membalas dengan senyuman. Ada getaran halus yang melintas di
dadaku saat melihat senyumnya. Aku mau, aku ingin memiliki senyum seperti itu.
Tapi aku tak sanggup untuk menarik ujung bibirku, rasanya sangat berat.
Aku menundukkan kepala, semakin aku melihatnya semakin sakit
rasanya tidak bisa melakukan sesuatu yang sangat mudah itu, tersenyum.
Sebuah tangan meraih daguku. Aku mendongak. Wajah putih
bersih menyambutku, matanya menatap mataku tajam, beberapa helai rambutnya
jatuh menyentuh pipiku.
“hei, kenapa menangis hah? Aku jelek kayak hantu ya?!” katanya kasar membuatku ketakutan, tanganku
berusaha meraih apa saja untuk kulemparkan padanya. Dan berhasil. Sebuah apel
anna besar mendarat di dahinya. Ia menjauh dariku, meringis kesakitan di pojok
ruangan.
“ Aduh, kamu gila ya? Sakit tahu!” ia menunjukiku dengan
marah.
“ Maaf.” Ucapku lirih. Hanya kata itu yang bisa kukatakan.
Suasana jadi hening. Ia menatapku heran. Dan tiba-tiba saja ia mendekat duduk
di sampingku. Sebuah jitakan halus mendarat di kepalaku.
“kita tidak boleh menangis. Kita itu harus kuat. Memangnya
kamu masih berapa tahun?” tanyanya.
“ 15”
“Wah, kamu lebih tua tiga tahun dari aku? Padahal cengeng
begitu.”
Itulah awal percakapan kami. Percakapan antara anak 13 tahun
yang ceria dan anak 15 tahun yang dipenuhi aura kesedihan. Aku baru berfikir,
itu adalah awal perkenalan yang paling
aneh karena kami hanya saling mengenal usia. Hari itu, ia juga menceritakan
tentang banyak hal. Tentang tokoh komik kesukaannya, tentang seorang kakaknya
yang meninggal karena penyakit jantung yang sama denganku, tentang ibunya yang
galak tapi cantik, dan tentang hobinya bermain sepak bola. Tapi aku tak kenal
namanya.
Aneh bukan? Aku baru
mengetahui namanya di pertemuan kami yang ke dua. Dia kembali datang
menjengukku. Ia bilang, hari itu ia bolos les bahasa inggris karena baru ingat
kalau ia juga belum mengetahui namaku.
“ nama itu sangat penting. Sepenting desahan nafas yang
Tuhan berikan”
Aku tidak mengerti maksudnya. Tapi ia tidak mau
menjelaskannya padaku. Seharian ia berada di kamarku. Kami berbicara tentang
banyak hal yang tak pernah ku lihat. Tentang kembang api, roller coester,
bum-bum car, out bound akhir semester dan banyak lagi permainan yang membangkitkan
adrenalin. Caranya bercerita membuatku merasakan semua permainan itu. Tapi
tetap saja itu hanya fotamorgana.
Kukatakan padanya bahwa aku ingin sekali merasakan satu saja diantara
permainan yang ia ceritakan.
“ Aku janji akan menemanimu melakukan hal-hal yang lebih
menyenangkan dan sangat menegangkan dari itu semua. Asal kamu janji satu hal!”
“Janji apa?”
“ Kamu harrus sehat wal afiat setelah operasi besok”
Aku termenung. Aku sendiri juga berharap bisa sehat
sepertimu dan anak-anak yang sehat lainnya. Tapi, penyakitku, vonis kematian
dokter membuatku merasa tak memiliki semangat, hak hidup.
Janji jari kelingking mengakhiri pertemuan kami karena
kakaknya sudah datang menjemputnya. Tanpa ku sadari, aku tak ingin ia pulang.
Aku merasa ingin melihat kembang api malam itu juga bersamanya. Tapi aku hanya
bisa melihat punggungnya melewati pintu kamar.
Ke esokan harinya, entah mengapa dadaku terasa sangat sakit.
Sepertinya ada tulang-tulang yang menusuk di bagian kiri. Ibu menjerit panic
melihatku menahan rasa sakit. Ia berlari keluar sambil menangis. Ku pejamkan
mata. Apa vonis kematian yang di sembunyikan ibu dan dokter adalah hari ini.
Mengapa sesakit ini? Tapi tiba-tiba aku merasakan hembusan angin yang
menyejukkan. Apa aku sudah mati?
Kuberanikan diri untuk membuka mata. Kudapati wajah putih
bersih dengan senyum yang sangat manis.
“ Tenanglah! Kehidupan itu rahasia Tuhan. Berjuang ya! Ini
game petualangan mencari harta karun. Setelah sehat , kita main, aku tunggu di
luar ya! Smangat!” Ia menyerahkan sebuah CD game, lalu berbalik.
“ Kamu dari mana? Bajumu kotor sekali”. Tanyaku heran. Ia
berhenti melangkah lalu menatapku lembut.
“ Tadi
jatoh, habis, pengen cepat-cepat ketemu kamu”. ia nyengir. Wajahnya memerah
malu. “sudah ya, smangat!” lanjutnya sambil mengangkat dua kepalan tangan, lalu
keluar dan menutup pintu.
Ku buka mata perlahan-lahan. Kepalaku terasa agak sakit. Ibu
tersenyum, tapi air mata mengalir deras di pipinya.
“ Anakku…” ucapnya lalu memelukku. Pelan.
“ Aw, sakit ma”.
“Maaf sayang, mama sayang kamu”.
Tak kupedulikan
ucapannya. Mataku menerawang, mencari seseorang. Tapi tak ada seorangpun di
ruangan ini kecuali ibu dan seorang suster.
“Haus”. Ucapku. Dan segera kudapatkan segelas ais dari ibu.
Sebulan berlalu, kondisi jantungku mulai membaik.
Tapi aku merasa kesepian. Kutanyakan pada ibu tentang keberadaan temanku. Dan
akhirnya, Ibu mengatakan sesuatu yang tak pernah ku harap untuk masuk ke
telingaku. Ia kecelakaan dan meninggal di tempat saat saya menjalani operasi
mendadak hari itu. Aku sangat sedih, dan benar-benar ketakutan. Aku berusaha
menolak kenyataan itu, tapi apa daya? Semuanya tlah berlalu. Aku yang divonis
tak memiliki banyak waktu lagi dengan persentasi keselamatan operasi 35%
ternyata didahului oleh seorang yang sehat.
Oleh Zaen Afif
Alumni SMK FARMASI YAMASI Makassar
No comments:
Post a Comment